Pendidikan harus mampu mengembangkan keluhuran budi sekaligus intelektualisme dan ini menghadapi tantangan di era industri 4.0 saat ini. Pendidikan sesuai konsep Ki Hajar Dewantara bisa menjawab tantangan ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
”Perlu ada reorientasi pendidikan dengan mengembalikannya ke garis pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dikembangkan secara kontekstual dan lebih maju, bukan sekadar menyiapkan peserta didik sebagai sekrup industrialisasi ekonomi, tetapi merupakan proses belajar seutuhnya.”
Kutipan yang ada dalam buku Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif karya Yudi Latif tersebut ditekankan oleh Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu ketika membedah buku itu dalam diskusi daring Caknurian Urbansufism with Komaruddin Hidayat, Jumat (30/10/2020) malam.
Bagi Henny, buku tersebut tepat untuk melakukan refleksi mengenai pendidikan di Indonesia saat ini. Jika dahulu Ki Hajar Dewantara mengingatkan sistem pendidikan yang terlalu berat pada intelektualisme sehingga kurang memperhatikan keluhuran budi, dalam buku itu Yudi menyatakan, sekarang lebih dari itu. Pendidikan bukan hanya kurang memperhatikan keluhuran budi, melainkan juga kurang mampu mengembangkan intelektualisme.
Saya kira tulisan (Yudi Latif) ini merupakan pengamatan yang sangat tajam dan pahit untuk kita telan, sebagai para penyelenggara pendidikan, sebagai guru.
”Saya kira tulisan (Yudi Latif) ini merupakan pengamatan yang sangat tajam dan pahit untuk kita telan, sebagai para penyelenggara pendidikan, sebagai guru,” kata Henny.
Di era revolusi industri 4.0, pendidikan yang lebih menitikberatkan pada penciptaan kemampuan teknikal tidak akan bisa mengimbangi perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Proses pendidikan seharusnya membantu peserta didik menemukan dan mengenali potensi sendiri dan lingkungan mereka sehingga siap menghadapi segala perubahan.
Namun, faktanya, kata Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia yang juga pendiri Sekolah Madania Prof Komaruddin Hidayat, kemajuan teknologi di era 4.0 cenderung menginterupsi kehidupan masyarakat. ”Ada kecenderungan kita kehilangan perhatian pada dimensi-dimensi yang lebih kontinum dari tradisi, kearifan lokal, spiritualitas, fitrah kemanusiaan kita,” kata Komaruddin.
Setinggi apa pun kemajuan teknologi, kata Komaruddin, ada bagian-bagian elementer sekali yang tidak bisa diganti, yaitu karakter identitas bangsa, karakter kemanusiaan. Modernitas tidak seharusnya meninggalkan identitas lokal keindonesiaan.
Dan bicara pendidikan, kata Yudi Latif, harus berpijak pada kecerdasan lokal yang menjadi kekayaan bangsa ini sebelum mengadopsi sesuatu dari luar. ”Ki Hajar Dewantara itu local genius (kecerdasan lokal) luar biasa, pemikirannya melintasi batas-batas ruang dan waktu. Local genius kita harus kita pelajari dulu, baru kemudian kita mengambil dari pikiran-pikiran orang (bangsa) lain,” kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini.
Berpusat pada siswa
Ki Hajar Dewantara, kata kata Yudi, selalu ingin memadukan elemen-elemen positif dari dalam negeri dan sesuatu yang baru dari luar. Ki Hajar ingin menggabungkan sistem pendidikan di pesantren yang mempunyai elemen-elemen konstruktif soal kemandirian juga relasi antara kiai dan murid yang setiap hari bergaul dengan pola pendidikan modern.
”Di pesantren ada sistem pembelajaran yang sekarang kita idolakan kembali, yaitu sistem pembelajaran yang berpusat pada individu dan atas dasar kesamaan minat,” kata Yudi.
Ada dua metode pembelajaran di pesantren. Pertama, sorogan, yaitu setiap santri datang membawa kitabnya masing-masing, berhadapan satu per satu dengan kiai atas dasar minat masing-masing. Kedua, wetonan, yaitu belajar bersama membaca kitab yang sama atau berdasarkan kesamaan minat. ”Ini (sorogan dan wetonan) yang sekarang disebut sebagai individual centered learning,” kata Yudi.
Ki Hajar Dewantara yang mempunyai latar belakang pendidikan keguruan di Belanda berusaha mengombinasikan elemen-elemen positif di pesantren tersebut dengan pemikir modern dalam pendidikan, seperti Maria Montessori dari Italia ke sekolah atau perguruan Taman Siswa. Pendidikan yang menjadi tempat persemaian benih-benih kebudayaan, pendidikan yang menumbuhkan karakter atau keluhuran budi maupun intelektualitas.
Sebagaimana peran kiai di pesantren, peran guru di sekolah sangat menentukan dalam proses pembelajaran. Seperti anjuran Ki Hajar Dewantara, kata Henny, guru tidak cukup memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi juga harus mendidik murid untuk dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Iwan Syahril mengatakan, ”Guru ibarat petani, ada bibit macam-macam, harus ditumbuhkan sesuai jenis bibit (yang ada).”
Ekosistem sekolah juga harus bisa memberikan pelayanan yang berpusat pada siswa. Kembali ke manajemen berbasis sekolah, sekolah diberi kebebasan untuk melakukan inovasi sesuai kodrat alam dan para siswanya. ”Tantangannya pada pemimpin sekolah. Peran pemimpin dalam pendidikan selama ini belum terlalu tersentuh dan sering terpolitisasi politik pilkada,” kata Iwan.
Mengembalikan hakikat pendidikan ke garis pendidikan Ki Hajar Dewantara pada akhirnya juga harus kembali ke konsep tripusat pendidikan Ki Hajar. Pendidikan menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat, terutama pemerintah.