Dilematis Belis Gading Gajah Suku Lamaholot di Nusa Tenggara Timur
Mahar atau belis berupa gading gajah yang berlaku di kalangan suku Lamaholot, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, cukup dilematis karena semakin sulit mendapatkan gading setiap kali digelar perkawinan adat.
KUPANG, KOMPAS — Mahar atau mas kawin, dalam istilah setempat disebut belis, dalam bentuk gading gajah yang berlaku di kalangan suku Lamaholot, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, cukup dilematis. Wilayah itu bukan tempat berkembang biak gajah sehinggga gading sulit didapat. Akibatnya, harga satu gading gajah bisa tembus Rp 100 juta.
Sulitnya mendapatkan gading gajah sebagai belis membuat sebagian besar keluarga pria hanya mengakui mas kawin itu dari generasi ke generasi. Ada pula gading yang diyakini memiliki kekuatan gaib sehingga diberi penghormatan khusus.
Demikian, antara lain, hasil diskusi daring ”Penelitian Gading Gajah Mas Kawin di Flores Timur” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Jawa Timur, dengan melibatkan lima narasumber yang berbicara dari tempat berbeda, Sabtu (7/11/2020) malam.
Dekan Fakultas Hukum Untag, Slamet Suhartono, ketika membuka diskusi daring dari Surabaya mengatakan, mas kawin atau mahar gading gajah di kalangan suku Lamaholot disebut juga belis. Belis gading ini tradisi adat yang unik dan hingga kini masih berlangsung dalam perkawinan adat suku Lamaholot.
”Perlu digali lebih jauh mengapa di Flores atau NTT tidak ada gajah, tetapi masyarakat zaman dulu memilih batang gading gajah sebagai mahar. Ini menarik untuk dibahas dan diteliti lebih serius. Gading sangat langka sehingga harganya sampai ratusan juta per batang,” kata Slamet.
Baca juga : Tradisi Dolo-dolo Suku Lamaholot NTT Direvitalisasi
Kearifan lokal
Keragaman budaya Nusantara perlu digali dan diperkenalkan kepada masyarakat luas. Budaya masyarakat suku Lamaholot, yang terdiri dari masyarakat Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan sebagian Kabupaten Alor di NTT ini merupakan bagian dari kekayaan budaya Nusantara. ”Menghormati budaya lokal, menangkal budaya asing yang tidak sesuai adat ketimuran,” kata Slamet.
Pergeseran nilai sakralitas dan substansi belis gading gajah tetap dipertahankan dalam perkawinan adat suku Lamaholot dan kearifan lokal ini perlu dilindungi dengan hak kekayaan intelektual.
Peneliti sekaligus dosen Fakultas Hukum Untag, Kristoforus Laga Kleden, mengatakan, masyarakat suku Lamaholot menganut sistem patrilineal. Dalam praktik ini, pihak keluarga laki-laki wajib memberikan belis atau mahar gading gajah kepada keluarga perempuan sebagai tuntutan adat.
”Berapa jenis gading untuk meminang seorang anak gadis tergantung kesepakatan adat pihak keluarga laki-laki dan perempuan, biasanya 1-3 batang,” kata Kleden.
Akibat perkembangan modern, mas kawin gading gajah mulai bergeser nilainya meskipun kesakralannya tetap terjaga. Pergeseran itu akibat tuntutan zaman. Sebagian masyarakat Lamaholot lebih menginginkan proses pemberian mas kawin itu tidak membebani keluarga laki-laki atau rumah tangga baru yang bakal dibentuk kedua mempelai.
”Pergeseran nilai sakralitas dan substansi belis gading gajah tetap dipertahankan dalam perkawinan adat suku Lamaholot dan kearifan lokal ini perlu dilindungi dengan hak kekayaan intelektual (HKI),” ujar Kleden.
Baca juga : Belis, Utang yang Tak Pernah Lunas
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Sr Yasintha Kleden CIJ, mengatakan, hasil penelitian di dua kelurahan di Flores Timur, yakni Lewolere dan Waibalun, jumlah gading gajah di kalangan masyarakat Lamaholot khususnya ada 10 batang. Itu pun beredar dari rumah ke rumah setiap terjadi pembahasaan dan perkawinan adat di dua kelurahan itu.
”Belis ini sebagai penghargaan terhadap adat budaya Lamaholot sekaligus menjunjung tinggi nilai dan martabat perempuan. Seorang pria calon pengantin mesti berjuang dan berusaha untuk mendapatkan calon istri. Perjuangan ini pun tanda kesetiaan terhadap calon istri dan penghormatan terhadap perempuan,” kata Yasintha.
Masalah utama dalam belis adalah saat istri (perempuan) itu meninggal, tetapi gading belum dibayar pihak keluarga pria. Peti jenazah istri belum bisa ditutup untuk dibawa ke pemakaman sebelum satu gading dari keluarga pria diserahkan kepada keluarga perempuan.
