Belum Banyak Sekolah Terapkan Kurikulum Darurat Selama Pandemi
Pembelajaran jarak jauh tetap menjadi opsi belajar di tengah pandemi Covid-19. Setiap sekolah dapat menerapkan kurikulum nasional, kurikulum darurat, atau kurikulum yang disederhanakan sendiri.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak semua satuan pendidikan menerapkan kurikulum darurat menyikapi kondisi pembelajaran selama masa pandemi Covid-19. Sebagian sekolah memilih tetap menggunakan kurikulum nasional secara utuh.
Pemerintah melakukan survei implementasi kurikulum darurat serta modul belajar literasi dan numerasi dilatarbelakangi oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Sesuai dengan keputusan Mendikbud ini, satuan pendidikan dapat menggunakan kurikulum nasional yang selama ini digunakan, kurikulum darurat, dan kurikulum yang disederhanakan secara mandiri.
Penelitian itu bertujuan mengetahui efektivitas sosialisasi kebijakan kurikulum darurat, distribusi logistik modul belajar, dan pemanfaatan.
Untuk melengkapi kurikulum darurat, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud telah mengembangkan modul belajar literasi dan numerasi bagi jenjang pendidikan dasar. Modul terdiri dari bagian guru, orangtua, dan siswa.
Penelitian menggunakan metode sampling kepada 1.202 guru di 50 kabupaten/kota dari 15 provinsi. Mereka adalah binaan mitra Kemendikbud. Pengambilan data berlangsung 3 September-3 Oktober 2020 menggunakan survei daring dan telepon.
Berdasarkan profil wilayah dan sekolah, 81 persen responden berada di daerah nontertinggal dan 19 persen responden dari daerah tertinggal. Sebanyak 71 persen responden merupakan guru satuan pendidikan negeri dan 29 persen guru swasta. Sebanyak 76 persen responden guru mengaku datang dari sekolah yang menerapkan belajar dari rumah dan 24 persen tatap muka di kelas.
Peneliti Madya Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Meni Handayani, Selasa (10/11/2020), di Jakarta, mengatakan, hasil penelitian menunjukkan, 72 persen dari total responden mengetahui adanya kurikulum darurat versi Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan. Dari jumlah ini, sekitar 52 persen responden memakai kurikulum darurat, lalu sisanya menggunakan Kurikulum 2013, Kurikulum 2006, dan kurikulum darurat versi mandiri. Lebih dari setengah responden yang memakai kurikulum darurat berasal dari daerah nontertinggal.
Guru yang menggunakan kurikulum darurat belum semuanya memiliki modul belajar literasi dan numerasi keluaran Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud. Setengah dari guru punya modul itu dalam bentuk softcopy, 41 persen memiliki bentuk cetak dan softcopy, dan 9 persen hanya mempunyai wujud cetak.
Hanya sedikit guru yang memiliki modul dan telah mendistribusikannya kepada orangtua. Alasannya adalah kekurangan biaya dan fasilitas, tantangan geografis, dan orangtua/wali telah mendapatkan dari pihak lain. (Meni Handayani)
”Hanya sedikit guru yang memiliki modul dan telah mendistribusikannya kepada orangtua. Alasannya adalah kekurangan biaya dan fasilitas, tantangan geografis, dan orangtua/wali telah mendapatkan dari pihak lain,” ujar Meni.
Menurut dia, selama penelitian, pihaknya mendapat masukan guru dari daerah tertinggal bahwa terdapat perbedaan kualitas mutu cetak jika mereka menerbitkan sendiri. Masukan lainnya yaitu mereka susah mengakses modul versi cetak dari pemerintah.
Guru SD Negeri 022 Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Birrul Asrori, mengaku telah mengetahui modul belajar literasi dan numerasi bagi jenjang pendidikan dasar yang dikeluarkan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud. Informasi keberadaan modul diperoleh dari dinas pendidikan setempat. Dia menggunakannya karena dirasa modul memenuhi penyederhanaan kompetensi dasar dalam kurikulum darurat.
”Modul itu menginspirasi kami, tetapi implementasi tetap harus memperhatikan sesuai dengan kondisi lokal,” ujarnya.
Banyak yang tidak tahu
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, saat dihubungi terpisah, mengapresiasi keberadaan Modul Belajar Literasi dan Numerasi keluaran Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud. Modul ini mempunyai kedalaman dan kelengkapan materi.
Dilihat dari sisi konsep, modul itu perlu dilihat pembantu dan pelengkap pembelajaran. Bagi guru, siswa, dan orangtua yang kesulitan selama pandemi Covid-19 dan tinggal di daerah tertinggal, modul amat dinanti. Oleh karena itu, modul semestinya mudah diakses.
Kenyataannya, berdasarkan laporan anggota jaringan P2G, sejumlah guru sekolah dasar di Jakarta Utara, Kabupaten/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat), Kota Padang Panjang (Sumatera Barat), dan Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur) tidak tahu bahwa pemerintah mengeluarkan kurikulum darurat dan modul yang bisa dipakai. Dinas pendidikan ataupun kelompok kerja guru diduga belum pernah membicarakan tentang kebijakan kurikulum darurat. Sekolah mereka kini tetap menerapkan kurikulum nasional secara utuh.
Di antara kabupaten/kota tersebut, ada yang masuk wilayah susah akses jaringan telekomunikasi. Dari laporan yang kami terima, guru memilih menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara luring. Misalnya, siswa diminta ke sekolah untuk mengambil dan mengumpulkan tugas-tugas sesuai jumlah mata pelajaran.
”Kurikulum darurat baik versi pemerintah maupun mandiri diperuntukkan menghadapi kondisi pandemi. Bagi sekolah dasar di daerah tertinggal, susah akses internet, dan gawai, kurikulum darurat akan amat membantu. Hal seperti ini yang seharusnya ditekankan dan disosialisasikan pemerintah sampai ke dinas pendidikan,” katanya.
Head of Education Yayasan Sayangi Tunas Cilik (Save The Children) Imelda Usnadibrata berpendapat, kondisi pandemi Covid-19 belum jelas berakhirnya. Kondisi ini memungkinkan PJJ tetap berlangsung. Hal terpenting adalah memotivasi anak tetap mau belajar.
Menurut dia, orangtua dan guru semestinya jangan hanya mengandalkan pimpinan sekolah dan dinas pendidikan. Mereka dapat melibatkan komunitas profesi, sesama wali murid, dan aparat desa. Kelompok pemuda karang taruna desa bisa diajak mengembangkan kreasi pembelajaran.