Kebanyakan penerbit memutuskan menjual langsung buku ke konsumen melalui toko daring mereka sendiri. Hal ini dipengaruhi kemajuan teknologi digital yang memudahkan akses pendistribusian.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Model bisnis penerbitan buku kini mengedepankan pendekatan konsumen atau consumer centric. Pendekatan ini dipengaruhi oleh tren digital.
Konsultan Penerbitan Digital Kanada, Stephanie Duncan, saat menghadiri Jakarta Content Week (JakTent) 2020, Jumat (13/11/2020), di Jakarta, mengatakan, dengan adanya teknologi digital, personalisasi kebutuhan konsumen semakin terwujud, selain akses kepada buku yang semakin mudah. Jejak perilaku pembelian buku apapun wujudnya melalui toko daring mudah dilacak.
Kini telah bertumbuh audiobook dengan berbagai model bisnis dan penerbit semakin mudah memahami perilaku konsumen. Mereka akhirnya menawarkan pemasaran yang lebih personal.
Lebih akrab dengan konsumen. Kebanyakan penerbit memutuskan menjual langsung buku ke konsumen melalui toko daring mereka sendiri. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh digital yang memudahkan akses pendistribusian.(Stephanie Duncan)
"Lebih akrab dengan konsumen. Kebanyakan penerbit memutuskan menjual langsung buku ke konsumen melalui toko daring mereka sendiri. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh digital yang memudahkan akses pendistribusian," ujar dia.
Stephanie menyampaikan, dengan paradigma pendekatan konsumen, tren penerbitan buku secara mandiri juga menguat dan sekarang telah menjadi industri besar. Konsumen sekarang menjadi produser sekaligus penerbit. Fenomena ini juga ditandai dengan cetak mengikuti permintaan serta kemudahan pendistribusian wujud elektronik (electronic book/ebook) di internet.
Di dunia, sejumlah buku yang lahir di tengah fenomena itu memiliki kualitas bagus. Dia mencontohkan novel laris berjudul Fifty Shades of Gray mulanya diterbitkan secara mandiri berupa ebook dan cetak mengikuti permintaan tahun 2011. Hak penerbitan novel ini kemudian diakuisisi oleh penerbit Vintage Books pada Maret 2012. Contoh lain yaitu novel The Martian karangan Andy Weir yang diterbitkan mandiri tahun 2011, lalu diadaptasi menjadi film dengan judul sama dan dibintangi Matt Damon pada 2015.
"Beberapa penghargaan buku bergengsi internasional belakangan mengarah ke penerbit - penerbit kecil atau indie. Fenomena pendekatan konsumen tidak melulu langsung menyebabkan kualitas konten buku jatuh. Buku - buku bagus kini juga bukan lagi harus selalu dikaitkan dengan penerbit besar," ujar dia.
Tetap pertahankan kualitas
Pendiri OMG Consulting dan Co-founder Inspigo Podcast Indonesia, Yoris Sebastian, mempunyai pandangan senada. Pendekatan konsumen tidak lantas berarti logika pasar yang membuat mutu konten anjlok.
Di luar dunia perbukuan, dia mencontohkan konten film. Beberapa konten film yang pendistribusian penayangannya melalui Netflix memakai pendekatan konsumen dan terbukti berkualitas.
"Dengan pendekatan konsumen, juga digerakkan kemudahan akses oleh teknologi digital, produksi konten bisa dikemas gratis dan berbayar. Pasar tetap perlu diedukasi mengenai hal itu," ujar dia.
Worldwide Publishing Segment Marketing Manager of HP, Rick Bravo, memandang, pandemi Covid-19 mengakselerasi tren tersebut untuk industri perbukuan. Pada awal Maret 2020, sesuai analisa tren di mesin pencari Google, ketertarikan orang mencari dan membeli buku secara daring belum berubah. Namun, seiring pandemi yang masih berjalan, ketertarikan orang mencari konten buku yang relevan bagi dirinya semakin menguat.
Permintaan terhadap audiobook bertambah, sedangkan ebook cenderung datar. Namun, dia optimis cetak buku berdasarkan permintaan akan tetap tumbuh karena diakselerasi oleh pandemi.
Dia menyampaikan, pihaknya masih melihat peluang cerah industri buku berwujud cetak. Pada tahun 2020 terdapat sekitar 95 miliar halaman kertas dicetak menggunakan mesin digital, lalu proyeksinya meningkat 240 persen menjadi 221 miliar halaman pada 2025. Proyeksi ini diduga dipengaruhi oleh judul buku yang terus naik, baik karena tren pendekatan konsumen maupun faktor lain.