Penyebaran Nilai Intoleransi di PAUD Libatkan Perempuan
Perempuan digunakan dalam proses penyebaran intoleransi. Salah satunya melalui lembaga pendidikan. Guru digunakan sebagai media penyebaran intoleran karena profesi ini yang memungkinkan perempuan untuk ke luar rumah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran paham intoleransi di tengah masyarakat Indonesia kini semakin mengkhawatirkan. Sejumlah lembaga pendidikan anak usia dini menjadi sasaran penyebaran nilai dan sikap intoleransi dengan melibatkan perempuan. Proses penanaman dan penyebaran intoleransi yang melibatkan perempuan juga dikembangkan di komunitas.
Pengaruh pendidikan anak usia dini (PAUD) intoleran tersebut berdampak pada menguatnya konservatif di komunitas dan munculnya kelompok-kelompok eksklusif yang menyebabkan sekat-sekat hubungan antargolongan di komunitas.
Selain itu, muncul penilaian baik dan buruk hanya berpusat pada nilai-nilai agama yang diyakini, domestifikasi perempuan, penolakan terhadap perayaan-perayaan tradisi agama, menguatnya pandangan bahwa sekolah yang agamis adalah sekolah yang terbaik, menolak imunisasi, dan pengaturan tubuh perempuan.
Penyebaran nilai dan sikap intoleransi tersebut ditemukan dalam penelitian Institut KAPAL Perempuan dengan topik ”Kecenderungan Penguatan Intoleransi di Komunitas melalui PAUD” yang dilakukan di wilayah empat daerah di Solo Raya, yaitu Surakarta, Sragen, Boyolali, dan Sukoharjo (Desember 2019-September 2020).
”Penelitian ini dilatarbelakangi karena meningkatkan penyebaran intoleransi ke sekolah-sekolah termasuk pada pendidikan anak usia dini. Dampaknya sangat memprihatinkan, karena anak-anak sudah dapat berteriak-teriak penuh kebencian untuk memerangi orang yang dianggap bukan golongannya,” ujar Budhis Utami, tim peneliti dari KAPAL Perempuan pada Diseminasi Hasil Penelitian ”Kecenderungan Penguatan Intoleransi di Komunitas melalui PAUD”, Kamis (22/10/2020).
Budhis bersama tim peneliti KAPAL Perempuan Citra Nur Hamidah dan Eci Ernawati memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di empat wilayah Solo Raya (Jawa Tengah), yaitu Surakarta, Sukoharjo, Boyolali dan Sragen, pada Desember 2019-September 2020. Sasaran penelitian 14 PAUD di 7 desa dan 2 kelurahan dengan 234 narasumber dari orang-orang lingkaran PAUD (ketua yayasan, kepala sekolah, guru, wali murid). Narasumber juga dari pemerintah, kelompok perempuan, warga, dan organisasi keagamaan di komunitas sekitar PAUD yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada upaya-upaya untuk memanipulasi atau menggiring kurikulum yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama ke arah kurikulum berdasarkan ideologi pendiri PAUD.
Nilai-nilai intoleran di PAUD juga tecermin dalam beberapa peraturan yang berlaku untuk murid-muridnya, seperti peraturan sekolah yang melarang mengucapkan hari raya agama lain, ruang belajar anak yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, larangan pada murid untuk tepuk tangan dan menyanyi, dan ajakan menolak simbol dan penghormatan terhadap negara.
Mengapa perempuan digunakan dalam penyebaran nilai toleran di PAUD dan komunitas? Sebab, perempuan boleh bekerja di luar rumah, tetapi harus di bidang pendidikan dan perawatan. Itulah yang dikonstruksikan terhadap peran perempuan.
”Perempuan yang menjadi guru di PAUD yang cenderung intoleran ini sudah diambil pikirannya untuk patuh kepada suami, ayah, atau pimpinan organisasi (laki-laki) tanpa mempertanyakan apa pun, sehingga menerima peran yang diberikan sebagai amalan hidupnya,” kata Citra.
Dari penelitian juga terlihat ada beberapa inisiatif pencegahan yang sudah dilakukan, tetapi ada yang masih formalistik dan belum banyak inisiatif pencegahan yang dilakukan di komunitas melalui PAUD.
Pengawasan dan pemberdayaan
Karena itu, KAPAL Perempuan merekomendasikan, antara lain, pemerintah daerah, melalui dinas/badan terkait perlu melakukan pengawasan secara substantif bukan hanya administrasi ketersediaan dokumen dan membuka pengaduan dari masyarakat
Selain itu, perlu ada inisiatif pemberdayaan perempuan dan kelompok pemuda di komunitas untuk pencegahan intoleransi dengan bekerja sama organisasi masyarakat sipil/organisasi perempuan. ”Perlu adanya tindak lanjut penelitian mengenai efektivitas kebijakan tentang penyelenggaraan PAUD dan pengawasan pemerintah terhadap PAUD,” ujar Eci.
Menanggapi penelitian tersebut, Aris Arif Mundayat, pengajar Universitas Sebelas Maret Solo, mengungkapkan, temuan dari penelitian tersebut menarik dan perlu dipertajam. Untuk mencegah perempuan terlibat dalam penyebaran intoleransi, Aris menilai perlu melakukan pemberdayaan dengan mengembangkan kegiatan yang lebih mengandung isu pluralisme secara terus menerus, seperti mereka melakukan terus menerus pada kelompoknya.
Pemerintah juga harus gencar melakukan kegiatan dalam rangka membangun kesadaran alternatif terkait nilai-nilai pluralisme/toleransi dengan melibatkan kelompok intoleran.
Adapun Dewi Candraningrum, pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengapresiasi penelitian tersebut dan memberikan sejumlah masukan. ”Riset ini mampu dengan baik merumuskan ide-ide pokok dari hasil penelitian dalam kesimpulan, dan memiliki kontribusi penting bagi perkembangan keilmuan,” kata Dewi.