Kelangkaan Regenerasi pada Budaya Wayang Masih Jadi Tantangan
Setiap 7 November diperingati sebagai Hari Wayang Nasional. Tantangan dan upaya pelestarian wayang selalu menjadi pembahasan saat hari peringatan. Di sisi lain, wayang menanamkan nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur pada 7 November 2003, upaya pelestariannya tidak mudah dilakukan. Globalisasi menyebabkan kelangkaan regenerasi pembuat, pemain, penonton, dan penanggap wayang.
Hal itu menjadi benang merah webinar ”Peringatan Hari Wayang Sedunia”, Sabtu (7/11/2020) malam, di Jakarta. Webinar ini diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM), Rudy Wiratama, menjelaskan, UNESCO memberikan pengakuan warisan budaya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur kata untuk mendorong masyarakat lokal mendemonstrasikan nilai luar biasa wayang sebagai mahakarya manusia yang jenius kreatif. Kesadaran bahwa wayang adalah bukti luas dari akar sejarah budaya masyarakat bersangkutan.
Pengakuan berfungsi untuk menegaskan nilai-nilai wayang sebagai kesaksian unik dari tradisi budaya yang hidup. Selain itu, wayang memiliki risiko mengalami degradasi atau menghilang.
Rudi mengatakan, pengakuan tersebut diraih dengan kerja keras. Setelah pengakuan, terdapat jeda 15 tahun sampai akhirnya Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018 yang isinya tentang penetapan Hari Wayang Nasional pada 7 November setiap tahun.
”Pengakuan UNESCO adalah hal yang membanggakan, tetapi di sisi lain terdapat hal yang memprihatinkan. Masih ada kelompok masyarakat, termasuk dari Indonesia, yang berpendapat wayang tidak menarik dan ketinggalan zaman. Pengakuan itu memungkinkan adanya evaluasi,” ujarnya.
Dosen Fakultas Filsafat UGM, Sindung Tjahyadi, menyampaikan, wayang mengandung nilai kebenaran, pesan kebaikan, dan keindahan. Upaya pelestariannya memerlukan politik dan strategi kebudayaan yang tepat sehingga wayang tidak hanya menjadi artefak buat menarik wisatawan.
Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kata dia, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud mengamanatkan untuk inventarisasi produk ataupun tradisi kebudayaan yang terancam punah. Kebijakan ini bisa berdampak positif untuk kelangsungan wayang.
”Wayang memang sangat simbolik yang artinya setiap elemen mengandung makna. Arah pengembangan wayang dari pemerintah belum jelas. Saat ini, lembaga yang mengembangkan ataupun melestarikan pewayangan secara nasional belum ada,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Sindung, upaya pelestarian setelah pengakuan UNESCO tetap bisa dilakukan melalui kelompok masyarakat. Sebagai contoh, UGM bereksperimen menciptakan wayang kulit Gadjah Mada. Narasi yang dipakai untuk pertunjukan menggunakan kisah sejarah. Cara ini bertujuan mendekatkan wayang ke penonton usia muda.
Dosen Fakultas Pertanian UGM sekaligus penggemar wayang, Namastra Probosunu, berpendapat, guru bisa mengenalkan wayang di lingkungan sekolah melalui acara festival ataupun lomba wayang. Orangtua dapat mengenalkan wayang sejak anak usia dini melalui komik, buku bacaan, dan menemani anak menyaksikan pergelaran wayang.
”Generasi muda sekarang amat terpapar globalisasi, teknologi digital, dan pertukaran budaya yang luas. Banyak pelaku muda, seperti dalang, kini bermunculan, tetapi tidak ada penonton dan penanggap. Wayang tetap berpotensi krisis,” katanya.
Dalang remaja Tahta Harimurti berpendapat, jika pasar yang dituju adalah anak muda, pergelaran wayang kulit model semalam suntuk kurang pas. Berdasarkan pengalamannya, model itu hanya dikunjungi anak muda sebentar. Sebagai gantinya, pelaku pewayangan bisa memakai pendekatan pakeliran padat atau memadatkan cerita dan durasi pergelaran.
Selain itu, pelaku pewayangan bisa sedikit keluar pakem, seperti menyelipkan berita terbaru dalam narasi pergelaran. Materi itu bisa dibawa sebagai bahan sarkasme.
”Pertunjukan wayang juga bisa memanfaatkan media daring, seperti Youtube, guna mendekatkan kepada alat komunikasi yang sering dipakai kaum muda. Di samping itu, pertunjukan luring tetap perlu diperbanyak agar generasi muda mengenal dan paham,” kata Tahta.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meyakini masih ada berbagai cara kreatif melestarikan wayang. Sebagai contoh, wayang untuk permainan gim elektronik dan desain wayang berwujud robot.
Sejak Ramadhan tahun 2020, rumah dinas dia dipakai untuk pertunjukan wayang kulit. Narasi cerita yang dimainkan adalah kisah-kisah kekinian. Upaya ini untuk mengakomodasi pelaku pewayangan yang pendapatannya berkurang selama pandemi.
”Biarkan zaman memainkan kondisi. Hal terpenting adalah pewarisan nilai yang terkandung dalam wayang tidak hilang. Saya percaya terobosan-terobosan kreatif akan selalu muncul,” kata Ganjar.
Pada saat webinar, baik Ganjar maupun pembicara lainnya sempat mengajak pengunjung menghaturkan doa untuk Ki Seno Nugroho, seniman sekaligus dalang wayang kulit asal Bantul, Yogyakarta, yang meninggal Selasa (3/11/2020). Meninggalnya Ki Seno diduga karena mengalami penyumbatan pembuluh darah.