Berjarak lebih dekat dengan anak didik dan mempunyai kesamaan tumbuh di era teknologi tetap menghadapkan guru milenial pada sejumlah tantangan dalam mendidik generasi z.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pada era revolusi industri 4.0 ini, pendidik atau guru mempunyai tanggung jawab menyiapkan anak didik agar mampu menghadapi perubahan yang revolusioner berbasiskan kemajuan teknologi. Tantangan yang tidak mudah, bahkan bagi guru milenial sekalipun.
Secara umum, guru milenial atau guru yang lahir pada 1980-1995 (generasi milenial/generasi y) akrab dengan teknologi karena mereka tumbuh pada era perkembangan teknologi. Sementara anak didik mereka umumnya lahir dan tumbuh bersama kemajuan teknologi (generasi z, lahir 1995-2010).
Berjarak lebih dekat dengan generasi anak didik mereka dan mempunyai kesamaan tumbuh di era teknologi, tetap menghadapkan guru milenial pada sejumlah tantangan yang tidak mudah. Apalagi, sebagaimana harapan ditumpukan kepada generasi milenial sebagai agen perubahan, guru milenial juga diharapkan menjadi agen perubahan di ekosistem pendidikan.
Generasi milenial itu jiwanya otonom, tidak mau terikat, sementara generasi z menyukai kebebasan. (Satriwan Salim)
”Generasi milenial itu jiwanya otonom, tidak mau terikat, sementara generasi z menyukai kebebasan,” kata Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim dalam diskusi daring bertema ”Relasi Pedagogis antara Guru Milenial dengan Siswa Gen-Z” yang diadakan P2G, Minggu (8/11/2020).
Gilang Saputro yang mengajar di SMP Labschool Jakarta sejak 2009 mengungkapkan, ia menghadapi banyak tantangan pada tahun-tahun awal mengajar. Dia harus bisa memahami, dekat, dan berkomunikasi dua arah dengan anak didiknya yang berasal dari keluarga dengan perekonomian menengah ke atas.
”Apakah saya cukup keren, bisa diterima oleh anak-anak? Ada anak-anak kalau gurunya gak keren boro-boro dia tertarik (ikut pelajaran). Apakah kita cukup pengetahuan? Anak-anak butuh pembicaraan yang lebih luas bukan sebatas ilmu yang kita ajarkan, tetapi juga butuh update isu-isu terkini,” kata Gilang.
Menurut Gilang, citra keren guru harus muncul pada siswa. Bukan hanya cukup pengetahuan, melainkan juga menguasai dan memiliki perangkat teknologi digital yang memadai. Untuk ini, Gilang menyisihkan gajinya untuk membeli perangkat teknologi. Guru juga harus mau ”masuk” ke dunia anak-anak yang akrab dengan media sosial, tidak berjarak, serta memahami siswa.
Dia membebaskan siswanya untuk bertanya atau menyampaikan usulan ataupun hal-hal lain melalui aplikasi Whatsapp di luar jam pelajaran. Terutama di masa pembelajaran daring, sering kali siswanya mengirim pesan melalui Whatsapp ketika mereka merasa bosan karena setiap hari pembelajaran menggunakan aplikasi Zoom atau merasai capai karena banyak tugas.
”Pernah ada yang Whatsapp saya jam 21.00, berarti sedang cemas. Ada yang (kirim pesan Whatsapp) jam 23.00. Saya mikir, apakah tugas saya terlalu berat? Saya minta maaf ke mereka karena telah membuat mereka tidur semalam itu. Mereka berterima kasih, kata mereka banyak guru yang tidak membalas Whatsapp siswa,” uja Gilang.
Hal senada dikatakan Agustin Indrapratiwi, anggota P2G Jawa Timur yang juga guru sebuah SMA negeri di Pacitan. Mendidik generasi z menuntut dirinya mengembangkan diri dengan cepat, menyelaraskan dengan karakteristik siswa. Memahami karakteristik generasi z yang salah satunya menyukai sesuatu yang instan, berarti dia harus siap menjelaskan ketika siswanya bertanya meski informasi yang disampaikan secara tertulis sudah detail.
”Beberapa siswa enggan memahami instruksi secara lebih detail, kurang membaca informasi secara menyeluruh. Beberapa japri (kirim pesan melalui jaringan pribadi) ke saya padahal pengumumannya sudah jelas,” kata Agustin.
Mengenalkan teknologi
Beda lagi tantangan yang dihadapi Ahmad Sohabudin, guru SMAN 1 Teluk Dalam, Kabupaten Simeulue, Aceh. Meski termasuk kategori generasi z, siswanya tidak lahir dan tumbuh bersama kemajuan teknologi (digital native). Dialah yang akhirnya harus mengenalkan teknologi kepada para siswanya, bahkan teknologi yang terbilang sederhana bagi generasi z seperti mengunduh aplikasi Zoom Meeting untuk pembelajaran daring.
”Mereka kenal teknologi, tetapi cara menggunakannya belum tahu. Hal-hal dasar harus diajarkan kepada mereka. Saya mencoba sedikit demi sedikit mengenalkan teknologi ke mereka. Saya juga membiasakan mereka membaca atau mencari bahan bacaan di internet,” kata Ahmad, peserta program guru garis depan yang berasal dari Jakarta.
Sebelumnya, Ahmad meminta kepala sekolah untuk memasang jaringan internet nir kabel (WiFi) untuk sekolah dan mengalokasikan dana untuk bantuan kuota bagi guru-buru. Dia beruntung mengajar di daerah yang sudah ada infrastruktur internet. Dari 21 SMA/SMK di Simeulue, sebagian berada di daerah yang belum ada jaringan internet.
Kesenjangan digital memang menjadi tantangan tersendiri untuk menyiapkan anak didik menghadapi era 4.0. ”Negara lain sudah ke arah teknologi, kita masih jauh. Sayangnya, pemerintah mengadopsi (tuntutan di era 4.0) itu secara mentah,” kata Anggi Afriansyah, peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Dia mencontohkan penelitian LIPI di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, mendapati narasi revolusi industri 4.0 sudah sampai ke kampung-kampung, sekolah pun dilengkapi laboratorium komputer. Namun, infrastruktur listrik belum menjangkau daerah tersebut. ”Listrik pakai genset yang solarnya mahal karena jauh dari kota. Akhirnya mangkrak komputernya,” katanya.
Pada akhirnya, pendidikan di era 4.0 tidak bisa disamaratakan untuk semua wilayah di Indonesia. Harapan pemerintah bahwa guru harus kreatif dan berinovasi untuk menyiapkan anak didik menyongsong masa depannya juga harus diimbangi dukungan dari pemerintah.