Remaja yang merasa dicintai dan didukung orangtuanya kecil kemungkinan menjadi pelaku perundungan. Karena itu, hubungan anak-orangtua harus dipertimbangkan saat mengembangkan intervensi untuk mencegah perundungan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Penanganan kekerasan terhadap anak oleh anak dalam bentuk perundungan selama ini lebih berpusat pada korban. Tak dimungkiri, perundungan bisa berdampak sangat berat pada kondisi psikologis korban, bahkan bisa berujung depresi bahkan bunuh diri.
Dalam beberapa pemberitaan, sejumlah remaja yang bunuh diri mempunyai riwayat sebagai korban perundungan. Laporan Global Education Monitoring 2019 UNESCO pun menyebutkan, siswa yang sering dirundung temannya dua kali lebih mungkin merasa kesepian, tidak bisa tidur pada malam hari, dan berpikir untuk bunuh diri.
Perundungan juga berdampak pada prestasi sekolah. Siswa yang sering dirundung hampir tiga kali lebih mungkin untuk merasa seperti orang luar di sekolah dan lebih dari dua kali lebih mungkin untuk bolos sekolah dibandingkan dengan mereka yang tidak sering dirundung. Mereka juga memiliki hasil pendidikan yang lebih buruk.
Menghadirkan lingkungan sekolah yang aman, mendukung, dan bersahabat akan meminimalkan perundungan di sekolah. Iklim sekolah yang positif membuat para siswa semakin terlibat menjaga lingkungan sekolahnya, termasuk bertanggung jawab untuk tidak terjadinya perundungan di sekolah.
Meskipun begitu potensi perundungan tetap ada bersamaan datangnya murid-murid baru yang membawa kualitas pribadi masing-masing. Demikian pula pada masa pandemi ini, ketika perundungan di sekolah berpindah ke dunia maya.
Selain situasi di sekolah, menurut Debrie Pristinella, dosen Psikologi Pendidikan Universitas Katolik Admajaya Jakarta, kekerasan di sekolah terkait kualitas pribadi siswa dan kondisi keluarga siswa. Pola asuh orangtua berperan menjadi penentu apakah anak akan cenderung melakukan perundungan atau tidak.
Anak yang diasuh dengan pola attachment (kasih sayang), akan melihat dirinya positif dan orang lain juga positif ketika berelasi dengan orang lain. Studi terbaru terkait perundungan siber (cyberbullying) yang dilakukan tim peneliti dari Universitas New York pun menunjukkan, semakin remaja merasa dicintai dan didukung orangtuanya, maka semakin kecil kemungkinan melakukan perundungan siber.
Menggunakan data survei perilaku kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada anak-anak usia sekolah, para peneliti menganalisis tanggapan dari 12.600 remaja usia 11-15 tahun di Amerika Serikat yang disurvei pada 2009-2010. Responden yang mengatakan orangtua mereka ”hampir tidak pernah mencintai” setidaknya enam kali lebih mungkin terlibat dalam perundungan siber tingkat tinggi daripada responden yang mengatakan orangtua mereka ”hampir selalu” penuh kasih sayang.
”Meskipun penelitian kami tidak membuktikan bahwa kurangnya dukungan orangtua secara langsung menyebabkan perundungan siber, hasil analisis menunjukkan hubungan anak-anak dengan orangtua mereka dapat memengaruhi perilaku perundungan mereka,” kata kata Laura Grunin, penulis studi ini yang juga mahasiswa doktoral di Rory Meyers College of Nursing Universitas New York seperti dikutip di laman nyu.edu pada 2 September 2020.
Karena itu, hubungan anak-anak dengan orangtua harus dipertimbangkan saat mengembangkan intervensi untuk mencegah perundungan. Hasil studi yang dipublikasi di Jurnal Internasional Pencegahan Perundungan ini merekomendasikan agar pendidik, profesional kesehatan, pakar media sosial, dan mereka yang bekerja terkait pengembangan remaja agar mempertimbangkan dinamika keluarga saat membuat program untuk mengatasi perundungan siber.
Tabungan emosi
Tantangan semakin besar di masa pandemi ini karena krisis akibat pandemi ini juga berdampak pada dinamika keluarga. Bersama-sama di rumah dalam waktu lama tidak selalu berdampak positif dalam hubungan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut menghadapi masalah keuangan akibat krisis ini, misalnya.
Anak-anak juga menghadapi tekanan dengan pembelajaran jarak jauh karena metode yang baru dan tidak bisa berinteraksi langsung dengan teman-teman sekolah. Peran orangtua sebagai sistem pendukung anak semakin penting di masa pandemi ini.
”Bagaimana keluarga bisa menghadapi emosi-emosi negatif tersebut dengan produktif, menggunakan semua situasi untuk secara produktif membangun keluarga menjadi lebih terikat secara emosional, tidak justru menjauhkan,” kata Debrie, Kamis (5/11).
Sebagaimana dalam konsep tabungan emosi yang dipopulerkan Stephen Covey (The Seven Habits of Highly Effective People), setiap orang mempunyai bank emosi. Emosi negatif, apakah itu stres, sedih, marah akan mengurangi tabungan emosi. Sebaliknya emosi yang positif, seperti kasih sayang dan relasi positif orangtua dan anak akan menambah tabungan emosi.
”Keluarga-keluarga sedang diuji dengan situasi pandemi ini. Apakah bisa menggunakan momen ini untuk mengisi bank emosi, ataukah justru menggerus tabungan emosi. Jika tabungan emosi tergerus terus, emosi negatif yang muncul akan tumpah keluar. Anak akan melampiaskan emosi negatifnya ke teman-temannya yang dianggap punya posisi lebih lemah. Karena di tangan mereka selalu ada gawai, pelampiasan itu menjadi sangat mudah dilakukan menggunakan gawai,” kata Debrie.