Sisa Masalah yang Belum Terpecahkan dari Proses Belajar di Rumah
Sejumlah masalah masih tersisa selama 10 bulan metode pembelajaran jarak jauh dilaksanakan. Bahkan, Tangerang Selatan misalnya, kondisi tidak ideal ini masih saja dikeluhkan sejumlah orangtua siswa
Kegiatan pembelajaran jarak jauh di Kota Tangerang Selatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para orangtua siswa mengeluhkan proses atau kegiatan belajar mengajar yang hilang. Siswa hanya dijejali tugas tanpa mendapat materi pelajaran.
Pandemi Covid-19 membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah dilaksanakan secara daring atau jarak jauh. Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, hingga saat ini masih belum membuka sekolah karena dikhawatirkan akan terjadi penularan virus.
Setiap hari terdapat penambahan kasus baru Covid-19 di Tangsel. Korban meninggal pun belum dapat terbendung. Hingga 29 Oktober 2020, total 80 orang meninggal di Tangsel akibat Covid-19.
Kondisi itu menyebabkan Tangsel masih masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19. Pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar baru akan dilakukan jika Kota Tangsel termasuk zona kuning atau zona hijau penyebaran Covid-19.
Baca juga: Masalah Pembelajaran Jarak Jauh Bukan Sekadar Beban Biaya Paket Data
Dengan demikian, sudah sejak Maret 2020 siswa di Tangsel menyerap ilmu dari rumah masing-masing. Namun, PJJ itu dikeluhkan sejumlah orangtua siswa. DH (49), warga Bumi Serpong Damai (BSD), Tangsel, Kamis (29/10/2020), menyampaikan, proses PJJ yang dijalani anaknya di salah satu SMP negeri di Tangsel sangat tidak ideal.
Menurut DH, sang anak hanya pernah mengikuti proses belajar mengajar secara daring sebanyak dua kali pertemuan via aplikasi Zoom. Selebihnya, PJJ hanya diisi dengan pemberian tugas-tugas. Penjelasan materi pelajaran dari guru kepada siswa, kata DH, hampir tidak ada.
”Kalau pelajaran hanya diberikan tugas tanpa ada penjelasan materi lewat Zoom, itu, kan, aneh. Mana bisa siswa tahu tugas yang dikerjakannya itu sudah benar atau belum,” katanya ketika dihubungi.
Metode pembelajaran dengan bertumpu pada pemberian tugas, bagi DH, sangat tidak efektif. Ia menginginkan adanya penjelasan materi pelajaran oleh guru.
”Disuruh mengerjakan tugas terus, tetapi tidak ada pemberian materi. Idealnya, kan, pemberian materi dulu, setelahnya menguji pemahaman siswa lewat penugasan atau pekerjaan rumah,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan, Nadia (31), warga Bambu Apus, Tangsel. Nadia menyayangkan tidak adanya proses pembelajaran dari guru kepada siswa selama PJJ.
Setiap hari, kata Nadia, sang anak yang duduk di bangku kelas III SD lebih banyak diberi tugas. Tiadanya pemberian materi pelajaran membuat anak Nadia kerap bingung dan menanyakan materi pelajaran yang tidak ia pahami kepada dirinya.
”Repot kalau anak hanya diberi tugas. Apalagi saya sebagai orangtua tidak selamanya bisa di rumah untuk mendampingi anak karena harus bekerja,” kata Nadia.
Sementara itu, HD (37) warga Ciputat, Tangsel, menyampaikan, selama menjalani pembelajaran jarak jauh, sang anak hanya diminta mengerjakan tugas dan jarang memperoleh materi pelajaran secara daring. Metode belajar seperti itu, menurut HD, membuat anaknya kesulitan memahami materi pelajaran.
”Kami sibuk bekerja juga. Jadi, tidak setiap hari bisa mengawasi anak belajar,” katanya.
Kondisi yang dialami DH, Nadia, dan HD pernah disinggung oleh Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Satriwan mengakui ada guru yang sekadar menganjurkan siswa belajar mandiri melalui aplikasi belajar daring yang direkomendasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga tidak ada penjelasan materi dari guru dan umpan balik (Kompas, 30/4/2020).
Hambatan
Menurut Kepala SDN 1 Pondok Jagung, Tangsel, Atang Mulyatin, PJJ saat ini semestinya sudah tidak ada hambatan dari segi sarana pendukung. Sebab, Kemendikbud telah menyalurkan bantuan paket data internet kepada para pelajar dan guru.
