Saat Bayar Uang Kuliah Bisa Pakai Kelapa dan Daun Kelor
Kampus Venus One Tourism Academy, Tegallalang, Gianyar, Bali, membuat konversi uang studi dengan kelapa, daun kelor, dan daun pegagan. Konversi uang studi itu dinilai membantu mahasiswa di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·5 menit baca
Terlepas dari dampaknya yang meluluhlantakkan hampir seluruh sendi kehidupan, pandemi Covid-19 ternyata juga memunculkan solidaritas dan kreativitas. Salah satunya dilakukan pendidikan tinggi Venus One Tourism Academy, Tegallalang, di Kabupaten Gianyar, Bali, yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk membayar biaya studi menggunakan kelapa, daun kelor, dan daun pegagan.
Wayan Pasek Adi Putra, Direktur Venus One Tourism Academy, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali, tertawa kecil. ”Saya tidak berharap jadi viral. (Namun) kami memang membuat program konversi uang studi dengan kelapa dan daun kelor (Moringa oleifera) serta daun piduh (pegagan),” kata Pasek ketika ditemui di kampus Venus One di Tegallalang, Gianyar, Senin (9/11/2020).
Belakangan ini, nama Venus One Tourism Academy dan Pasek menjadi pemberitaan lantaran Pasek memberikan kesempatan kepada mahasiswa dan mahasiswi di kampusnya untuk membayar biaya studi menggunakan kelapa, daun kelor, dan pegagan. Pasek mengatakan, baik kelapa, daun kelor, maupun pegagan (daun piduh) sebenarnya merupakan barang bernilai ekonomi.
”Hanya masih sedikit orang yang mengenali nilai ekonomi dari daun kelor atau daun piduh dan juga kelapa,” ujar pendidik yang juga mengabdi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Tegallalang, Gianyar, ini.
Pasek menambahkan, program konversi biaya studi itu pun bersifat sukarela dan ditawarkan kepada yang berminat karena pihak kampus masih menerima pembayaran secara tunai.
Sebutir kelapa, misalnya, memiliki nilai ekonomi sekitar Rp 4.000. Daun moringa atau kelor bernilai ekonomi hingga Rp 25.000 setiap kilogram. Adapun daun piduh atau pegagan berharga sekitar Rp 20.000 per kilogram. Kelapa ataupun kelor dan pegagan menjadi lebih berharga setelah diproses menjadi produk turunannya.
Baik kelapa, kelor, maupun pegagan tumbuh di kebun atau pekarangan rumah warga di kawasan Tegallalang dan sekitarnya. Kawasan Tegallalang, yang berada di jalur wisata Gianyar, masih memiliki hamparan sawah dan lahan kelapa. Bahkan, Tegallalang dikenal mempunyai spot atau lokasi berfoto indah atau Instagramable dengan pemandangan hamparan sawah sehingga Tegallalang juga banyak dikunjungi wisatawan.
Pandemi Covid-19
Ide mengonversikan biaya studi itu, diakui Pasek, muncul ketika pandemi penyakit akibat virus korona baru (Covid-19) berdampak pada perkuliahan. Pihak kampus mengikuti imbauan pemerintah dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit Covid-19, yakni bekerja dari rumah dan menghindari kerumunan, termasuk meniadakan perkuliahan di kampus.
”Karena dianjurkan stay at home, work from home, dan physical distancing, kegiatan di kampus menjadi vakum karena tidak ada perkuliahan. Sementara kami adalah pendidikan vokasi diploma I yang masih memerlukan tatap muka di kampus,” kata Pasek.
”Untuk mengisi kevakuman itu, saya mencoba membuat minyak kelapa murni dengan mengolah kelapa,” ujar Pasek yang juga pendiri Yayasan Enteg Guna Sari, pengelola Venus One Tourism Academy.
Pasek memanfaatkan peralatan di ruang praktik, yakni dapur, di kampusnya untuk memproses dan memproduksi minyak kelapa. Dari pembuatan minyak kelapa itu, Pasek juga memperoleh kletik atau dalam bahasa Bali disebut telengis, yakni ampas minyak kelapa. Telengis atau kletik kemudian diolah menjadi lauk.
”Dari awalnya membuat minyak kelapa, saya mencoba membuat VCO (virgin coconut oil/minyak kelapa murni),” kata Pasek. Produk VCO itu kemudian dipasarkan dengan merek Venus Coconut Oil.
