Pelanggaran Kebebasan Seni Dipicu Menguatnya Politik Identitas
Upaya melindungi kebebasan berkesenian memerlukan kebijakan sistematis melibatkan instansi kementerian/lembaga hingga komunitas seniman dan pelaku budaya.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren maraknya kasus pelanggaran kebebasan berkesenian dipicu oleh menguatnya politik identitas. Belum ada lembaga yang khusus menangani kasus secara mendalam dan berkeadilan.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mendefinisikan kebebasan berkesenian sebagai kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya, bebas dari sektor pemerintah, intervensi politik, atau tekanan dari aktor non-negara. Kebebasan berkesenian mencakup pula hak semua warga negara untuk memiliki akses ke karya dan penting untuk kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil studi pustaka Koalisi Seni bersama UNESCO melalui skema Funds-In-Trust Korea (2020), sepanjang 2010-2020 terdapat sekitar 45 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia. Jumlah itu meliputi pelanggaran hak untuk berkarya, tanpa sensor, dan intimidasi (29), hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi, dan pengupahan (28), hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan (20). Lalu, kasus pelanggaran hak atas kebebasan berserikat (6) dan hak atas kebebasan berpindah tempat (1).
Dari sisi disiplin seni, sebanyak 24 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian dominan berhubungan dengan kegiatan film, 11 kasus terkait seni rupa, 6 kasus terkait musik, 6 kasus terkait sastra, 4 kasus terkait tari, 3 kasus terkait teater, dan 1 kasus mengenai mode.
Peneliti kebijakan di Koalisi Seni, Ratri Ninditya, Selasa (10/11/2020), di Jakarta mengatakan, aktor pelanggaran paling banyak berasal dari organisasi masyarakat, diikuti kepolisian, lembaga pemerintah, pimpinan perguruan tinggi, aparat militer, dan terakhir pengelola ruang pertunjukan. Kasus-kasus pelanggaran kebebasan berkesenian berangkat dari tuduhan adanya pencemaran agama, dukungan terhadap pengarusutamaan identitas lesbian, gay, biseksual, transjender, dan queer (LGBTQ), serta paham komunis.
Semangat reformasi justru menajamkan politik identitas. Dalam sejarah panjang Indonesia, seni dipakai menjadi alat untuk mengekspresikan suara politik. Oleh karena itu, hingga sekarang, kegiatan seni tetap rentan diserang dan patut dilindungi. (Ratri Ninditya)
”Dengan periode penelitian yang ditetapkan, hasilnya menunjukkan bahwa semangat reformasi justru menajamkan politik identitas. Dalam sejarah panjang Indonesia, seni dipakai menjadi alat untuk mengekspresikan suara politik. Oleh karena itu, hingga sekarang, kegiatan seni tetap rentan diserang dan patut dilindungi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto mengkhawatirkan, tren kasus pelanggaran kebebasan berkesenian juga merambah ke ruang virtual. Apalagi, saat ini banyak aktivitas seni budaya mengoptimalkan media daring karena pandemi Covid-19. Potensi kasus pelanggaran seperti itu semakin besar tantangan penanganannya.
”Seniman dan pelaku budaya bukan hanya akan berhadapan dengan organisasi masyarakat, melainkan juga langsung dengan kementerian melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada beberapa pasal penghalang kebebasan berkesenian, seperti kesusilaan,” kata Damar.
Kasus-kasus pelanggaran kebebasan berkesenian didata oleh beberapa lembaga, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, SAFENet, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka mendata dan membantu advokasi dengan perangkat hukum hak asasi manusia yang lebih umum, yaitu kebebasan berekspresi.
Negara hadir
Ada sedikit kasus yang menurut Ratri negara hadir untuk menjalankan kewajibannya melindungi kebebasan berkesenian. Sebagai contoh, penolakan kelompok organisasi masyarakat terhadap pementasan teater monolog Tan Malaka di Kota Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2016. Lalu, Pemerintah Kota Bandung segera turun menginstruksikan kepolisian agar membantu keamanan selama teater berlangsung.
Dari temuan studi, Ratri memandang perlunya sistem pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian terpadu berbasis komunitas, baik secara luring maupun daring. Komunitas seniman dan pelaku budaya dapat beraliansi dengan pegiat hak asasi manusia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya Perihal Kebebasan Berkesenian pada 2012. Indonesia berkewajiban menyampaikan laporan berkala pelaksanaan konvensi setiap empat tahun sekali.
Anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menjelaskan, UNESCO melalui Konvensi 2005 dan kelompok seniman mengampanyekan kebebasan berkesenian. Istilah ini tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Regulasi mengatur secara umum tentang kebebasan berekspresi. Meski demikian, sosialisasi prinsip-prinsip dasar mengenai hal itu tetap perlu dilakukan kepada aparat penegak hukum sampai pemerintah daerah.
Untuk menekan kasus pelanggaran, dia memandang perlunya upaya sistematis penegakan dan pemajuan kebebasan berkesenian. Dengan demikian, upaya yang dilakukan tidak lagi sporadis.
Apabila pelaku pelanggaran kebanyakan berasal dari organisasi masyarakat, dia berharap adanya pemetaan kewenangan penanganan kasus. Kasus pelanggaran kebebasan berkesenian tidak mungkin diserahkan penanganannya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Semua kementerian/lembaga harus bekerja sama menyusun peta jalan penegakan dan pemajuan kebebasan berkesenian. Peta jalan bisa diikutsertakan ke program yang relevan, seperti RPJM dan SDGs,” ujar Sandrayati.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengatakan, pelanggaran kebebasan berkesenian kini jadi permasalahan global. Di beberapa negara di Eropa penganut sistem demokrasi, seperti Inggris dan Spanyol, juga terdapat kasus.
Di Indonesia, dia mengakui pascareformasi masih terdapat kasus-kasus pelanggaran kebebasan berkesenian. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan. UU ini kerap dijadikan legitimasi oleh aparat untuk merazia, menyita, dan memberangus buku-buku yang dianggap mengkritisi kedaulatan negara. Hingga pada 13 Oktober 2010, Mahkamah Konstitusi mencabut UU itu. Hingga sekarang, upaya aparat merazia masih ada.
Hilmar menilai, kasus pelanggaran kebebasan berkesenian menunjukkan tren kenaikan. Satuan pendidikan, yang jadi ujung tombak pemahaman kebebasan berkesenian, beberapa di antaranya cenderung membatasi.
”Maka, saya harap perjuangan penanganan dan pemajuan kebebasan berkesenian dilakukan bersama-sama. Institusi publik perlu dikuatkan terlebih dulu,” katanya.