Perketat Pengawasan Dana Bantuan Operasional Sekolah
Pemberian diskresi kepada kepala sekolah untuk menentukan alokasi penggunaan dana bantuan operasional sekolah reguler perlu diawasi. Transparansi dan akuntabilitas laporan pertanggungjawaban perlu selalu diutamakan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Pengawasan pemakaian dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS reguler mesti diperketat karena kepala sekolah diberi diskresi menentukan penggunaan dana. Selain laporan pertanggung jawaban, diperlukan pula audit kinerja.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Martha Tanjung, Minggu (8/11/2020), di Jakarta mengatakan, audit perlu dilakukan secara berkesinambungan."Laporan yang diberikan sekolah harus rinci, bukan lagi berbentuk dokumen gelondongan. Pemerintah perlu lebih ketat memeriksa satu per satu sekolah secara mendalam dan teliti," ujar dia.
Fahriza mencontohkan, sebuah sekolah telah membeli komputer pada tahap pertama dan berikutnya pemerintah perlu memeriksa kewajarannya jika sekolah bersangkutan membeli kembali pada tahap kedua.
Laporan yang diberikan sekolah harus diberikan secara rinci, bukan lagi berbentuk dokumen gelondongan. Pemerintah perlu lebih ketat memeriksa satu per satu sekolah secara mendalam dan teliti.(Fahriza Martha)
"Laporan yang diberikan sekolah harus diberikan secara rinci, bukan lagi berbentuk dokumen gelondongan. Pemerintah perlu lebih ketat memeriksa satu per satu sekolah secara mendalam dan teliti," ujar dia.
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler, terdapat tiga penekanan pemakaian dana selama masa kedaruratan Covid-19. Alokasi dana dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, ataupun layanan pendidikan berbayar bagi pendidik ataupun siswa dalam rangka pembelajaran dari rumah. Dana bisa dialokasikan untuk membeli alat penunjang kebersihan dan kesehatan.
Dana BOS reguler juga dapat digunakan untuk pembayaran guru honorer yang tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) per 31 Desember 2019, belum mendapat tunjangan profesi, dan memenuhi beban mengajar, termasuk mengajar dari rumah. Dana tetap bisa diberikan kepada tenaga kependidikan jika masih tersisa. Ketentuan pembayaran honor dilonggarkan menjadi tanpa batas.
FSGI mempertanyakan pemberian diskresi kepada kepala sekolah untuk menentukan dan mengelola dana BOS reguler. Apalagi, pembuatan rencana kerja anggaran sekolah yang seharusnya terbuka dan melibatkan pemangku kebijakan sekolah, kini cenderung jadi domain penuh kepala sekolah.
Menurut Fahriza, diskresi seperti itu cenderung mempunyai kelemahan dari sisi transparansi dan akuntabilitas. Beberapa tahun sebelumnya terdapat kasus penyelewengan BOS reguler karena adanya pungutan ataupun pemakaian yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Diskresi seperti tertuang di Permendikbud No 19/2020 juga diragukan efisiensi dan efektivitasnya. Dia lantas mencontohkan substansi yang memperbolehkan sekolah menggunakan dana BOS reguler untuk beli pulsa dan paket data internet. Mengutip bos.kemdikbud.go.id, pelaporan dana BOS reguler tahap I untuk komponen langganan daya dan jasa, termasuk bantuan pulsa, mencapai sekitar 5,8 persen di jenjang SD, 6,7 persen SMP, 8,9 persen SMA, 8,3 persen SMK, dan 7,8 persen SLB. Akan tetapi belakangan muncul kebijakan subsidi paket data internet secara nasional.
Terkait pembayaran guru honorer, Permendikbud No 19/2020 tidak membatasi persentase alokasi pembayarannya dari yang semula dibatasi 50 persen berdasarkan Permendikbud No 8/2020. Namun, realisasinya tidak demikian. Mengutip bos.kemdikbud.go.id, persentase pelaporan dana BOS reguler tahap I yang dipakai bayar guru honorer di jenjang SMA sekitar 11,3 persen, SMK 15,3 persen, SMP 25,3 persen, SD 20,7 persen, dan SLB 22,8 persen.
"Kami menilai pemerintah tidak cermat dan tidak akurat melakukan asesmen dan pemetaan terhadap kebijakan yang akan dilakukan," ujar dia.
Pelaporan penggunaan dana BOS reguler tahap I menjadi syarat penyaluran tahap III tahun 2020. Perkembangan penyetoran pelaporan BOS reguler tahap I per 9 September 2020, dari 216.385 sekolah jenjang SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB, total sekolah sudah lapor sebanyak 202.784 atau 93,71 persen. Total sekolah keseluruhan jenjang yang belum lapor tahap I sebanyak 13.601 atau 6,29 persen.
Belum lapor
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Jumeri, saat dikonfirmasi, menyampaikan, perkembangan terakhir menunjukkan masih ada sekitar 3.008 sekolah belum menyetor laporan penggunaan dana BOS reguler tahap I. Pemerintah memutuskan belum akan menyalurkan dana tahap III kepada sekolah-sekolah tersebut. Mereka diminta menyelesaikan tanggung jawabnya terlebih dulu.
"Penggunaan dana BOS reguler sesuai Permendikbud No 19/2020 menjadi kewenangan atau kemerdekaan kepala sekolah. Kami tentu tidak mengukur (pengoptimalan dana). Kalau uang sudah dibelanjakan, dicatat/dikelola, dan dipertanggung jawabkan sesuai petunjuk, kami sudah menilai bagus," kata dia.
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menambahkan, relaksasi kebijakan penggunaan dana BOS reguler membantu sekolah menghadapi pandemi Covid-19. Akan tetapi, dia mengaku, selama masa reses DPR belum menyurvei pandangan guru terkait efektivitas dan dampak kebijakan bagi kelangsungan belajar-mengajar selama pandemi.
Meski demikian, jika mau ditelaah lebih detail, nilai dana masih kurang menutup kebutuhan operasional sekolah. Belum semua pemerintah daerah berperan memberikan biaya operasi ke satuan pendidikan.
Dia mencontohkan kebutuhan honor bagi guru berstatus bukan aparatur sipil negara. Melalui Permendikbud No 19/2020, pemerintah melonggarkan alokasi pembayaran dari total dana BOS reguler yang diterima. Kepala sekolah dibebaskan menentukan alokasi. Kenyataannya, masih ada sejumlah guru dengan status itu hidup kurang sejahtera selama pandemi. Padahal, beban mereka mengajar sama besarnya dengan guru berstatus aparatur sipil negara.
"Kemungkinan penyebabnya adalah sekolah punya kebutuhan operasional lain yang besar dan mendesak, seperti alat penunjang kebersihan dan kesehatan. Kemungkinan lainnya yaitu masih ada stigma negatif dan diskriminasi peran guru berstatus bukan aparatur sipil negara," kata Syaiful.