Untuk memperoleh tambahan bahan baku minyak kelapa dan VCO, yakni kelapa, Pasek kemudian menawari mahasiswanya untuk membawa kelapa ke kampus.
Adapun kegiatan perkuliahan di kampus juga dibuka kembali dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Pihak kampus memberlakukan pengaturan jam kuliah dari dua kali pertemuan per hari menjadi tiga kali pertemuan per hari.
Pasek membeli kelapa dari mahasiswanya itu dengan harga yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan harga jual kelapa di pasar pada umumnya. ”Saya juga memberikan tawaran, apakah uang pembelian kelapa mau diambil tunai atau akan dititipkan di kampus untuk konversi uang studi,” ujar Pasek.
Sejumlah mahasiswa di Venus One Tourism Academy itu tertarik. Mereka membawa kelapa ke kampus dan menjualnya ke Pasek. Selain kelapa, Pasek juga mengumpulkan daun kelor dan daun pegagan. Menurut Pasek, daun kelor dan daun pegagan adalah herba atau tanaman obat serta bernilai ekonomis yang cukup mahal.
”Saya merasakan (konversi uang studi) ini bermanfaat bagi kami di situasi gering (wabah penyakit) Covid-19,” kata Ni Luh Sintya Dewi (19), mahasiswi diploma I jurusan front office di Venus One Tourism Academy, Tegallalang, Senin. ”Sebutir kelapa dihargai Rp 4.000. Saat ini, saya sudah mengumpulkan uang Rp 200.000 dari penjualan kelapa ini,” ujar Sintya, mahasiswi semester dua yang berasal dari Tegallalang itu.
Senada Sintya, Ni Luh Tiwi Suryantini (19) menyatakan dirinya terbantu dengan adanya program konversi uang studi di kampusnya itu. Tiwi menuturkan, adanya program konversi uang studi itu meringankan beban keluarga dalam membiayai pendidikannya.
”Saya bersama ibu memanen daun piduh yang tumbuh liar di kebun,” kata Tiwi. ”Saya sudah dua kali membawa daun piduh ke kampus, pertama seberat 1 kilogram, lalu yang kedua, beratnya sekitar 3,5 kilogram,” ujar Tiwi yang juga duduk di semester dua jurusan front office.
Berbagi
Lebih lanjut, Pasek menuturkan, dirinya mendirikan Venus One Tourism Academy di Tegallalang pada 2017 sebagai upayanya menyiapkan sumber daya manusia terampil di bidang pariwisata. Sebagian besar mahasiswanya berasal dari Tegallalang dan sekitarnya. Kampus dengan moto Born to Share itu menyiapkan empat jurusan manajemen hospitality, yakni front office, housekeeping, food and beverage (FB) service, dan spa therapy.
”Tahun depan, kami akan membuka jurusan teknologi informatika karena TI menjadi kebutuhan besar yang harus disiapkan SDM-nya di Bali,” kata Pasek yang juga aktif di organisasi Junior Chamber International (JCI) Ubud.
Berlangsungnya pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, termasuk aktivitas pariwisata yang menjadi andalan Bali. Pasek mengakui, mahasiswa di kampusnya juga terimbas.
Selain terkendala dalam menjalankan program magang, yang biasanya dimulai semester kedua, menurut Pasek, sejumlah mahasiswanya juga tidak kuliah lagi karena terkendala biaya. Pasek menyatakan, pihak kampus sudah memberikan kemudahan dalam pembayaran biaya studi, yakni dengan mencicil sebanyak tiga kali. ”Masih ada beberapa mahasiswa yang mengalami persoalan biaya studi akibat terimbas pandemi,” ujar Pasek.
Dengan memproduksi minyak kelapa, termasuk VCO, dan teh herbal berbahan daun kelor, kemudian memasarkan produk tersebut dengan melibatkan mahasiswanya, Pasek menyatakan, pihaknya juga berupaya membantu mahasiswa mereka agar belajar mandiri dan juga belajar berinteraksi dengan konsumen. Pasek mengaku pihaknya sudah mendapat pemesanan hingga 500 liter VCO per minggu.
”Kami tentu berharap pariwisata kembali pulih dan persoalan pandemi ini dapat ditangani segera,” kata Pasek. ”Tugas kami di kampus ini adalah menyiapkan anak-anak muda Bali dengan kompetensi dan keahlian, khususnya di sektor pariwisata,” ujar Pasek.