Latar pendidikan tidak selalu memengaruhi tingkat literasi media individu. Untuk menangkal hoaks dan disinformasi, literasi terus-menerus ke sektor pendidikan perlu dilakukan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serbuan hoaks atau kabar bohong dan konten disinformasi terjadi di berbagai sektor kehidupan, termasuk institusi pendidikan. Hoaks juga beredar di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi. Untuk menangkal kabar bohong, literasi di sektor pendidikan perlu ditingkatkan.
”Individu yang berasal dari jenjang pendidikan tinggi tidak otomatis membuat tingkat literasi medianya tinggi. Berdasarkan pengalaman sekian tahun bergelut dengan hoaks menyadarkan kami hal itu,” ujar Kepala Komite Litbang Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Santi Indra Astuti saat dihubungi pada Minggu (25/10/2020) di Jakarta.
Sektor instansi pendidikan juga tak lepas dari serbuan hoaks. Sekolah dan kampus telah menjadi pusat informasi. Akan tetapi, konten yang dipertukarkan bukan hanya menyangkut informasi valid, melainkan juga disinformasi dan hoaks.
Individu yang berasal dari jenjang pendidikan tinggi tidak otomatis membuat tingkat literasi medianya tinggi.
Berdasarkan laporan survei ”Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018”, penetrasi pengguna internet di Indonesia tahun 2018 mencapai sekitar 64,8 persen dari 264,16 juta total penduduk atau sekitar 171,17 juta orang. Sekitar 55,7 persen pengguna internet berdomisili di Jawa; diikuti 21,6 persen bertempat tinggal di Sumatera; 10,9 persen Sulawesi, Maluku, Papua; 6,6 persen Kalimantan; serta 5,2 persen di Bali dan Nusa Tenggara.
Dari keseluruhan pengguna internet, yang dominan adalah kelompok usia 15-19 tahun sebesar 91 persen, diikuti kelompok 20-24 tahun sekitar 88,5 persen, kelompok 25-29 tahun sekitar 82,7 persen, kelompok 30-34 tahun sekitar 76,5 persen, dan kelompok 35-39 tahun sekitar 68,5 persen.
Dari segi pekerjaan, pengguna internet didominasi oleh kelompok wirausaha, guru, pedagang daring, jasa konsultan, mahasiswa, pegawai swasta, aparatur sipil negara, dan karyawan badan usaha milik negara.
Gerakan literasi
Berdasarkan hasil riset Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran, dan Mitra (Jurnal Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47, Nomor 2, Desember 2017), sosialiasi atau ceramah merupakan kegiatan literasi digital yang paling sering dilakukan, diikuti pelatihan, seminar atau diskusi, riset, dialog interaktif, publikasi, kampanye dan advokasi, lain-lain (kompetisi dan pendampingan dan pembentukan unit anti hoaks), dan terakhir penyusunan kurikulum.
Penelitian itu melibatkan 56 peneliti yang berasal dari 28 program studi dari 26 perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia. Kesembilan kota yang dimaksud ialah Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Jakarta.
Bentuk literasi media berupa sosialisasi paling banyak ditemukan di Banjarmasin. Adapun dialog interaktif dan seminar ditemukan paling banyak di Yogyakarta. Sementara pelatihan dan pembuatan kurikulum terbanyak ditemukan di Jakarta. Kegiatan riset paling banyak ditemukan di Bandung. Adapun di Malang, kegiatan paling banyak berupa kampanye.
Mafindo telah bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Ma\'arif untuk menyelenggarakan program Tutur Nalar. Program ini berbentuk literasi media kepada satuan pendidikan. Selain Mafindo dan Lembaga Pendidikan Ma\'arif, pelaksanaan Tutur Nalar juga melibatkan Google.org dan Love Frankie.
”Sekolah dan kampus adalah tempat yang tepat untuk mencetak agen perubahan. Dengan membidik guru dan dosen, kami berharap akan terbentuk rantai produksi pembasmi hoaks dan disinformasi di komunitas satuan pendidikan,” ujar Santi.
Menurut dia, program Tutur Nalar menyediakan kurikulum, materi berbentuk modul, video sebagai peralatan, dan laman. Satuan pendidikan dipersilakan memakai kurikulum itu sebagai ekstrakurikuler, mata pelajaran, atau menyisipkannya ke dalam mata kuliah tertentu. Sasaran program sekitar 1.200 dosen, 5.500 guru, 20.000 mahasiswa calon guru, dan 5.000 pendengar radio komunitas.
Belum memadai
Direktur Program Ma\'arif Institute Khelmy K Pribadi menganggap, tantangan memberantas hoaks makin kompleks, masalah terus berkembang, sedangkan belum ada panduan tetap kurikulum. Materi literasi yang tersedia belum memadai.
Selama sepuluh tahun terakhir, pengawasan lingkungan satuan pendidikan terhadap disinformasi dan hoaks masih lemah. Selama kurun waktu sama, berkembang ekstremis dan kasus kekerasan menjurus antimultikultur.
Lalu, pandemi Covid-19 melanda. Kondisi darurat ini diperparah dengan hoaks dan disinformasi yang mudah dibagikan.
Tantangan berikutnya ialah meningkatnya konsumsi internet tidak disertai dengan peningkatan literasi digital ataupun literasi informasi. Pemakaian internet dan media sosial diikuti dengan meningkatnya persoalan terkait.
”Sebagian besar materi literasi media atau literasi digital cenderung dilangsungkan dalam situasi kelas sehingga tidak bisa diakses oleh masyarakat umum. Maka, media dan materi perlu dikemas yang memungkinkan bisa dijangkau publik lebih luas,” ujarnya.
Ma’arif Institute for Culture and Humanity telah menandatangani nota kesepahaman tentang program literasi media di pendidikan tinggi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jumat (23/10/2020). Nota kesepahaman ini berlaku tiga tahun.
Untuk jenjang pendidikan tinggi, materi kurikulum pelatihan akan dimasukkan ke Sistem Pembelajaran Daring Indonesia (SPADA) yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud.
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Paristiyanti Nurwardani, mengatakan, literasi media merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan merekonstruksi citra di media. Maka, mahasiswa dan dosen dianggap menjadi kelompok yang dapat meningkatkan literasi media.
Dia menyebutkan, target pelaksanaan nota kesepahaman adalah pelatihan literasi media kepada 287.000 dosen dan delapan juta mahasiswa.
”Nota kesepahaman kami dan Ma’arif Institute for Culture and Humanity meliputi pelatihan literasi media bagi mahasiswa dan dosen, sosialisasi pelatihan literasi media, serta monitoring dan evaluasi pelatihan literasi media,” kata Paristiyanti.