Wahai puan dan tuan munsyi, pakar, pecinta, dan pahlawan bahasa. Dengarkanlah suara hamba. Marilah kita, bersama-sama, pisahkan etiqet dari etika. Ayolah, demi bangsa, ehm, perjuangkan kejernihan moralitas rakyat dan pemimpin negeri kita. Janganlah terus kita biarkan kabut, asap, dan debu kebingungan dan kekacauan menyelimuti pemikiran, perasaan, dan penjiwaan kita akan apa yang benar dan apa yang salah; akan apa yang baik dan apa yang buruk; akan apa yang sopan dan apa yang kurang ajar. Campur aduk tidak keruan.
Dari ethikos (bentuk jamak ta ethika), etika atau etik mengacu pada moral, karakter, perilaku yang baik dan benar. Keutamaan etika dalam hidup manusia sepanjang masa terbukti dari misalnya pemakaiannya sebagai judul tulisan pemikir-pemikir dari zaman kuno sampai kontemporer: Aristoteles, Spinoza, Bonhoeffer, serta dari kepopulerannya menjadi judul satu episode serial Star Trek: The Next Generation dan bahkan adalah tema utama keseluruhan serial komedi The Good Place.
Etika sebagai cabang ilmu filsafat dan teologi mempelajari perilaku dan karakter moral, yakni baik jahatnya tindakan orang dan lembaga serta profesi, misalnya yang sangat krusial dalam dunia bisnis dan kedokteran. Etika sangat penting dalam studi legal, karena hukum yang baik dan adil berfondasi pada etika. Ilmu etika pada zaman ini sangat aktif mendalami dampak aktivitas ekonomi dan kebijakan politik pada kesejahteraan manusia dan pada alam lingkungan.
Tidak ada kaitan antara etika dan etiqet. Etiqet berakar pada kata Indo-Eropa kuno steig-, yakni, menusuk dengan benda runcing stik. Dari situ muncul makna menusukkan pada sesuatu, yakni, menempelkan dengan cara menusuk atau menyetik. Itulah pelabelan dengan cara menempelkan notes atau catatan. Kata Prancis kuno estiquette berarti catatan kecil. Kemudian penulisannya berubah menjadi étiquette berarti notes, label atau tiket. Dulu orang yang tinggal atau bekerja di dalam istana membawa-bawa étiquette berupa lembar notes kecil yang berisi petunjuk bersikap di hadapan raja dan bangsawan. Etiqet tertulis di atas tiket. Maka étiquette pun berarti tata krama, sopan santun. Itulah makna etiqet yang kita kenal di sini.
Etika bersifat universal, sedangkan etiqet bersifat lokal. Etika bersifat imperatif atau keharusan. Pelanggaran terhadap etika, bahkan apabila terjadi seluas dunia selama ribuan tahun, selalu adalah salah. Perbudakan misalnya tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apa pun hanya karena dilakukan tanpa kecuali oleh nenek moyang luhur kita semua, secara legal sekali pun. Etiqet, tata krama adalah urusan kepatutan dalam lingkungan tertentu, tradisi, kebiasaan. Pelanggaran etiqetis menunjukkan bahwa pelanggar punya pendapat atau tradisi lain yang mungkin sama sahihnya dalam konteks lain. Apakah bersendawa atau berteriak-teriak atau kentut di meja makan itu etiqetis atau tidak tergantung lokasi, situasi, dan tradisi.
Suatu keadaan bisa dilihat dari kacamata etika atau etiqet. Itu dua hal berbeda. Keduanya sahih. Yang bikin ruwet adalah ketika penilaian etiqetis dijadikan kesimpulan etis. Misalnya, dia sopan (etiqetis) jadi dia tentulah pemimpin jujur (etis). Dia tidak mengucapkan salam ketika berpapasan (etiqetis) jadi dia pasti hakim yang tidak adil (etis). Kerancuan moral seperti itu telah dan sedang terjadi meluas. Demi kejernihan akal budi kita dan, ehm ehm, pendewasaan bangsa kita, ingatlah dan pakailah q.
Samsudin Berlian
Penggelut Makna, Magister dalam Etika