“Multitasking” Media Ganggu Memori Kerja, Siswa Perlu Latihan Kontrol Diri
Mengakses media elektronik bersamaan mengikuti pelajaran atau mengerjakan tugas sekolah mengganggu perhatian dan memori kerja siswa. Namun, melarang siswa mengakses media elektronik bukan solusi mengatasi hal ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Mengakses media sosial sambil mendengarkan penjelasan guru atau dosen serta menonton acara favorit di televisi sambil belajar jamak dilakukan pelajar ataupun mahasiswa. Mereka umumnya merasa diri mereka multitasker yang baik sehingga bisa belajar sambil mengakses media sosial, menonton televisi, atau media hiburan lainnya.
Padahal, sejumlah penelitian menunjukkan, menggunakan perangkat elektronik bersamaan mengerjakan tugas sekolah berdampak negatif pada pembelajaran. Para peneliti di bidang psikologi, ilmu kognitif, dan ilmu saraf menemukan bahwa multitasking media selama siswa mengikuti pelajaran ataupun mengerjakan tugas sekolah mengganggu perhatian dan memori kerja siswa.
Pembelajaran siswa lebih dangkal, menjadi kurang memahami, serta kesulitan mengingat apa yang telah mereka pelajari dan menerapkannya dalam konteks baru. Pemahaman bacaan, kemampuan membuat catatan, kinerja tes, dan nilai rata-rata berkurang. Para peneliti menyebut hal ini sebagai pembelajaran yang terganggu.
Mendengarkan ceramah, SMS, belanja online, dan bersosialisasi di Facebook semuanya merupakan tugas yang kompleks dan sangat menuntut yang mengacu pada wilayah otak yang sama, korteks prefrontal. (Shelly J Schmidt)
”Mendengarkan ceramah, SMS, belanja online, dan bersosialisasi di Facebook semuanya merupakan tugas yang kompleks dan sangat menuntut yang mengacu pada wilayah otak yang sama, korteks prefrontal,” kata Shelly J Schmidt, Profesor Kimia Makanan di Universitas Illinois di Urbana-Champaign, Amerika Serikat, seperti dikutip Science Daily, 14 Oktober 2020.
Dalam kebanyakan kondisi, kata Schmidt, otak tidak dapat melaksanakan dua tugas kompleks secara bersamaan. Sejumlah penelitian yang dikaji Schmidt juga menunjukkan, perangkat seluler dapat memperburuk bentuk kecemasan sosial yang disebut fear of missing out (FMO) atau takut ketinggalan yang memaksa orang terus-menerus membaca dan menanggapi pesan di media sosial ketika tengah belajar atau bekerja. Ini bisa berdampak negatif pada kinerja mereka.
Penelitian Melina R Uncapher dari Departemen Neurologi Universitas California dan sejumlah peneliti lain dari beberapa universitas di Amerika Serikat pada 2017 juga menunjukkan, multitasker media berat menunjukkan perbedaan kognisi, perilaku sosial, dan struktur saraf. Dalam penelitian, multitasker media berat mempunyai memori yang lebih buruk, impulsif yang meningkat, dan volume di korteks cingulateanterior berkurang.
Penelitian yang dipublikasi jurnal Pediatrics pada November 2017 tersebut juga menunjukkan bahwa multitasking dengan media selama pembelajaran (di kelas atau di rumah) dapat berdampak negatif pada hasil akademik. Karena itu, keterlibatan dengan aliran media yang bersamaan harus dipertimbangkan secara matang.
Namun, kata Schmidt, jika siswa tidak yakin bahwa pembelajaran mereka terhambat oleh perilaku ini, mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubahnya dan masalah ini akan terus berlanjut. Karena itu, dengan mengkaji pada sejumlah penelitian tersebut, dia menyarankan strategi untuk membantu siswa tetap terlibat pembelajaran dan menjalankan tugas tanpa terganggu perangkat elektronik. Makalah Schmidt ini diterbitkan di jurnal Food Science Education pada 1 September.
Di Indonesia, guru atau sekolah umumnya melarang siswa membawa telepon seluler mereka ke kelas. Siswa harus menitipkan telepon seluler mereka ke ruang guru, yang baru bisa diambil setelah pembelajaran usai. Namun, di Barat, melarang penggunaan ponsel dan perangkat elektronik lainnya di kelas bisa dianggap menempatkan teknologi sebagai musuh.
”Melarang penggunaan teknologi di ruang kelas menunjukkan kepada siswa bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak dapat belajar untuk menangani hal tersebut dengan tepat daripada orang dewasa muda,” katanya.
Lokus kontrol internal
Meskipun hampir tidak mungkin membuat siswa membatasi gangguan perangkat elektronik tersebut, baik di dalam maupun di luar kelas, Schmidt menyarankan guru dan orangtua mendorong anak mengembangkan lokus kontrol internal. Lokus kontrol internal merupakan sikap bahwa anak memiliki kendali atas situasi dan keberhasilan atau kegagalan mereka adalah hasil dari usaha yang mereka investasikan dalam pendidikan mereka.
”Berbekal lokus kontrol internal, siswa mampu mengenali dan mengontrol faktor-faktor yang menghambat kesuksesan mereka, seperti gangguan saat mereka berusaha belajar,” kata Schmidt.
Strategi lainnya, menggunakan sistem penghargaan kerja. Misalnya, seorang siswa akan berkomitmen untuk belajar tanpa gangguan selama jangka waktu tertentu, misalnya 25 menit, kemudian menghadiahi diri sendiri dengan penggunaan media sosial selama lima menit. Atau, mereka dapat membatasi penjelajahan ke situs atau penggunaan media sosial pada saat waktu mereka paling tidak produktif.
Menumbuhkan pola pikir tersebut akan mendorong kaum muda atau remaja fokus secara eksklusif pada tugas sekolah ketika mereka harus belajar, dan mencurahkan perhatian yang sama pada kegiatan rekreasi saat waktunya bermain. Selain itu, aktivitas yang meningkatkan fungsi otak dan meningkatkan kontrol kognitif, terutama latihan fisik, juga dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk fokus pada tugas-tugas atau belajar.
”Olahraga telah terbukti sangat bermanfaat bagi fungsi kognitif dan kesejahteraan, termasuk kesehatan mental. Guru dapat memasukkan gerakkan ke dalam aktivitas kelas dengan meminta siswa untuk berjalan-jalan sebentar di dalam atau di luar ruang kelas untuk mendiskusikan konsep pembelajaran,” kata Schmidt. Dia menyarankan bahwa pembelajaran aktif di kelas dapat membantu guru menjaga siswa tetap terlibat dengan pembelajaran.