Semenjak dilahirkan tahun 1998, Komnas Perempuan berupaya hadir mewakili suara perempuan korban kekerasan. Setelah 22 tahun berlalu, Komnas Perempuan terus diharapkan mewujudkan harapan perempuan korban.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang terus mendera bangsa Indonesia, Rabu (28/10/2020), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menggelar puncak peringatan 22 tahun hari ulang tahunnya sebagai lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Peringatan HUT secara daring itu digelar bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda.
Selama lebih dari dua dekade berdiri, lembaga yang hadir dari gerakan perempuan untuk memastikan kesediaan negara untuk bertanggung jawab pada persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi ”rumah” atau tempat perempuan korban bersuara untuk semua ketidakadilan yang terjadi selama ini.
Sajak berjudul ”Belum Saatnya, namun Mari Rayakan Setiap Capaian” yang dibacakan Rainy MP Hutabarat, salah satu komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengingatkan, kerja-kerja dan perjuangan melawan kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan belum selesai.
Seperti salah satu bait sajak yang dibacakan Rainy: Memang, belum saatnya berpesta, ketika kemarin, seorang bocah lelaki cerdas penuh harapan akan masa depan gemilang tewas di tangan pemerkosa ibunya, justru ketika ia bergulat membela ibunya. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ibu kita diperkosa adalah neraka dunia, yang akan terus menghantui siapa pun seumur hidupnya!
Lewat sajak itulah, Rainy mengirimkan pesan mewakili teriakan-teriakan pada perempuan korban pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, dan diskriminasi. Mulai dari jalan panjang dan luka jiwa para perempuan korban politik di masa lalu yang hingga kini tak kunjung dipulihkan, teriakan perempuan-perempuan adat yang terusir dari tanah tempat keluarganya bertumpu, hingga jeritan para korban kekerasan seksual yang tak pernah meraih keadilan.
Bersuara untuk para perempuan dan anak yang hingga kini hidup di tenda pengungsian dan perjuangan pekerja rumah tangga yang tak kunjung mendapat pengakuan pemerintah. Melalui sajak, Rainy mempertanyakan di mana hati nurani publik ketika mendengar jeritan para perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pada puncak peringatan HUT Komnas Perempuan yang mengangkat tema ”22 Tahun Gerak Juang Bersama untuk Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan”, Komnas Perempuan juga memberikan penghormatan kepada 11 perempuan pembela HAM yang telah meninggal.
Mereka adalah Estu Fanani (mantan Direktur LBH APIK Jakarta/Koordinator CEDAW Working Group Indonesia), Ratih Purwarini (relawan Komnas Perempuan/Direktur Rumah Sakit Duta Indah Jakarta Utara), Rosniati (Solidaritas Perempuan/SP), Nurhidayah Arsyad (Ketua Pendidikan dan Pengorganisasian Nelayan Perempuan DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), dan Den Upe Rambelayuk (Koordinator Dewan AMAN).
Selain itu, Lily Dorianty Purba (mantan Perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children), Yusan Yeblo (mantan komisioner Komnas Perempuan), Tapi Imas Ihromi Simatupang (akademisi/aktivis perempuan), Eyang Sri Sulistyawati (jurnalis pada tahun 1950-an dan bekerja di koran Ekonomi Nasional), Cut Risma Aini (aktivis SP di Aceh), dan Christina Sumarmiaty (aktivis, korban kekerasan seksual tahun 1967).
Adapun HUT Komnas Perempuan yang biasanya diperingati pada 15 Oktober sengaja digelar tepat pada Hari Sumpah Pemuda, sekaligus momentum mengingatkan kehadiran perempuan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Sebab, keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam hari bersejarah tersebut kerap dihilangkan. Padahal, dalam Kongres Pemuda Kedua (27-28 Oktober 1928), perempuan hadir sebagai warga yang setara, teman dalam seperjuangan, dan menegaskan pentingnya pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan.
”Semangat para perempuan perintis di masa itu yang mengutamakan pendidikan untuk perubahan sosial dan wawasan kebangsaan menjadi warisan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia di masa kini,” papar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Semangat tersebut sangat penting terutama dalam menghadapi persoalan tindak intoleransi atas nama agama/keyakinan dan etnis, yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Penuhi mimpi perempuan korban
Perjalanan 22 tahun bagi Komnas Perempuan memang bukan hal yang mudah di tengah statusnya sebagai lembaga negara independen yang berdiri di antara lembaga pemerintah dan para perempuan korban kekerasan. Bersama Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, beserta unit layanan korban di kepolisian, di rumah sakit, dan juga dalam koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan hadir memenuhi mimpi perempuan korban kekerasan.
Pemantauan yang disertai pendokumentasian dan kajian atas kondisi perempuan dalam berbagai konteks, dalam bentuk catatan tahunan yang melahirkan rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kebijakan, menjadi panduan bagi semua pihak untuk mengambil kebijakan. Termasuk di masa pandemi Covid-19, Komnas Perempuan terus mengingatkan semua pihak tentang beban berlipat ganda yang dihadapi perempuan.
”Kami memprediksi bahwa dalam situasi pandemi ini kondisi kekerasan terhadap perempuan akan meningkat, baik di rumah tangga, di ruang maya karena semua berpindah daring, dan juga eksploitasi perempuan pekerja dan berbagai konteks lainnya. Hingga Agustus 2020, kami menerima lebih dari 1.700 pengaduan. Jumlah ini jauh lebih besar dari total pengaduan yang kami terima pada tahun sebelumnya,” tutur Andy.
Beradaptasi dengan cepat
Dari berbagai situasi yang dihadapi saat ini, seperti kata Andy, siap tidak siap, tombol ”restart” telah ditekan. Komnas Perempuan harus mengubah dirinya untuk mampu beradaptasi dengan lebih cepat, tepat, dan fleksibel pada dampak sistemik jangka panjang dari situasi pandemi Covid-19.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan apresiasi atas kerja-kerja Komnas Perempuan dua dekade ini. Ia juga menyampaikan harapan agar menjadi mitra terbaik Kementerian PPPA.
Koordinator Sekretariat Nasional FPL Veni Siregar berharap Komnas Perempuan bersama para komisioner tetap setia menjalankan amanat CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) dan terus merawat gerakan perempuan.
”Harapan kami, Komnas Perempuan terus berupaya mendorong perbaikan kebijakan bagi pemenuhan hak perempuan korban kekerasan,” ujarnya.
Begitu banyak harapan terhadap Komnas Perempuan, seperti pertanyaan Ketua Komnas Perempuan pertama, Saparinah Sadli, apabila kerja memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah mimpi, apakah kita akan membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya?