Permasalahan perekrutan dan pengembangan guru menunggu solusi nyata dari pemerintah. Jalan keluar yang diharapkan bukan sekadar menyasar hal-hal teknis.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Guru membimbing siswa dalam proses pembelajaran jarak jauh yang diselenggarakan secara daring oleh SMA Negeri 3 Brebes, Jawa Tengah, Senin (19/10/2020). Dalam program yang diberi nama sekolah virtual tersebut, anak-anak yang putus sekolah akibat faktor ekonomi difasilitasi untuk kembali melanjutkan pendidikannya. Kegiatan ini menjadi solusi bagi siswa yang ingin bersekolah sembari tetap bekerja membantu meringankan beban perekonomian keluarga.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem perekrutan guru saat ini belum berorientasi pada kualitas. Diperlukan standar performa guru berdasarkan kompetensi yang terukur dan dan komprehensif.
Peneliti di Lembaga Penelitian Smeru, Shintia Revina, mengatakan, berdasarkan laporan penelitian program Research on Improving System of Education (RISE) berjudul The Struggle to Recruit Good Teachers in Indonesia: Institutional and Social Dysfunctions pada Juni 2020, jadwal dan mekanisme penerimaan calon pegawai negeri sipil atau CPNS tidak sinkron dengan kebutuhan guru. Mekanisme penerimaan lebih berdasarkan anggaran pemerintah. Masa percobaan mereka cenderung formalitas atau kurang memperhitungkan baik buruknya kapasitas mereka.
Untuk guru honorer, proses perekrutannya tidak terstandardisasi. Sebagian besar kepala sekolah bertindak sebagai pelaku rekrutmen. Masa kerja mereka cenderung tidak pasti sehingga memengaruhi status kepegawaian.
Berdasarkan temuan studi, keberadaan guru honorer cenderung untuk menambal kekurangan. Perekrutan kadang dilakukan sehari sebelum penugasan. (Shintia Revina)
”Berdasarkan temuan studi, keberadaan guru honorer cenderung untuk menambal kekurangan. Perekrutan kadang dilakukan sehari sebelum penugasan,” ujarnya dalam webinar ”Membedah Sistem Perekrutan dan Pengembangan Guru: Tantangan dan Strategi Mewujudkan Pendidikan Berkualitas”, Rabu (21/10/2020), di Jakarta.
Dengan kondisi proses perekrutan seperti itu, dia memandang, kemungkinan besar kompetensi guru PNS ataupun honorer kurang jadi perhatian. Berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), rerata capaian nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) sejak 2015 mengalami peningkatan. Namun, angka rata-ratanya masih dibawah 70 untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dari penelitian program RISE Juni 2020, Shintia menyampaikan tiga faktor penyebab sulitnya merekrut guru-guru berkualitas baik di Indonesia, yakni kelembagaan, ekonomi politik, dan dinamika sosial. Pembagian kewenangan untuk perekrutan guru antar kementerian ataupun pemerintah pusat dan daerah masih tumpang tindih. Sebagai gambaran umum perekrutan guru PNS, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi berperan merekrut, lalu Kemendikbud mengevaluasi guru, Kementerian Keuangan untuk urusan anggaran gaji, dan pemerintah daerah bertindak menempatkan.
Terkait kepentingan ekonomi politik, lanjut dia, hal itu menimpa guru PNS ataupun honorer. Beberapa tahun lalu, masyarakat mengenal praktik guru titipan pemerintah daerah tertentu. Selain itu, beberapa kampanye pemilu membawa topik perjuangan kesejahteraan guru honorer.
Dinamika sosial masyarakat menunjukkan guru berstatus PNS sering kali masih dianggap lebih berkualitas. Status PNS dianggap sebagai jaminan kesejahteraan. Selain itu, masih berkembang anggapan bahwa calon guru tidak perlu pintar menjadi guru, bisa mulai sebagai honorer, dan nanti diangkat sebagai PNS.
Dari sisi pengembangan kapasitas guru, Shintia menyebutkan tiga bentuk yang berkembang selama beberapa tahun terakhir. Bentuk pertama ialah Kelompok Kerja Guru (KKG) yang berkembang sejak 1993 sampai sekarang. KKG kini cenderung semakin fokus ke administrasi, belum jadi komunitas belajar guru. Temuan penelitian menunjukkan sejumlah guru memandang keberadaan KKG menambah beban kerja mereka.
