RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus dinantikan para korban kekerasan seksual dan publik. Sikap DPR terkait proses legislasi RUU tersebut menjadi kunci untuk membuktikan komitmen DPR sebagai wakil rakyat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kendati pandemi Covid-19, kekerasan seksual terus saja membayangi perempuan dan anak-anak (perempuan dan laki-laki) di Tanah Air. Bahkan pembatasan sosial membuat para korban kekerasan seksual tidak berdaya, menyusul terbatasnya akses terhadap lembaga layanan. Pandemi semakin memperparah situasi kekerasan seksual, sementara payung hukum yang komprehensif untuk penghapusan kekerasan seksual tak kunjung terwujud.
Maka, menjelang akhir tahun 2020, di saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah kembali bersidang, para korban kekerasan seksual kembali menggantungkan asa mereka kepada para wakil rakyat. Harapan kepada DPR untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 kembali dibangun.
Pada masa Persidangan II DPR di Tahun Sidang 2020-2021 yang berlangsung mulai 9 November -11 Desember 2020 mendatang, DPR akan menunjukkan perhatiannya terhadap situasi kekerasan seksual di Tanah Air yang terus memburuk. Penetapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021, setidaknya akan memberikan kepastian akan perjalanan RUU tersebut, setelah sebelumnya dikeluarkan dari daftar prolegnas prioritas 2019.
Ketidakpastian proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru akan semakin memperpanjang daftar korban kekerasan seksual, yang tidak mendapatkan keadilan.
Kami berharap DPR tidak menunda-nunda pembahasan RUU yang mendorong penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.(Siti Aminah Tardi)
“Kami berharap DPR tidak menunda-nunda pembahasan RUU yang mendorong penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Minggu (15/11/2020).
Penetapan kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021 sangat berarti, di saat situasi kekerasan seksual terus mendera perempuan dan anak-anak. Penetapan tersebut, bagi Komnas Perempuan merupakan langkah untuk membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sebab, kehadiran payung hukum yang komprehensif untuk penghapusan kekerasan seksual menjadi tonggak bangsa Indonesia, dalam pembangunan perdamaian dan keamanan nasional yang menjadi tujuan negara. Pemberdayaan perempuan serta pencegahan dan penanganan tindak kekerasan memiliki kontribusi penting dalam upaya peningkatan kualitas hidup perempuan.
Selain itu akan menyumbang pada terbentuknya manusia Indonesia yang unggul, berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai visi dari Indonesia seabad (2045) yakni “Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur”.
Di tengah harapan korban dan sejumlah kalangan terhadap DPR, Desy Ratnasari, Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengakui perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR menghadapi tantangan baik di tingkat badan legislasi (baleg), komisi, maupun fraksi-fraksi. Di luar itu, tantangan juga datang dari pihak masyarakat.
Kendati demikian, Desy memastikan sejumlah anggota DPR tetap bersemangat untuk mengusung kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Bahkan, saat ini diusulkan agar RUU tersebut tidak lagi menjadi usulan Komisi VIII tetapi menjadi usulan Baleg DPR.
“Banyak sekali ide-ide baru dari rekan-rekan kami yg bersemangat terus pantang menyerah untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga tuntas,” ujar Desy dalam “Dialog RUU Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan organisasi anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Jumat (13/11/2020).
Semangat DPR tersebut, harapannya benar-benar diwujudkan secara konkret oleh para wakil rakyat, dengan menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prolegnas prioritas di tahun 2021 mendatang. Maka, sikap DPR ini sangat dinanti korban dan publik, pada rapat paripurna DPR yang akan berlangsung pada masa-masa sidang hingga 11 Desember 2020 mendatang.
Karena itulah, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto selalu melontarkan sejumlah pertanyaan seperti "Apakah kita sudah bertanya pada bangsa kita, khususnya perempuan dan anak, kejahatan apa yang paling keji sepanjang sejarah Indonesia ? Di masa perang, konflik, dan masa damai ? Kedaruratan apa yang dialami perempuan dan anak?".
Kekerasan seksual sudah terjadi sejak jaman penjajahan, di masa konflik bahkan di masa damai. "Sebenarnya ini sudah darurat sekali, setiap tahun ada ribuan, dan setiap hari ada korban baru," tegas Sulistyowati.
Tak hanya itu, Sulistyowati juga mengajukan pertanyaan "Apakah hukum yang ada cukup melindungi mereka ? Sebab para perempuan korban kekerasan seksual membutuhkan negara hadir. Dan, hukum apa yang dibutuhkan sekarang juga oleh para korban, jawabannya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. UU Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengisi kekosongan hukum yang sekian lama terjadi di negeri ini.