Orientasi Perguruan Tinggi Menjadi Berbasis Kinerja Hasil
Kebijakan Merdeka Belajar mendorong perguruan tinggi mengutamakan capaian kinerja hasil. Hal ini menuntut perubahan paradigma kampus.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Merdeka Belajar untuk jenjang pendidikan tinggi berusaha mengubah kultur birokratis menjadi kinerja hasil. Hal ini tidak akan mudah dilakukan.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin menyampaikan pandangan tersebut, Rabu (4/11/2020), di Jakarta. Akan tetapi, bagi sejumlah perguruan tinggi yang terlalu menekankan administrasi, mereka akan kesulitan mengikuti.
”Pendekatannya sekarang adalah kultur kinerja hasil (outcomeperformance). Jadi, tata usaha pendukung pembelajaran seharusnya sudah mulai berbasis digital. Pola pikir pendidik mau tidak mau harus berubah, tetapi kami optimistis pengajar usia muda cepat beradaptasi,” ujar Asep.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merilis kebijakan Merdeka Belajar Episode 6 ”Transformasi Dana Pemerintah untuk Perguruan Tinggi”. Kebijakan ini kelanjutan dari Merdeka Belajar Episode 2 ”Kampus Merdeka”.
Kebijakan Merdeka Belajar Episode 6 berisi delapan indikator kinerja utama (IKU) yang mesti dipenuhi oleh perguruan tinggi untuk mendorong transformasi. Untuk menstimulus kampus menerapkan IKU, Kemendikbud mengembangkan tiga skema pendanaan, yaitu insentif khusus bagi perguruan tinggi negeri, matching fund, dan competitive fund. Pemerintah membuat pengelompokan perguruan tinggi agar penyaluran pendanaan berlangsung adil.
Menurut Asep, keragaman kondisi perguruan tinggi negeri ataupun swasta perlu jadi perhatian tersendiri bagi pemerintah. Dari sisi status akreditasi, perguruan tinggi dengan akreditasi C, misalnya, perlu dapat pembinaan.
Kerja keras
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Arif Satria mengatakan, setiap perguruan tinggi sekarang harus tunduk dan berusaha keras untuk mencapai kinerja sesuai target indikator yang telah ditetapkan. Pencapaian target semakin dihargai yang ditandai adanya skema pendanaan.
”Angka pencapaian target kinerja sebenarnya dapat dinegosiasi sesuai dengan kondisi perguruan tinggi,” ujarnya.
Skema insentif khusus bagi perguruan tinggi negeri terdapat klasifikasi kampus berdasarkan pola pengelolaan keuangan, yakni satuan kerja, badan layanan umum, dan badan hukum. Sementara dalam skema competitive fund, pemerintah mengklasifikasikan perguruan tinggi negeri dan swasta berdasarkan kategori binaan (1.000-5.000 mahasiswa aktif), berkembang (5.000-18.000 mahasiswa aktif), dan berdaya saing (lebih dari 18.000 mahasiswa aktif). Pengelompokan seperti ini, kata Arif, adalah paling mudah dilakukan karena Indonesia belum mempunyai skenario pengembangan perguruan tinggi riset dan perguruan tinggi pendidikan.
Dia meyakini pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar secara optimal akan berdampak pada kemajuan lanskap pendidikan tinggi di Indonesia. Subkebijakan yang ditawarkan pemerintah merangsang kampus berlomba-lomba menggagas ide program untuk kemajuan.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Jamal Wiwoho berpendapat, proses transformasi perguruan tinggi, seperti visi kebijakan Merdeka Belajar, butuh waktu panjang. Hasilnya tidak dapat dilihat dalam tempo singkat. Ditambah lagi, perguruan tinggi negeri ataupun swasta memiliki beragam faktor kondisi yang memengaruhi cara pengelolaan dan keluaran mutu.
Dia lantas mengilustrasikan kondisi di perguruan tinggi negeri. Pola pengelolaan keuangan memengaruhi fleksibilitas, manajemen, dan tuntutan. Perguruan tinggi berbadan hukum, khususnya, dibebankan sejumlah target yang salah satu hasil akhir diharapkan adalah masuk daftar 500 perguruan tinggi terbaik di dunia.
Guna mencapai pola pengelolaan keuangan berbadan hukum, institusi perguruan tinggi negeri tertentu melalui proses dimulai dari satuan kerja dan badan layanan umum. Jangka waktu perubahan status itu berbeda-beda antarinstitusi.
Penilaian akreditasi
Sementara itu, Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) T Basaruddin mengatakan, penerapan kebijakan Merdeka Belajar berimplikasi terhadap penilaian akreditasi kepada perguruan tinggi. BAN-PT pun perlu menyelaraskan kriteria penilaian.
”Instrumen penilaian yang saat ini digunakan BAN-PT dirumuskan tahun 2018 sebelum keluar kebijakan Merdeka Belajar,” ujarnya.
Basaruddin mengemukakan, dalam menjalankan fungsinya BAN-PT harus mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi (SNDIKTI). BAN-PT saat ini masih menunggu perubahan SNDIKTI oleh pemerintah sebagai implikasi dari kebijakan Merdeka Belajar.
Detail SNDIKTI saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Sesuai Permendikbud ini, SNDIKTI terdiri dari standar nasional pendidikan, standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat. Menurut dia, substansi SNDIKTI yang ada di permendikbud itu belum sepenuhnya mengakomodasi kebijakan Merdeka Belajar.
Berdasarkan data BAN-PT, dari sisi perguruan tinggi penyelenggara, jumlah perguruan tinggi negeri terakreditasi A mencapai sekitar 43, akreditasi B sekitar 47, akreditasi C 2, dan akreditasi Baik 13 institusi. Jumlah perguruan tinggi swasta terakreditasi A tercatat sekitar 39 institusi, akreditasi B 714, akreditasi C 958, akreditasi Baik Sekali 9, dan akreditasi Baik 184 institusi.