Kajian Akademis dan Langkah Sosialisasi Dipertanyakan
Urgensi sampai metode pelaksanaan Asesmen Nasional belum dipahami oleh sekolah. Sejumlah pegiat pendidikan menilai, sosialisasi program juga tidak optimal.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Rencana pemerintah melaksanakan Asesmen Nasional mulai Maret 2021 dinilai perlu dikaji ulang. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan beragamnya kondisi pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 dan tenaga pendidik.
Hal itu mengemuka dalam "Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi: Asesmen Nasional dan Guru Penggerak", Minggu (25/10/2020), di Jakarta. Dialog interaktif ini diselenggarakan Vox Point Indonesia dan Jaringan Masyarakat Profesional Nahdlatul Ulama (NU Circle).
Menurut catatan Kompas, asesmen nasional berisi tiga komponen, yaitu asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Asesmen kompetensi minimum berisi penilaian siswa terkait literasi dan numerasi.
Untuk asesmen nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengajukan anggaran Rp 1,49 triliun. Dana ini mencakup pendampingan kurikulum guru dan tenaga kependidikan, pengembangan kurikulum dan perbukuan, peruntukan implementasi kurikulum pada satuan pendidikan dan daerah, asesmen kompetensi minimum dan akreditasi, pendampingan ke pemerintah daerah, serta tindak lanjut hasil asesmen kompetensi minimum.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, asesmen tidak bisa dilepaskan dari kondisi pembelajaran. Masalahnya, pembelajaran berlangsung di masa pandemi Covid-19.
Realisasi pembelajaran beragam sesuai kondisi daerah. Sebagai contoh, penyaluran bantuan kuota data internet belum merata, penyederhanaan kompetensi isi/kompetensi dasar Kurikulum 2013 belum tersosialisasikan sampai ke pelosok, dan kualitas sinyal telekomunikasi seluler buruk di sejumlah titik.
"Asesmen Nasional menguji numerasi dan literasi. Tujuan pemerintah menyelenggarakannya yakni untuk pemetaan. Hal itu menambah beban psikologis guru dan kepala sekolah," ujarnya.
Asesmen Nasional menguji numerasi dan literasi. Tujuan pemerintah menyelenggarakannya yakni untuk pemetaan. Hal itu menambah beban psikologis guru dan kepala sekolah.
Satriwan mengemukakan, sejumlah guru di jaringan P2G menganggap Asesmen Nasional sama dengan Ujian Nasional, meski konteksnya beda. Beberapa sekolah swasta bersiap menyelenggarakan latihan soal atau try out. Dia menduga, kepala daerah bisa memanfaatkan itu untuk berkompetisi satu sama lain karena pemerintah menjanjikan pemeringkatan dari hasil Asesmen Nasional.
Pada tahun 2016, pemerintah pernah menyelenggarakan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia atau AKSI. AKSI juga memiliki tujuan pengukuran mirip dengan Asesmen Nasional. Saat itu, pelaksanaan AKSI tidak gaduh. Anggaran penyelenggaraan tak semahal wacana biaya Asesmen Nasional.
Sementara itu, Guru SMA Negeri 1 Lasem Imron Wijaya mengaku, dirinya hanya memperoleh konten mengenai Asesmen Nasional berformat "PDF" dari kepala sekolah. Hingga kini, sosialisasi langsung belum terjadi. Akibatnya, pemahaman di kalangan guru berbeda-beda.
"Tingkat pemahaman guru beragam. Kalau hanya disebarluaskan konten berformat \'PDF\' atau \'Power Point\', kami susah mengerti. Kondisi yang ada menjurus ke pola pikir bahwa Asesmen Nasional sama dengan Ujian Nasional," ujarnya. Selain itu, pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak optimal sehingga tidak ideal untuk dilaksanakan asesmen.
Kepala SMA Negeri 2 Bayan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Muh Fatur mengakui dirinya menggali mandiri info Asesmen Nasional dari media sosial resmi pemerintah. Hal ini dilakukan karena pemerintah daerah setempat belum menggelar sosialisasi, sedangkan Asesmen Nasional menjadi berita nasional.
"Tidak ada instruksi apa pun kepada sekolah. Tidak semua guru seperti saya mau mencari informasi mandiri," katanya.
Metode penilaian
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golongan Karya, Ferdiansyah, menyatakan, Komisi X DPR RI telah meminta penjelasan kajian akademis yang komprehensif dari Kemdikbud. Kajian akademis meliputi latar belakang kebijakan, bentuk soal, pengawasan pendistribusian soal, waktu sosialisasi, dan metode pemetaan. Rapat kerja terakhir berlangsung sekitar awal Oktober 2020.
"Pemerintah (Kemdikbud) pernah menyampaikan pelaksanaan Asesmen Nasional memakai metode sampling alias tak semua satuan pendidikan akan mengikuti. Kami menilai metode itu tak melalui kajian komprehensif," ujar dia.
Deputi VI Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono, mengaku, pihaknya mengingatkan Kemdikbud agar segala kebijakan melalui kajian akademis dan proses hukum, termasuk Asesmen Nasional. Kajian diharapkan tidak berupa format "Power Point".
"Setiap kebijakan publik berhubungan dengan anggaran. Apabila ingin dilaksanakan Maret 2021, kami mengingatkan bahwa minimal setahun sebelumnya kajian komprehensif dan matang sudah selesai. Kami melihat ada kesan Asesmen Nasional belum dibahas matang sehingga model sosialisasinya pun bingung," ujar Agus.
Dalam rapat Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dengan Kemdikbud pekan lalu, ia mempertanyakan metode sampling pelaksanaan Asesmen Nasional. Metode sampling rencananya berdasarkan sukarela ke satuan pendidikan. Metode itu mencemaskan karena ada potensi sekolah memilih tak mau dijadikan sampling.
Ketua Bidang Pendidikan NU Circle Ahmad Rizali menyatakan, telah mencoba mengundang pihak Kemdikbud, tetapi berhalangan hadir.
Sementara itu, Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Evy Mulyani menjelaskan, Kemdikbud telah menyosialisasikan Asesmen Nasional kepada dinas pendidikan seluruh Indonesia. Sosialisasi juga dilakukan melalui akun-akun media sosial Kemendikbud.
Menurut Evy, Kemdikbud juga menekankan tidak ada konsekuensi apa pun bagi sekolah, guru, dan siswa. dengan demikian, mereka tidak perlu khawatir terhadap Asesmen Nasional.