Di era 4.0 pendekatan mengenai pendidikan nasional tidak bisa lagi politik dan teknis pendidikan, tetapi harus menyeluruh mengenai hakikat pendidikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan bangsa.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Proses pendidikan merupakan bagian dari perubahan sosial. Karena itu, sistem pendidikan harus bisa menjawab tantangan dinamika kehidupan sosial yang berubah pesat karena proses globalisasi, demokratisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya teknologi informasi.
Dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, materi yang diajarkan saat ini mungkin tidak lagi sesuai untuk tiga hingga empat tahun ke depan. Keterampilan yang diajarkan untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini mungkin juga tidak akan sesuai lagi untuk masa yang akan datang.
Menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi pekerjaan yang belum terbayang saat ini menjadi tantangan pendidikan saat ini. Pendidikan yang mengembangkan daya imajinasi, kreativitas, inovasi, kemandirian siswa, serta berpijak pada budaya bangsa akan membantu siswa menyongsong masa depannya.
Dengan demikian, pendekatan mengenai pendidikan nasional harus merupakan pendekatan menyeluruh mengenai hakikat pendidikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan bangsa. Ini sesuai pemikiran HAR Tilaar, tokoh pendidikan nasional yang meninggal pada 30 Oktober 2019.
Ilmu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai tradisi, budaya, serta pemikiran para tokoh terdahulu di Indonesia. (Sofia Hartati)
”Ilmu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai tradisi, budaya, serta pemikiran para tokoh terdahulu di Indonesia,” kata Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Sofia Hartati mengutip pemikiran HAR Tilaar dalam Forum Diskusi Pedagogi Ikatan Alumni UNJ yang diselenggarakan secara daring, Rabu (4/11/2020).
Diskusi bulanan yang sekaligus memperingati satu tahun meninggalnya HAR Tilaar ini bertema ”Relasi Ilmu dan Kebudayaan dalam Pedagogik Kritis Ki Hajar Dewantara, Refleksi Prof HAR Tilaar dalam Mempertemukan Relasi Ilmu dengan Kebudayaan”. Pemikiran Ki Hajar Dewantara memang menjadi acuan pemikiran Tilaar tentang pendidikan.
Tilaar melengkapi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Jika Ki hajar Dewantara memiliki konsep tripusat pendidikan (alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan), Tilaar menambahkan unsur masyarakat serta negara dan lingkungan global sehingga menjadi panca pusat pendidikan.
Demikian pula untuk pendidikan tinggi, tidak cukup tri dharma perguruan tinggi, tetapi juga panca dharma perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak cukup sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat, tetapi juga pusat pengembangan kebudayaan dan pengembangan peradaban.
”Menurut Prof Tilaar, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan karena manusia bukan hanya sebagai obyek kebudayaan, melainkan juga subyek kebudayaan. Kebudayaan bukan sesuatu yang statis. Refleksi kritis menjadi penting sehingga kebudayaan bisa menjadi dinamis. Perspektif masa depan harus berpijak pada kebudayaan yang dinamis,” kata Hariyono, Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang.
Untuk itu, ilmu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa. Pendidikan yang tercerabut dari akar budayanya akan mengasingkan anak didik dari realitasnya. Kebudayaan akan memelihara dan memajukan hidup manusia ke arah peradaban sesuai zaman.
”Pendidikan harus dirasakan bahwa anak harus tumbuh sebagai orang Indonesia, membuat peserta didik peka terhadap budi pekerti, harus selalu berhubungan dengan kebudayaannya, serta harus menjadi transmisi kebudayaan,” kata Sofia mengutip pemikiran Tilaar.
Pedagogik transformatif
Tilaar meletakkan gagasan-gagasan penting tentang pendidikan nasional yang kritis dan berkebudayaan tersebut dalam bangunan ”pedagogik transformatif”. Pedagogik transformatif diperlukan agar pendidikan sesuai perkembangan dan tuntutan zaman.
Pedagogik transformatif menghendaki sistem pendidikan dengan kurikulum yang memerdekakan dan berbasis pada budaya bangsa berlandaskan Pancasila. Pedagogik transformatif juga menghendaki kemandirian siswa, mendorong jiwa kreatif dan inovatif, peserta didik yang berjiwa kewirausahaan, dan berkebudayaan.
”Pedagogik transformatif merupakan sebuah sintesis dari falsafah Pancasila, pedagogik kebudayaan, dan pedagogik kritis. Pendidikan harus mengembangkan nilai-nilai positif, penghargaan pada pluralitas, kritis, ekologis, sederhana. Pendidikan harus sederhana, guru harus memiliki keterampilan menyederhanakan materi yang sulit. Guru harus cerdas secerdas tuntutan zaman,” kata Rektor UNJ Komarudin Sahid.
Karena itu, mantan Rektor UNJ Prof Sutjipto menilai capacity based education yang diterapkan dalam pendidikan vokasi tidak cocok dengan pemikiran Tilaar. Keterkaitan dan kesepadanan (link and match) seolah membuat hubungan yang sudah pasti antara pendidikan dan dunia industri (kerja). Padahal, sifat yang dibawa revolusi industri 4.0 adalah perubahan yang sangat cepat.
”Jadi perlu link and match dengan masa yang akan datang, bukan dengan keadaan sekarang. (Pendidikan) harus berhubungan dengan hidup di masa yang akan datang. Prof Tilaar membicarakan kebebasan itu dalam arti memberikan modal (anak didik) untuk bisa menyesuaikan diri di masa yang akan datang,” kata Sutjipto.
Menghadapi era 4.0 dengan perubahan sosial yang sangat cepat saat ini diperlukan rekonstruksi pandangan tentang pendidikan, juga pandangan baru mengenai metodologi pendidikan. Dan untuk membuka pintu ke sana, HAR Tilaar telah memberikan kuncinya.