Penggalian Liar Situs di Ngawonggo Berpotensi Merusak Data
BPCB Jawa Timur menyesalkan upaya penggalian liar situs di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, yang dilakukan komunitas tertentu. Penggalian bisa merusak data pendukung sejarah.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Penggalian liar terhadap situs diduga benda cagar budaya oleh pihak bukan ahli bisa berdampak pada hilang atau rusaknya data pendukung kesejarahan terkait situs yang dimaksud. Karena penggalian benda cagar budaya oleh pihak berwenang, seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya, selalu menggunakan metode tertentu.
Hal itu dikatakan arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, di Malang, Jawa Timur, Minggu (25/10/2020). BPCB Jawa Timur saat ini tengah memetakan siapa saja yang terlibat dalam penggalian situs diduga benda cagar budaya di lahan persawahan di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.
Sebelumnya, aktivitas penggalian liar yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu sempat viral. Dalam video itu, pihak BPCB Jawa Timur—yang menerima laporan penggalian—menyesalkan upaya penggalian (mirip ekskavasi) tersebut. Minggu siang, Kompas mendatangi lokasi situs, tetapi kondisi galian sudah ditumbun lagi dengan tanah.
”Kami sudah memetakan lima orang, dua lagi kemungkinan yang terlibat. Mereka lebih tepatnya pemerhati budaya. Kami pelajari dulu kasusnya bagaimana? Kami pelajari dulu dari keterangan-keterangan mereka apakah ada tendensi lain. Ada motif apa dari kegiatan itu,” ujarnya.
Menurut Wicaksono dari beberapa orang yang sudah dimintai keterangan, hasilnya ternyata tidak hanya satu lokasi yang digali, tetapi dua. Satunya berada di lokasi lain, juga di wilayah Ngawonggo. Situs di Dusun Nanasan sendiri sudah didata oleh BPCB tahun 2018.
Niat yang baik, lanjut Wicaksono,jangan sampai dilakukan dengan cara yang salah. ”Meski cinta dengan peninggalan kebudayaan, kalau digali sendiri, ya, jadi salah. Bukan niatnya yang jadi persoalan, tetapi caranya yang kita atur,” tuturnya.
Bukan niatnya yang jadi persoalan, tetapi caranya yang kita atur. (Wicaksono Dwi Nugroho)
Penggalian benda cagar budaya dilakukan oleh pihak berwenang dengan beberapa pertimbangan. Pertama, harus dipahami bahwa tidak semua tanah mengandung situs masa lalu. Kedua, tidak semua jejak kebudayaan ditemukan saat ini. Dengan penggalian liar, hal itu bisa merusak data sejarah yang bersifat langka sehingga harus diatur dalam undang-undang (UU).
Disinggung seberapa sering situs masa lalu yang digali sendiri oleh masyarakat di Jawa Timur selama ini, Wicaksono mengatakan cukup sering. Namun, akhir-akhir ini aktivitas itu menurun karena adanya sosialisasi dan edukasi. ”Masalah lain yang dikhawatirkan ialah kalau mereka mencari benda cagar budaya untuk kepentingan komersial,” ucapnya.
Masalah pencurian, perusakan, dan pencurian benda cagar budaya sendiri diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ”Di dalannya diatur soal ancaman pidana penjara minimal tiga bulan paling lama 10 tahun. Sementara denda minimal Rp 150 juta sampai Rp 1 miliar,” tutur Wicaksono.
Sementara itu, salah satu warga Nanasan, Paimo (60-an), mengatakan, lokasi situs berada telah ditimbun kembali dengan tanah beberapa hari lalu. Menurut pihak yang menimbun, penimbunan itu dilakukan agar batu bata yang ada di tempat itu (sudah tergali) tidak rusak.
”Saya sempat lihat batu batanya. Ukurannya besar-besar dan tidak pakai semen. Warga sini juga banyak yang lihat karena lahan ini milik salah satu warga Dusun Nanasan juga,” ucap Paimo, yang tengah mencari rumput tidak jauh dari lokasi situs.
Menurut Paimo, aktivitas penggalian dilakukan satu-dua bulan lalu oleh beberapa orang. Paimo mengaku tidak kenal mereka.
Benda cagar budaya ini sendiri bukan satu-satunya di Nanasan. Tahun 2017 lalu, BPCB Jawa Timur juga mengekskavasi situs petirtaan di tepi Sungai Manten—yang berjarak sekitar 500 meter—di sisi barat dari situs yang ada saat ini.
Saat melakukan eskavasi kala itu, petugas BPCB juga sempat mengeluh karena sebagian tanah di lokasi telah dibersihkan oleh warga—tanah yang menutup permukaan situs dipindahkan. Padahal, di tanah yang dipindah itu kemungkinan ada data-data pendukung yang punya nilai penting, seperti pecahan gerabah dan lainnya.