Tarian yang dikreasi dengan mengedepankan kreativitas virtual adalah peluang dan tantangan bagi terciptanya karya-karya baru yang indah sekaligus mencerahkan.
Oleh
Ni Wayan Idayati
·5 menit baca
Lima penari topeng perlahan muncul di layar gawai. Mereka menjalin komposisi di bawah sorot samar lampu panggung. Alunan seruling nan khas mengiringi para penari mengenakan topengnya, lalu menarikan komposisi gerak dinamis yang berpadu dengan musik gamelan.
Pertunjukan berjudul ”Gunem Wadasan Nopeng” ini menjadi salah satu penampil dalam International Cultural Arts Space (ICAS) 2020, Selasa (3/11/2020). Pertunjukan yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube Pascasarjana ISBI Bandung ini berangkat dari seni topeng Cirebon. Sebagai koreografer adalah Juju Masunah dan Yoyoh Siti Mariah yang berkolaborasi dengan penata musik Lili Suparli.
Tarian ini, menurut Juju Masunah, merupakan reproduksi dari langgam tari topeng Cirebon yang telah ada sebelumnya. Namun, bila tari topeng Cirebon umumnya ditarikan oleh penari tunggal, Gunem Wadasan Nopeng hadir melalui lima penari dengan lima karakter topeng, yakni Panji, Rumiang, Pamindo, Tumenggung, dan Klana.
Upaya representasi menjadi bentuk lain itu tampil rampak dalam gerak dan dinamis dalam musik. Kreasi baru ini memadukan gamelan, kakawen, dan suling, sementara topeng Cirebon biasanya hanya menggunakan kendang sebagai pemandu gerak.
Proses penciptaan komposisi tari ini melalui proses penelitian dan serangkaian riset yang terbilang panjang, yakni sedari tahun 1996 yang kemudian diwujudkan pula dalam bentuk buku. Pada tahun 2018, hasil penelitian mendalam tersebut dipresentasikan menjadi tari dan dipentaskan pertama kali dalam Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF).
Tidak berhenti sampai di situ, tari topeng kreasi baru ini sekarang hadir dalam bentuk virtual di ajang Internasional Cultural Art Space (ICAS) 2020 yang diinisiasi Pascasarjana ISBI Bandung.
Apakah kemudian perhelatan virtual ini merepresentasikan dinamika sosial kultural era digital? Apakah sekaligus juga menggambarkan capaian seni kontemporer yang lintas medium sekaligus tetap mencerminkan kekayaan tradisi?
Ruang dan waktu hari ini
Ketika kita menyimak suguhan seni virtual, pada saat yang sama sesungguhnya ruang dan waktu kita telah menjadi relatif, bahkan seolah tengah berada dalam medium paralel. Sebagaimana diungkapkan Einstein dalam teori relativitasnya: cara pandang yang berbeda akan menghasilkan ruang dan waktu yang berbeda pula.
Dengan begitu, waktu dan realitas yang kita hadapi di ruang virtual menjadi sangat relatif, bergantung pada bagaimana kita menyimaknya serta perangkat atau perantara yang digunakan.
Teknologi dan media digital menyediakan aneka kecanggihan, kemudahan, dan peluang bagi para kreator. Dari sini hadir kreasi seni yang bersifat lintas batas dan melampaui sekat definisi yang selama ini dianggap baku.
Platform digital terbukti bukan hanya mewadahi ragam kreasi seni, seperti sastra, seni rupa, dan pertunjukan dari luring (offline) ke daring (online), melainkan juga memungkinkan terjadinya alih media, berikut sinergi dan kolaborasinya.
Di sisi lain, teknologi digital juga mengubah cara pandang kita soal konsep ruang, waktu, dan realitas. Bila sebelumnya kita hanya mengenal realitas nyata dan realitas imajiner, kini kita dihadapkan pada situasi yang disebut realitas virtual, yakni sesuatu yang seolah berjarak, tetapi sesungguhnya telah mengada dan menyatu dengan keseharian kita.
Di ruang digital dan media sosial, siapa pun bisa hadir dengan persona atau ”topeng wajah” apa saja. Baik akun fiktif maupun akun selebritas dunia maya memperoleh eksistensinya dengan memainkan citraan tokoh terpilihnya dan semua bisa menjadi ”tokoh publik”.
Melalui topeng atau persona tersebut, mereka memenuhi dorongan untuk hadir dan mengekspresikan diri, justru dengan menyembunyikan sosok dirinya yang lain atau menjadi anonim.
Ragam kesenian apapun selalu memiliki ruang interpretasi tersendiri. Boleh jadi kini seni topeng tidak lagi dilihat an sich sebagai seni pertunjukan, atau topeng sebatas benda kerajinan, tetapi bisa diselami lebih dalam untuk melihat fenomena hari ini.
Lewat berbagai lakon pertunjukan, sosok atau karakter di balik topeng-topeng tersebut hadir dan mengada sebagai tokoh atau sang diri. Namun, pada saat yang sama juga meniada.
Pada pelaksanaan tahun kedua ini, ICAS mengangkat tema ”Internasional Conference ’Generating Tradition, Values, and Innovation for The Global Social Challenges’”. Sebuah upaya yang patut diapresiasi meski harus pula diakui, melakukan transformasi dari format konvensional ke digital bukanlah hal mudah, terlebih dengan waktu persiapan yang terbilang sedikit.
Dengan demikian, sajian yang hadir bukan semata kesemarakan atau kemeriahan, melainkan juga sebentuk dinamika visual yang dapat memperkaya imajinasi penonton.
Bila merujuk konsep seni virtual, pementasan Gunem Wadasan Nopeng yang dihadirkan melalui ICAS 2020 ini baru sebatas memindahkan pertunjukan dari actual space ke virtual space, dari luring ke daring.
Juju Masunah mengakui, pertunjukan tari Gunem Wasadan Nopeng memanglah tidak dipersiapkan untuk penampilan daring atau platform digital. Demikian pula dengan pementasan Tanaman, Bebunyian, dan Meditasi oleh Bottlesmoker, atau Tasbih Pesisir karya Afri Wita, yang secara gaya dan bentuk penyajian masih berangkat dari disiplin bentuk pertunjukan konvensional.
Pertunjukan-pertunjukan tersebut belum sepenuhnya mengusung langgam seni virtual yang mendayagunakan unsur-unsur multimedia, audio visual, permainan editing atau kolaborasi pertunjukan dengan video art.
Upaya mengeksplorasi unsur seni virtual tampak dilakukan oleh Wina Rezky melalui karyanya,tari Wirajiwa, yang tampil pada hari kedua festival. Dengan demikian, sajian yang hadir bukan semata kesemarakan atau kemeriahan, melainkan juga sebentuk dinamika visual yang dapat memperkaya imajinasi penonton.
Bila selama ini kita memandang pertunjukan tari atau teater gerak di atas panggung adalah upaya membebaskan tubuh dari beban fungsi sehari-hari, seni virtual sebenarnya memungkinkan tujuan itu tercapai secara utuh. Teknologi digital nan canggih membantu penciptaan realitas baru yang lebih imajinatif.
Tarian yang dikreasi dengan mengedepankan kreativitas virtual adalah peluang dan tantangan bagi terciptanya karya-karya baru yang indah sekaligus mencerahkan.
Ni Wayan Idayati, aktif di Komunitas Bentara Muda Bali, tinggal di Denpasar.
(Tulisan ini terpilih sebagai satu dari dua pemenang utama Lomba Kritik Pascasarjana ISBI Bandung)