Jika tidak ada gading, kata Yasintha, anggota suku dari keluarga pria itu membantu mengatasi dengan cara mengambil gading milik suku, kemudian diserahkan kepada keluarga perempuan. Jika suku pun berkeberatan, anak-anak dari keturunan perempuan itu harus mengakui dan berjanji membayar gading dimaksud.
Ukuran gading
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mandira, Kupang, Henny Manafe, mengatakan, gading dalam bahasa Lamaholot disebut bala. Dalam praktik adat ada beberapa jenis ukuran, yakni gading ukuran rentangan tangan orang dewasa yang disebut bala huut, gading dengan ukuran dari ujung jari tangan sampai belahan dada yang disebut bala lega korok, dan dari ujung jari tangan sampai dengan batas siku yang disebut bala depa lola.
”Nilai mas kawin ini telah mengalami perubahan, terutama di kalangan masyarakat, pemberian dari keluarga pria ataupun perempuan, sesuai kemampuan,” kata Henny.
Baca juga : Tuno Manuk, Harmonisasi Langit dan Alam Semesta di Kalangan Suku Lamaholot
Tokoh masyarakat Lamaholot dari Pulau Adonara, Flores Timur, Bernad Reo Ola (64), mengatakan, ada pergeseran nilai adat gading gajah. Sampai 1990, berapa pun kesepakatan adat akan jumlah gading, hal itu wajib direalisasikan keluarga pria. Tahun 1990 sampai hari ini, kesepakatan jumlah gading tidak lagi wajib dilunasi keluarga pria.
”Paling penting, ada pengakuan dari keluarga pria, berapa jumlah gading yang harus dilunasi. Entah kapan. Pengakuan untuk melunasi itu sebagai bagian dari penghormatan dan penghargaan terhadap adat, sekaligus penutur adat dari keluarga perempuan,” kata Reo Ola.
Kesanggupan membayar
Pengakuan akan kesanggupan membayar ini pun menjadi beban keluarga pria, terutama saat keluarga perempuan membutuhkan gading serupa untuk pernikahan adat dari keluarga perempuan. Saat itu, jika belum ada gading, keluarga pria terpaksa harus utang atau meminjam gading kepada pihak lain.
”Tetapi, dari beberapa gading yang disepakati itu, satu batang harus dilunasi lebih awal sebagai peloe rara atau buka jalan, penyejuk,” kata Reo Ola.
Ia menuturkan, sampai 1960-an, satu gading dihargai dengan satu anak perempuan dari keluarga pria. Anak perempuan ini akan dijadikan sebagai budak di rumah keluarga pria. Pihak keluarga perempuan boleh mengambil sebagai istri juga, tetapi hak adat berupa gading gajah tidak diambil keluarga pria.
Paling penting, ada pengakuan dari keluarga pria, berapa jumlah gading yang harus dilunasi. Entah kapan. Pengakuan untuk melunasi itu sebagai bagian dari penghormatan dan penghargaan terhadap adat, sekaligus penutur adat dari keluarga perempuan.
Karena zaman dulu saudari perempuan menjadi pengganti gading, dalam praktik, gading ukuran besar dan panjang untuk menebus saudari perempuan itu dihargai dan dihormati. Gading jenis ini sering diberi sesaji berupa harum kemenyan, nasi merah, dan bagian tertentu dari hewan korban.
Tidak semua gading harus dihormati karena memiliki kemampuan mitis itu. Hanya gading jenis tertentu yang dari tahun ke tahun disimpan di rumah adat, rumah ”sulung”, kakak tertua, tidak pernah dipindahtangankan sebagai mas kawin.
Dengan ini lahirlah gading suku. Saat upacara adat di suku itu, gading diberi penghormatan khusus.
Rektor Universitas Katolik Santo Paulus, Ruteng, Pastor Yohanes Servatius Lon SVD mengatakan, perkawinan adat di Manggarai tidak menggunakan gading gajah, tetapi kerbau dan sapi.
Jumlah hewan ini sesuai kesepakatan kedua pihak, keluarga pria dan perempuan. Selain itu, masih ada pemberian dari keluarga pria sebagai ganti ”air susu ibu” dalam bentuk uang berjumlah Rp 50 juta-Rp 100 juta.
Saat ini, mas kawin di Manggarai sudah mulai bergeser, yakni dengan pemberian kendaraan roda empat atau roda dua. Ini pun sesuai permintaan keluarga perempuan.
Mas kawin ini sebagai bagian dari legitimasi keluarga baru dan penghormatan terhadap pribadi perempuan. Akan tetapi, mas kawin yang disebut belis ini dinilai sebagian kalangan masyarakat Manggarai cukup membebani keluarga pria. Karena itu, banyak laki-laki dari Manggarai mencari pasangan hidup di luar daerah itu.
Diskusi daring ini disepakati akan diikuti dengan penelitian lanjutan untuk memastikan praktik mas kawin gading gajah dalam perkembangan terkini dan menelusuri sejarah asal-usul penggunaan gading gajah sebagai mas kawin. Penelitian ini juga akan dilanjutkan dengan memasukkan mas kawin gading gajah sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual.