Bagi Generasi Z, teknologi bukan peluang ataupun penghalang, tetapi terintegrasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perilaku mereka yang lekat dengan teknologi ini akan memengaruhi bidang-bidang kehidupan masyarakat.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Tumbuh dalam era digital, secara umum mereka yang lahir pada 1996-2010 atau saat ini berusia 10-24 tahun menjadi individu yang terhubung secara alami ke dunia virtual. Bahkan, dunia virtual merupakan bagian dari komunitas mereka.
Teknologi yang semakin berkembang di generasi yang disebut Generasi Z ini membuat mereka sangat bergantung pada teknologi, gadget, dan aktivitas di media sosial. Bagi para digital natives ini, teknologi bukan peluang ataupun penghalang, tetapi terintegrasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal tersebut dimungkinkan karena kepemilikan telepon pintar (smartphone) yang tinggi, paling tinggi di antara generasi-generasi sebelumnya. Hasil survei Nielsen Indonesia di 11 kota besar di Indonesia menunjukkan, 86 persen Generasi Z menggunakan telepon pintar untuk berbagai keperluan.
Dengan populasi mereka yang besar, perilaku mereka akan memengaruhi bidang-bidang kehidupan masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan, satu dari empat penduduk atau sekitar 67,26 juta jiwa berusia 10-24 tahun. Di 11 kota yang disurvei Nielsen, satu dari tiga penduduk merupakan Generasi Z.
”Selain jumlahnya yang cukup signifikan, ada juga beberapa hal yang membuat generasi ini penting dibicarakan. Mereka paling melek teknologi, suka belajar teknologi, dan merekomendasikan teknologi ke orang lain,” kata Direktur Eksekutif Media Nielsen Indonesia Hellen Katherina, Rabu (11/11/2020).
Akses ke informasi baru yang tidak terbatas berkat kemajuan teknologi telah menciptakan generasi yang lebih mandiri, terbuka, kritis, dan kreatif. Lahir dari perubahan cara orangtua mendidik anak, yang lebih demokratif dan memupuk bakat anak, juga membentuk Generasi Z menjadi pribadi yang ambisius dan percaya diri.
Survei Nielsen menunjukkan, sebanyak 36 persen Generasi Z berusia 20-24 tahun dan separuh dari mereka sudah bekerja. Mereka ingin meraih tingkat teratas dalam karier, serta ingin tampil (menonjol) sebagai individu.
Bagi mereka yang sudah bekerja dan belum berkeluarga, melakukan perjalanan wisata menjadi tujuan mereka ketika mempunyai uang. Dan, mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk itu. ”Ketika travelling, mereka foto-foto dan masuk (diunggah ke) media sosial. Eksis di media sosial penting, karena ini merupakan simbol status,” kata Hellen.
Dengan kondisi tersebut, Generasi Z merupakan sekmen pasar yang patut diperhitungkan bagi industri pariwisata. Bagi brand marketers (pemasar merek), Generasi Z merupakan konsumen masa depan sehingga harus disiapkan cara pemasarannya karena cara menjangkau mereka pasti berbeda dengan generasi sebelumnya.
”Mereka tidak suka terikat pada nilai-nilai tradisional. Mereka juga tidak suka berada di rumah dan menghabiskan waktu untuk mendekorasi rumah. Mereka tidak suka hidup monoton atau berpola,” kata Hellen.
Multilayar
Sebagai digital natives, mereka 100 persen digital natives, Generasi Z menggunakan internet paling lama dibandingkan generasi sebelumnya, lebih dari 4 jam sehari. Mereka juga multilayar dan multitasking, mereka bisa mengakses internet dan menonton televisi secara bersama-sama.
”Namun, mereka selektif dalam memilih program televisi yang ditontonnya. Mereka memilih serial, game show, light entertaitment, serial horor, drama, hiburan yang ringan-ringan, lucu,” kata Hellen.
Meskipun demikian, mereka lebih suka menghabiskan waktu di internet dibandingkan aktivitas lainnya, termasuk untuk mengakses berita terutama berita yang disampaikan melalui video, dan menonton film. Hampir 1 dari 2 Generasi Z di 11 kota survei Nielsen menonton televisi atau film secara daring, 50 persen di antaranya beberapa kali dalam seminggu.
Karena itu, ”Internet tidak boleh dilupakan kalau target segmennya usia yang lebih muda, ini efektif untuk Generasi Z maupun Generasi Milenial,” ujar Hellen.
Perilaku Generasi Z yang lekat dengan teknologi juga memengaruhi bidang pendidikan. Sebagai generasi digital, Generasi Z mengharapkan alat pembelajaran digital diintegrasikan ke dalam pendidikan mereka (Forbes, 24 Juli 2017). Mereka juga tidak mau menjadi pembelajar pasif, dan ini tantangan bagi sistem pendidikan tradisional.
Menurut penelitian yang dilakukan Pearson Education di Amerika Serikat pada 2018 (observatory.tec, 28 April 2020), 47 persen Generasi Z menghabiskan lebih dari tiga jam sehari untuk mengakses video, 59 persen lebih suka menggunakan Youtube untuk pembelajaran, dan 39 persen lebih suka instruksi diarahkan oleh guru.
Pandemi Covid-19 telah mengakselerasi penggunaan teknologi digital untuk pembelajaran. Namun, lebih dari itu, perlu ada cara-cara baru mengajar dan mengevaluasi menggunakan platform digital. Siswa berharap sekolah mengajari mereka cara belajar, bukan hanya apa yang harus dipelajari, dalam menghadapi masa depan mereka.
Dalam survei yang dilakukan Dell Technologies terhadap 12.000 mahasiswa di seluruh dunia, 52 persen yakin memiliki keterampilan teknis (hard skills). Namun, mereka tidak yakin memiliki keterampilan lunak (soft skills) yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan. Sebagaimana kajian McKinsey, otomasi akan menciptakan bentuk-bentuk pekerjaan baru di masa depan.Memperbarui praktik pedagogis diperlukan untuk mendidik generasi Z agar semakin adaptif di tengah perubahan masyarakat yang semakin kompleks.