Selama beberapa tahun terakhir, perempuan menjadi target dari kelompok fundamentalis. Sejumlah perempuan bahkan tidak berdaya dan hidupnya dibatasi dalam berbagai hal, terutama jauh dari ruang-ruang publik.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati fenomena keterlibatan perempuan dalam kelompok fundamentalis terus menguat, hingga kini tidak banyak yang menyadari bahaya dan dampak luas yang dialami perempuan. Perempuan tidak hanya mengalami kematian secara fisik karena menjadi korban bom dan sebagainya, tetapi kehidupannya juga mengalami kematian nonfisik pada jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandiriannya.
Ancaman fundamentalisme terhadap perempuan terungkap dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di lima daerah urban, yakni di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo Raya, tahun 2019-2020. Di kalangan fundamentalis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah. Karena itu, fitrah perempuan adalah tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.
Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian nonfisik yang dialami oleh perempuan, yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian, yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah.
”Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian nonfisik yang dialami oleh perempuan, yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah,” ujar Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, pada Seminar Internasional ”Kekerasan Berbasis Gender akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”, Rabu (21/10/2020), secara daring.
Seminar yang diselenggarakan Rumah KitaB bekerja sama dengan the Sydney Southeast Asia Centre (SSEAC) The University of Sydney dan Kresna Strategic membahas temuan penelitian dan rekomendasi akademis untuk advokasi kebijakan terkait dengan upaya mengatasi kekerasan ekstrem di Indonesia dengan memperhatikan aspek-aspek relasi jender dalam membaca perkembangan fundamentalisme di Indonesia.
Menurut Lies, dampak yang dialami para perempuan di kelompok fundamentalisme melalui sejumlah pandangan ”tersamar” yang menimbulkan rasa khawatir, takut, rasa bersalah dan tak berdaya, serta rasa tergantung yang sangat besar kepada laki-laki yang diyakini akan menyelamatkan perempuan.
”Kami menyaksikan bahwa ajaran ini berkawan dan berkawin dengan kapitalisme dan pasar yang memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan produksi-produksi yang mencirikan sebagai sesuatu yang lebih baik dari yang lain,” kata Lies yang menyampaikan hasil penelitian bersama Nur Hayati Aida, peneliti Rumah KitaB.
Narasi sama
Dari penelitian yang mengusung tema ”Identifikasi Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan akibat Intoleransi dan Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan melalui Penelitian Feminis” tersebut, Aida mengungkapkan ada sejumlah temuan kunci pandangan kelompok fundamentalis tentang perempuan yang, meskipun disuarakan atau dinarasikan oleh beragam orang di beberapa wilayah, narasi yang diajarkan mengenai perempuan itu hampir persis sama dan serupa.
Misalnya, soal perempuan sebagai sumber fitnah (sumber kegunjangan dan kekacauan sosial). Karena itu, keberadaan perempuan harus tertutup tida hanya secara fisik, tetapi juga relasi sosial atau ruang publik.
Karena sumber fitnah, fitrah perempuan adalah tempat perempuan hanya di rumah, baik sebagai anak ketika ia belum menikah maupun berperan sebagai istri dan ibu ketika ia sudah menikah. Posisi laki-laki baik sebagai ayah, terutama sebagai suami, sangat penting.
”Betapa besarnya posisi laki-laki di kehidupan perempuan. Kalaupun perempuan boleh memiliki pekerjaan di luar rumah, itu hanya ada dua hal, yaitu di bidang pendidikan dan di bidang kesehatan,” ujar Aida.
Dari sisi seksualitas, ajaran kelompok fundamentalis juga mengontrol tubuh perempuan melalui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan sehingga perempuan kehilangan otoritas tubuh dan seksnya. Baik janda maupun gadis akan dipaksa harus menikah.
”Karena apa? Menikah adalah salah satu cara supaya perempuan tidak lagi menjadi fitnah,” kata Aida.
Menurut Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), penanggulangan radikal terorisme merupakan tanggung jawab kita bersama, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi semua pihak harus terlibat.
”Yang paling utama adalah membangkitkan civil societyt, terutama silent majority, yang mayoritas moderat. Tapi, masyarakat Indonesia yang mayoritas mereka silent, sementara kelompok radikal teroris ini sedikit tapi berisik, terutama di media sosial. Ini yang harus kita bangkitkan,” katanya.
Prof Michele Ford (Sydney Southeast Asia Center The University of Sydney, Australia) menilai, dampak fundamentalis semakin membahayakan perempuan, kemungkinan karena selama ini suara-suara progresif dalam dunia Islam di ruang publik agak kalah dibandingkan dengan suara-suara yang lebih konservatif.
”Jadi, mungkin ada kebutuhan untuk meraih kembali ruang-ruang publik dan menempatkan wacana yang lebih progresif, yang lebih mengakui kemungkinan perempuan bisa hidup secara berdaulat, tetapi juga bisa jadi orang Islam yang baik,” ujar Michele.