Koran membuat siapa pun di dunia ini bisa bersuara dan didengarkan khalayak, tidak lagi terbatas hanya pada kalangan tertentu.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada tiga benda yang turut mengubah peradaban dunia, yakni arloji, kereta api, dan surat kabar. Pada masa lalu, hanya raja atau bangsawan yang memiliki hak suara, berpendapat dan didengarkan masyarakat. Namun, koran membuat siapa pun di dunia ini bisa bersuara dan didengarkan khalayak, tidak lagi terbatas hanya pada kalangan tertentu.
Demikian disampaikan Budayawan Eka Budianta saat memberikan pidato kebudayaan, Selasa (10/11/2020) malam pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-17 Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (Perwamki) di Jakarta.
”Saya kali ini tidak ingin membahas arloji, yang membuat manusia menjadi mengenal waktu atau kereta api, yang membuat manusia bisa bergerak dengan cepat dari satu daerah ke daerah lain. Saya ingin membahas surat kabar, dan kewartawanan, yang mengubah peradaban,” ujar Eka, peraih penghargaan khusus Dewan Kesenian Jakarta tahun 1985.
Dalam acara itu, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama menerima penghargaan sebagai tokoh yang menginspirasi dalam bidang media dan kewartawanan (pers). Selain itu, ada 16 tokoh inspiratif lain yang juga diberikan penghargaan, antara lain Ruhul Maani, aktivis muda Islam yang mendorong toleransi dan keberagaman; Sandec Sahetapy, musisi yang mendigitalisasi kesenian Nusantara agar bisa tersebar; serta Aloysius Giyai, dokter gigi yang melayani di pedalaman Papua.
Perwamki juga meluncurkan buku berjudul Pers Kristiani dan Makna Kehadirannya, yang adalah semacam pertanggungjawaban media Kristiani di masyarakat.
Hari ini di mana-mana masih ”terserak” orang miskin, menderita, penuh duka, dan kecemasan. ”Kepada mereka inilah kita diminta untuk hadir, menyenasib, dan melakukan sesuatu untuk menyirami, menyiangi, serta membiakkan kegembiraan dan harapan. Ketika virus korona merebak, dunia sungguh teringkus dalam ketidak-berdayaan. Dalam dunia serupa inilah pers Kristen ada dan bergumul melalui karyanya untuk memelihara iman dan harapan umat manusia,” ungkap Emanuel Dapa Loka, pendiri Perwamki dan editor buku tersebut.
Ketika virus korona merebak, dunia sungguh teringkus dalam ketidakberdayaan. Dalam dunia serupa inilah pers Kristen ada adan bergumul melalui karyanya untuk memelihara iman dan harapan umat manusia.
Emanuel, didampingi Ketua Umum Perwamki Stevano Margiyanto dan Agus R Panjaitan (Sekretaris Umum), menambahkan, pers Kristiani seharusnya menjadi media massa yang membawa kabar gembira bagi dunia yang acapkali nyaris kehilangan kegembiraan dan harapan.
Ia pun mengutip dokumen Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II (1962-1965), yang mengingatkan umat manusia untuk bersama-sama merasakan kegembiraan dan harapan serta duka dan kecemasan, yang dirasakan oleh kaum miskin dan siapa saja yang menderita di dunia ini.
Hati nurani dan akal sehat
Menurut Eka, surat kabar tak bisa dipisahkan dari kewartawanan. Dan, kini wartawan maupun koran mendapatkan tantangan yang berat dengan berkembangnya digital dan budaya pasca-kebenaran (post-truth).
Zaman pasca-kebenaran ini harus dilewati bersama dan tak seharusnya membuat surat kabar dan wartawan mengorbankan informasi yang benar hanya agar memperoleh dukungan yang banyak dari masyarakat.
”Semoga hati nurani dan akal sehat mendapatkan berkah keseimbangan,” tegas Eka Budianta, yang juga mantan wartawan.
Ia pun memaparkan fenomena pasca-kebenaran itu tampak nyata dalam peristiwa pemilu di Amerika Serikat tahun ini. Banyak pemimpin dunia telah memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris.
Namun, lawan politiknya belum mengakui, bahkan masih ada saja yang berunjuk rasa menuduh terjadi pencurian suara dan membawa poster bertulis “Hentikan Kebohongan”. Kondisi seperti ini pun terjadi di Indonesia.
Semoga hati nurani dan akal sehat mendapatkan berkah keseimbangan.
Di negeri ini, lanjut Eka, kita mendengar istilah ”kampret” dan ”kecebong” untuk mempertentangkan pendukung dua tokoh politik yang bersaing dalam Pemilu 2019. Kita juga mendapat istilah ”kadrun” atau ”kadal gurun” yang berkonotasi memandang rendah kalangan tertentu.
Bahkan, bagi pemimpin yang bisa ditunjuk sosoknya tersedia sebutan, seperti ”Penista Agama” dan ”Gabener”. Hal ini seharusnya dihentikan, dan media massa bisa berperan untuk membantu menghentikannya.
”Singkatnya, ada cara untuk membuat orang takut, benci dan marah sampai melebihi proporsi yang bisa disandang oleh pribadi manusia. Inilah yang diminta Joe Biden supaya dihentikan. Tentu bukan hanya di AS, tetapi juga di seluruh dunia. Bagaimanapun, perlu diakui setiap negeri bisa menjadi tanah air bagi siapa saja, dan setiap bangsa bisa menjadi bangsa kita, umat manusia,” ingat Eka lagi.
Mengutip pidato kemenangan Joe Biden, menurut Eka, ada dua hal yang harus dihentikan di dunia saat ini, yakni demonisasi atau mempersetankan orang lain dan hidup dalam dunia fiksi, bukan ilmiah. ”Kedua hal itu cukup melukiskan kultur zaman seperti apa yang sedang kita lalui dewasa ini. Selama beberapa tahun terakhir, persaingan politik meruncing, bukan hanya di AS, tetapi di tempat lain, termasuk di Tanah Air kita, Indonesia,” ujarnya.
Eka menandaskan, kita mempunyai dua sisi kemanusiaan yang mungkin saling bertentangan, tetapi juga saling melengkapi. Sekarang saatnya saling mendengarkan. Dalam kebenaran yang ekstrem, manusia pun diajak untuk mendengarkan diri sendiri. Pers bisa mendukung upaya menemukan lagi sisi baik kemanusiaan itu.
Jonro I Munthe, fungsionaris Perwamki, dalam artikelnya mengakui, tugas pers itu mulia, tetapi tak jarang dirusak oleh orang pers sendiri dengan kualitas diri dan keterampilan yang rendah, serta karakter yang buruk. Ia pun berharap ada ”pertobatan” dan pembenahan, sehingga pers bisa turut menjaga kabar gembira bagi manusia.
”Semoga muncul solidaritas di antara insan pers dalam upaya saling mengembangkan atau meningkatkan kualitas,” ujar Stevano Margianto.