Bentuk kedua adalah Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang berkembang sepanjang 2007-2017. Menurut dia, hasil penelitian menunjukkan motivasi guru mengikuti PLPG sebatas memperoleh sertifikasi profesi dan tidak ada tindak lanjut setelah pelatihan selesai. Shintia berpendapat, PLPG cocok untuk guru pemula, tetapi riset menemukan kebanyakan peserta adalah guru senior.
Adapun bentuk ketiga adalah Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan (PKB) yang diselenggarakan sejak 2013 sampai sekarang. Target utama program ini adalah memperbaiki kompetensi guru yang rendah, tetapi riset menemukan materi pelatihan bukan dari pengetahuan yang dimiliki. Motivasi peserta semata-mata mengejar kenaikan pangkat.
”Kalau pemerintah hanya memperbaiki masalah teknis perekrutan sampai pengembangan kapasitas, kami memperkirakan tidak akan ada perbaikan signifikan. Permasalahannya terletak pada akuntabilitas guru. Maka, solusinya harus dibuat menyasar ke sistem,” ujar Shintia.
Salah satu rekomendasi dia adalah mengembangkan standar performa guru berdasarkan kompetensi yang terukur dan komprehensif. Lalu, standar tersebut dipakai untuk mengembangkan instrumen pendidikan, pelatihan, perekrutan, dan evaluasi guru.
”Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) pun bisa memakainya. Hal yang harus diingat adalah solusi yang menyasar ke sistem akan berdampak ke siswa,” katanya.
Kompas
Kondisi guru di Indonesia berdasarkan pemetaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menunggu pusat
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi Melfi Abra mengatakan, daerah sering kali menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Sebagai contoh kebijakan penerimaan peserta didik baru untuk mengedepankan metode zonasi. Sebelum ada kebijakan itu, sekolah-sekolah di kota sering kali menambah rombongan belajar untuk menampung banyaknya siswa dari luar. Akibatnya, pemerintah daerah merekrut guru.
Contoh lain ialah larangan pengangkatan tenaga honorer baru. Dalam hal ini, pemerintah daerah pun cenderung mengikuti.
Dia mengakui masih adanya permasalahan rendahnya kompetensi pedagogi guru berstatus PNS ataupun honorer, seperti guru mengajar sebatas memberikan ceramah. Guru pun terjebak dalam rutinitas belajar-mengajar.
Menurut Melfi, pihaknya telah membentuk program sekolah keluarga. Melalui program ini, orangtua dilibatkan penuh untuk memberikan masukan perbaikan kapasitas guru.
Kompas
Sumber Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk rekomendasi perbaikan kapasitas guru.
Upaya memperbaiki
Sekretaris Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Nunuk Suryani membenarkan perlunya penyesuaian kembali perekrutan guru. Jika mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat berperan mengendalikan formasi, pemindahan, dan pengembangan karier guru. Pemerintah pusat juga berwenang memindahkan guru lintas provinsi.
Sementara pemerintah provinsi berwenang memindahkan guru lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi. Adapun pemerintah kabupaten/kota berperan memindahkan guru dalam daerah kabupaten/kota.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menentukan kuota, lalu pemerintah kabupaten/kota/provinsi mengusulkan formasi beserta rincian guru. Kemendikbud hanya berfungsi sebagai pihak yang mendapat koordinasi.
”Kami berupaya memperbaiki dengan cara mengubah peran Kemendikbud. Kemendikbud akan berwenang sebagai pengusul dan perinci formasi guru,” katanya.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan berwenang penentuan kuota, analisis, dan penetapan formasi guru. Pemerintah daerah akan menjadi sebagai pihak untuk koordinasi.
Menurut dia, beberapa rencana lain sudah dipersiapkan, misalnya penyesuaian regulasi pendidikan profesi guru prajabatan, penentuan kembali mekanisme ikatan dinas, revitalisasi LPTK, dan pengusulan kembali program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal.
”Kami juga sudah berupaya intervensi peningkatan kompetensi berdasarkan hasil UKG guru. Kami memberikan pelatihan mengikuti hasil UKG,” katanya.