Gagasan Pedagogi Transformatif HAR Tilaar Tetap Relevan
Gagasan pedagogi transformatif HAR Tilaar mengawinkan pedagogi kritis dan nilai Pancasila. Gagasan pedagogi seperti ini tetap relevan di tengah pesatnya kemajuan teknologi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan pedagogi transformatif yang dicetuskan tokoh pendidikan HAR Tilaar akan tetap relevan di tengah kemajuan pesat inovasi teknologi pendidikan. Gagasan pedagogi ini bersumber pada diri manusia yang dinamis dan pendidikan yang harus selalu merespons dinamika perubahan tanpa meninggalkan nilai tradisi kebudayaan.
Dosen Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menyampaikan pandangan itu dalam peluncuran buku Pedagogik Transformatif dalam Era Digital Education: Suatu Tantangan, Senin (2/11/2020), di Jakarta. Peluncuran buku itu sekaligus untuk memperingati satu tahun meninggalnya tokoh pendidikan HAR Tilaar yang meninggal pada usia ke-87, Rabu (30/10/2019) di Jakarta.
Dia mengatakan, gagasan pedagogi transformatif mengambil inspirasi dari pedagogi kritis Paulo Freire, Ivan Illich, pemikiran Antonio Gramsci, Mazhab Frankfurt, kajian budaya, dan postmodernism. Tilaar juga mengambil pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan M Sjafei, nilai tradisi kebudayaan Nusantara, dan Pancasila.z
Pedagogi transformatif adalah pedagogi yang mendamaikan, bukan sekuler dan teokratis. Melalui gagasan pedagogik seperti itu, sikap dan perilaku tidak bertentangan dengan Pancasila.
Tilaar mengawinkan pedagogi kritis dengan Pancasila. Pedagogi transformatif adalah pedagogi yang membebaskan, mengakui keterbatasan, menerima manusia, menghormati hak asasi, antikekerasan, dan humanis. (Edi Subkhan)
”Tilaar mengawinkan pedagogi kritis dengan Pancasila. Pedagogi transformatif adalah pedagogi yang membebaskan, mengakui keterbatasan, menerima manusia, menghormati hak asasi, anti kekerasan, dan humanis,” ujar Edi.
Menurut Edi, gagasan Tilaar tersebut relevan dibawa dalam konteks pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selama pandemi Covid-19, misalnya, pembelajaran menggunakan media daring dipaksa jadi bagian PJJ. Teknologi digital bidang pendidikan memudahkan siswa menemukan sumber pengetahuan. Namun, proses pendidikan yang seharusnya mengedepankan dialog atas pengetahuan yang diperoleh tidak terjadi.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Hendra Gunawan menyampaikan, dalam kondisi pembelajaran luring, dialog guru-siswa juga tidak terjadi. Tenaga pendidik cenderung mengajarkan konten mata pelajaran yang kemungkinan besar mudah dicari siswa di internet. Siswa juga cenderung bertanya materi yang jawabannya bisa ditelusuri di internet. Ini menyebabkan susah terjadi transformasi.
”Mendiang Tilaar dalam tahun-tahun terakhir hidupnya sering mengatakan pendidikan sebagai hak asasi manusia. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, masih ada anak-anak putus sekolah dan tidak punya gawai. Kekhawatiran saya, jangan-jangan kita tidak memiliki generasi terdidik yang melek teknologi,” ujarnya.
Pegiat Taman Pembelajar Rawamangun Indra Gunawan menyampaikan, pada tahun 1980, Tilaar sudah memprediksi akan ada kemajuan teknologi informasi komunikasi yang mempermudah siswa. Maka, mendiang menyebut pendidikan harus terus fokus menanamkan nilai-nilai.
Hak asasi manusia
Menurut dia, pemikiran Tilaar tentang pendidikan adalah hak asasi manusia setiap warga negara muncul pada saat mulai pensiun. Ini berbeda ketika menelusuri pemikirannya pada periode 1970-1980 yang masih condong kepada pendidikan untuk pembangunan (developmentalism).
”Untuk konteks kekinian, saya menilai pedagogi transformatif yang menekankan hak asasi manusia selalu relevan,” ujar Indra.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam sesi ”Pengarusutamaan Kebudayaan dalam Pendidikan” bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2020 mengatakan, permasalahan pendidikan di Indonesia kompleks. Pembenahannya memperhitungkan tren global, pesatnya kemajuan teknologi, perubahan lingkungan hidup, dan dunia kerja masa depan.
Indonesia punya modal kekayaan kearifan lokal, seperti gotong royong dan keberagaman akar budaya lainnya.
”Kami memiliki Merdeka Belajar. Kami juga berkolaborasi dengan para seniman untuk mengajar pendidikan seni di sekolah. Dengan pendidikan seni, kami harap siswa semakin mencintai keberagaman, akar budaya, punya kemerdekaan berpikir, berekspresi, dan mengenali minat bakatnya,” ujarnya.