Persoalan yang masih tersisa, di antaranya ada sebagian kecil siswa yang belum memiliki gawai yang memungkinkan untuk mengikuti pelajaran secara daring. Selain itu, Atang juga mengakui sejumlah guru masih belum piawai menggunakan teknologi untuk menggelar PJJ.
Baca juga: Siswa Alami Dampak Psikologis Pembelajaran Jarak Jauh Paling Nyata
Atang juga menyampaikan, di sekolah yang ia pimpin tak setiap hari menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Dalam seminggu, pembelajaran tatap muka lewat aplikasi hanya diadakan satu hingga dua kali. Selebihnya, murid diminta mengerjakan soal untuk kemudian dikumpulkan hasilnya.
Menurut Atang, kurikulum pendidikan yang disusun saat masa normal tidak bisa serta-merta diterapkan dalam kondisi pandemi. Target-target yang ditentukan dalam kurikulum masa normal, kata Atang, agak sulit dicapai dengan metode PJJ secara daring. Salah satu penyebabnya karena keterbatasan waktu selama PJJ daring.
”(Tatap muka lewat daring) hanya sekali atau dua kali karena sebelumnya materi pelajaran sudah diterima murid. Kalau materi diberikan (setiap hari) secara global itu tidak mungkin karena waktunya terbatas,” kata Atang.
Kendala sejumlah guru yang belum menguasai teknologi untuk mendukung PJJ juga dirasakan Kepala SMPN 22 Tangsel Yanto. Ia menyebut sejumlah guru ”senior” masih harus bertransformasi dengan dunia digital. Yanto mengatasi itu dengan meminta guru-guru yang tergolong milenial untuk turut membantu seniornya dalam menyiapkan PJJ daring.
Yanto menyayangkan jika masih ada guru yang hanya memberikan tugas tanpa menjelaskan materi pelajaran kepada siswa. Kondisi itu akan membuat guru tidak dapat mengevaluasi dan mengukur kemampuan siswa sebenarnya.
”Harus dicek di sekolah yang hanya memberikan tugas. Apakah kepala sekolahnya kurang mengawasi atau bagaimana. Terkadang guru juga tidak dikontrol, maka yang akan dilakukan seperti itu (hanya memberikan tugas). Karena dia menganggap itu tidak menyita waktu,” ujar Yanto.
Dikonfirmasi mengenai keluhan orangtua siswa, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Tangsel Taryono,tidak bisa dihubungi. Demikian pula Sekretaris Disdikbud Tangsel Aji Awan yang tidak merespons panggilan dan pesan singkat yang dilayangkan Kompas.
Baca juga: Dinamika Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh
Secara terpisah, Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) Ellen Nugroho berpendapat, orangtua memiliki peran sentral dalam mendampingi anak selama proses belajar dari rumah. Oleh sebab itu, menurut Ellen, guru semestinya mengomunikasikan instruksi dan tujuan pembelajaran secara jelas kepada orangtua, alih-alih langsung memberikan tugas kepada siswa.
”Siswa itu sesuai usianya, kan, memang ada yang belum dapat mencerna sendiri materi pelajaran. Jadi, ekspektasi guru itu berlebihan jika menganggap siswa pasti bisa mengerti pelajaran hanya dengan diberi tugas,” ujar Ellen.
Ellen memandang PJJ secara daring dalam waktu lama dan terus-menerus juga tidak sepenuhnya efektif. Ini karena ada faktor kesehatan mata anak yang harus dipertimbangkan. Selain itu, konsentrasi dan daya tahan siswa dalam mengikuti pelajaran secara daring juga lebih rendah dibandingkan dengan tatap muka di kelas.
Dari argumentasi tersebut, Ellen mendorong guru bersedia bereksperimen dan menguji apakah materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa secara daring benar-benar dapat dipahami atau tidak. Eksperimen menjadi penting karena kegiatan belajar mengajar yang dulu bisa efektif disampaikan secara tatap muka langsung belum tentu sama efektifnya jika disampaikan secara daring.
Salah satu cara yang bisa diterapkan, menurut Ellen, adalah meminta siswa menceritakan kembali melalui rekaman video tentang apa yang sudah mereka pelajari. Dengan begitu, siswa tidak selalu hanya diminta mengerjakan tugas. Sebab, jika proses belajar mengajar terus dijejali tugas, potensi orangtua untuk mengerjakan tugas sang anak terbuka lebar karena mereka berkepentingan agar anaknya tetap mendapat nilai.