Tanggalkan Ego, Jangan Ragu Berbagi Peran dengan Istri
Budaya patriarki yang melekat kuat dalam masyarakat menghambat perubahan cara pandang dan perilaku laki-laki terhadap perempuan. Akibatnya, gerakan mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender berjalan lambat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Laki-laki berperan penting dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Perubahan cara pandang laki-laki tentang peran serta tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga membawa pengaruh dan berdampak besar bagi upaya perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan.
Sejumlah laki-laki (suami) mendobrak budaya patriarki yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat. Mereka memilih menjadi ”laki-laki baru”, melepaskan ego dan menghapus pandangan yang menempatkan posisi laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan. Hasilnya, kesetaraan jender dalam keluarga terbangun. Urusan domestik tidak lagi menjadi urusan perempuan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
Dulu, dalam pikiran saya, jika saya mencuci piring, mencuci pakaian, itu saya membantu istri saya. Tapi, sekarang saya sadar, jika saya mengerjakan pekerjaan domestik itu bukanlah untuk membantu istri, melainkan itu juga tanggung jawab saya sebagai laki-laki di rumah.(Dwi Sujatmiko)
”Dulu dalam pikiran saya, jika saya mencuci piring, mencuci pakaian, itu saya membantu istri saya. Tapi, sekarang saya sadar, jika saya mengerjakan pekerjaan domestik, itu bukanlah untuk membantu istri, tetapi itu juga tanggung jawab saya sebagai laki-laki di rumah,” tutur Dwi Sujatmiko (35), warga Dusun Dringo, Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam webinar ”Pembelajaran dari Komunitas; Pelibatan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan”, Rabu (11/11/2020).
Pada acara yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) bekerja sama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, Rifka Annisa, dan sejumlah lembaga, Sujatmiko mengakui dirinya meninggalkan budaya patriarki semenjak bergabung dalam ”Kelas Ayah” yang diselenggarakan Rifka Annisa Yogyakarta, organisasi non-pemerintah yang bergerak pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Semenjak itulah cara pandang dan perilakunya terhadap istri berubah. Dari yang sebelumnya tidak pernah menyentuh urusan domestik, kini urusan memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika pakaian, bahkan mengurus anak, menjadi bagian dari perannya sehari-hari. ”Jadi, yang tadinya individual, punya ego masing-masing, sekarang kami menjadi satu, sama-sama berperan. Tidak ada lagi kata istilah membantu,” ujar Sujatmiko.
Meski tidak mudah menanggalkan ego sebagai lelaki yang memiki relasi kuasa, sejumlah laki-laki di sejumlah daerah memilih jalan tersebut dan menemukan kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Selain melahirkan komunikasi yang setara dengan istri, perubahan para laki-laki sebenarnya mendorong laki-laki lain berubah dan bersama-sama dalam upaya mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Kendati dampaknya sangat terasa dalam kehidupan rumah tangga, dalam praktik di lapangan, perubahan cara pandang laki-laki (termasuk perempuan) dalam memandang peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, sesungguhnya masih bergerak lambat.
Banyak tantangan
Program pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan organisasi masyarakat sipil dan berbagai gerakan yang melibatkan laki-laki, seperti aliansi baru dan bale laki-laki, sejauh ini masih mengalami tantangan, terutama dari lingkungan keluarga dan laki-laki sendiri.
Perubahan perspektif yang dialami sejumlah laki-laki sering tidak bisa diterima oleh lingkungannya sendiri yang masih kuat dengan budaya patriarki. Para suami yang mencoba membangun hubungan yang setara dengan istri justru dipandang sebagai sebuah ”kelemahan”. Bahkan, mereka sering menjadi korban perundungan dari masyarakat sendiri, dengan istilah ”suami takut istri”.
”Ada juga laki-laki yang perspektif jendernya bagus, tapi enggak punya skill untuk melakukan kerja-kerja domestik karena dari kecil memang tidak diajari oleh orangtuanya. Jadi, pelibatan laki-laki harus bekerja pada ranah pengetahuan, sikap, perilaku, dan skill secara bersama sama,” ujar Suharti, pengurus Rifka Annisa.
Selain budaya patriarki dan adat yang masih sulit diubah, lambatnya perubahan cara pandang dan sikap laki-laki terhadap perempuan juga dipengaruhi oleh faktor konservatisme agama yang belakangan ini menguat. Konservatisme agama ini di antaranya ditandai dengan menguatnya kembali konsep atau nilai-nilai maskulinitas patriarkis.
”Jadi laki-laki itu adalah pemimpin dan seterusnya, sebaliknya perempuan itu subordinat. Bahkan, ada tendensi untuk cenderung mengembalikan perempuan ke rumah atau domestikasi serta upaya pendisiplinan perempuan, misalnya melalui cara berpakaian perempuan,” ujar Nur Hasyim, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Berbicara budaya patriarki, Damaira Pakpahan, Country Representative Protection International Indonesia, berpendapat, sebenarnya tidak hanya laki-laki, perempuan juga sama-sama dididik dalam budaya patriaki. Misalnya, perempuan memandang, biar saja yang bekerja mencari nafkah adalah laki-laki atau suami, dan dia tinggal di rumah saja, atau mencari suami yang kaya supaya bisa tidak bekerja.
”Tidak semua laki-laki melakukan kekerasan, tapi bagaimana laki-laki mendorong perubahan dan mendorong orang lain tidak melakukan kekerasan, itu penting,” katanya.
Karena itulah partisipasi laki-laki dalam mewujudkan kesetaraan jender dan keadilan akan memperkuat upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.