Pegiat literasi tak hanya mengandalkan lapak di ruang publik. Situasi pandemi Covid-19 membuat mereka memutar otak dengan menjemput bola ke warga.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegiat literasi semakin agresif melakukan gerakannya. Mereka menjemput bola dengan menyambangi warga ke tempat tinggalnya. Sebab, lapak di ruang publik seperti taman tak bisa jadi andalan di tengah situasi pandemi Covid-19. Sama halnya dengan buku elektronik dan dokumen portabel atau PDF yang aksesnya terbatas lewat perangkat elektronik.
Aktivitas pegiat literasi dari Lapak Baca Bogor sempat terhenti karena berlakunya pembatasan sosial berskala besar proporsional. Lapak baca sekali sepekan di Taman Ekspresi, Kota Bogor, Jawa Barat, yang biasanya ramai menjadi sepi karena terbatasnya akses ke ruang publik.
Mereka pun memutar otak supaya literasi tetap berjalan atau setidaknya ada kegiatan pengganti lapak baca. Salah satunya jemput bola menyambangi permukiman warga. Pegiat Lapak Baca Bogor, Sofyan Tsaury, mengatakan, semua anggota dalam diskusi sepakat mengubah pola dari gelar lapak baca ke menyambangi warga. ”Ubah pola lapakan. Dari biasanya warga datang ke lapak menjadi lapak mendatangi warga,” ucap Sofyan, Jumat (23/10/2020).
Lapak mendatangi warga sudah berlangsung sekali di Bantarsari, Bogor. Lapak Baca Bogor bersama komunitas Lekas Pinjam tidak hanya menggelar lapak baca di sana. Ada aktivitas lain, yakni permainan anak, dongeng, serta bagi makanan dan minuman gratis.
Sofyan menuturkan, lapak mendatangi warga menurut rencana berlangsung setiap dua bulan sekali karena harus urunan dana dan survei lokasi terlebih dahulu. November nanti akan berlangsung tepat dengan hari menanam pohon. ”Ingin mengajak warga tanam pohon bersama. Juga mengajak pegiat literasi lain karena situasi pandemi banyak komunitas yang tidak beraktivitas,” katanya.
Pegiat literasi lain sempat meniadakan perpustakaan jalanan guna mencegah penyebaran Covid-19. Sebagai gantinya, mereka mengoptimalkan teknologi agar literasi terus berjalan.
Komunitas Literaksipop menyediakan perpustakaan jalanan di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, dan ruang belajar di Tanah Rendah 1, Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur. Biasanya perpustakaan jalanan berlangsung setiap Sabtu dan Minggu sore.
”Kami memutuskan untuk menyebarkan buku elektronik dan zine (bacaan alternatif) berbentuk PDF secara gratis agar masyarakat yang sedang menjalani gerakan #dirumahaja masih dapat membaca buku,” ucap Agam, salah satu sukarelawan Literaksipop.
Buku elektronik dan PDF dikemas dalam bentuk link Google Drive sebelum disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial. Di dalam link terdapat koleksi bacaan dari sejumlah perpustakaan.
Komunitas Pusing Deprok sempat mempertimbangkan buku elektronik sebagai alternatif pengganti lapak baca. Sayangnya rencana itu belum terwujud karena tidak semua anak memiliki gawai sendiri. Praktis sejak pandemi tidak ada lapak baca keliling Jabodetabek secara bergantian dua pekan sekali. ”Beberapa kali saya temui anak pakai gawai orangtua dan dipinjamkan selama sekolah daring saja,” ujar pegiat literasi Pusing Deprok, Yazid Fahmi.
Yazid mengatakan, sejauh ini pihaknya belum menemukan cara yang efektif karena mayoritas pembaca di lapak Pusing Deprok adalah anak dan remaja. Upaya meminjamkan buku cerita kepada anak dan remaja ketika datang ke permukiman gagal karena alasan sudah banyak pelajaran dari kelas daring. ”Kebanyakan menolak. Alasan sudah belajar dan orangtua takut bukunya rusak,” ujarnya.
Untuk membangun budaya literasi, pemerintah perlu berkolaborasi lintas kementerian atau lembaga, pegiat literasi, akademisi, dunia usaha, dan organisasi masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Gerakan Literasi Nasional, mengembangkan beberapa literasi dasar, meliputi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya, dan kewargaan.
Fondasi
Demikian benang merah webinar Kompas Talks yang diadakan harian Kompas bekerja sama dengan Prudential bertajuk ”Literasi Anak Jadi Awal Kesejahteraan Indonesia”, Selasa (6/10/2020), di Jakarta. Diskusi itu dihadiri Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Samto serta Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch.
Samto mengatakan, literasi menjadi fondasi bagi rakyat Indonesia pada abad ke-21 untuk bertahan sehingga literasi dasar penting dikuasai anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. ”Literasi tak hanya bisa membaca, tetapi juga paham konteks apa yang dibaca dan memanfaatkan kecakapan membaca untuk meningkatkan mutu hidup. Ini harus dimulai sejak usia anak,” kata Samto.
Indeks aktivitas literasi membaca yang dikeluarkan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2019 memberikan gambaran perlunya upaya serius agar akses terhadap bahan literasi di sekolah dan perpustakaan dapat lebih ditingkatkan.
Indeks aktivitas literasi membaca di 34 provinsi pada tahun 2018 berada dalam kategori aktivitas literasi rendah, yakni 37,32. Indeks tersebut tersusun dari dimensi kecakapan sebesar 75,92, dimensi akses sebesar 23,09, dimensi alternatif sebesar 40,49, dan dimensi budaya sebesar 28,50.
Dari 34 provinsi, sembilan provinsi masuk dalam kategori aktivitas literasi sedang (40,01-60), 24 provinsi masuk kategori rendah (20,01-40), dan satu provinsi masuk kategori sangat rendah (0-20). Bahkan, tiga provinsi dengan indeks tertinggi, yaitu DKI Jakarta (58,16), Yogyakarta (56,20), dan Kepulauan Riau (54,76), belum mampu mencapai angka 60 untuk kategori tinggi.