Perlu Panduan untuk Mengembangkan Mata Pelajaran Sejarah
Di era reformasi, pemerintah tidak mempunyai perspektif dalam mengembangkan konten mata pelajaran sejarah. Salah satu dampaknya, gagasan perbaikan kurikulum selama ini cenderung mereduksi mata pelajaran sejarah.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menyusun panduan untuk mengembangkan mata pelajaran sejarah agar lebih terarah. Panduan itu berupa paradigma baru yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan karakteristik generasi milenial.
Pemerintah Orba menyusun konten mata pelajaran sejarah, bersumber pada buku Sejarah Nasional Indonesia yang berjumlah enam jilid. Konten mata pelajaran sejarah ini disusun berdasarkan perspektif Indonesia sentris. Namun sejak reformasi 1998, pemerintah tidak menyusun konten mata pelajaran sejarah.
Ini menunjukkan pemerintahan di era reformasi tidak mempunyai perspektif dalam mengembangkan konten mata pelajaran sejarah.(Abdul Syukur)
“Ini menunjukkan pemerintahan di era reformasi tidak mempunyai perspektif dalam mengembangkan konten mata pelajaran sejarah,” kata Ketua Umum Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) yang juga dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta Abdul Syukur dalam Kuliah Umum Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan secara daring, Senin (19/10/2020).
Hal tersebut, kata Abdul Syukur, berdampak pada penempatan mata pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan. Selama periode reformasi 1998 hingga 2020 ini, gagasan perbaikan kurikulum cenderung mereduksi mata pelajaran sejarah.
“Kurikulum 1994 diubah menjadi kurikulum 1999 meski namanya suplemen. Mata pelajaran sejarah digabung ke IPS karena dianggap sumber konflik antar kekuatan. Saya wawancara Pak Juwono Sudarsono (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu) untuk menyusun disertasi saya, ada tuntutan untuk mengganti narasi peristiwa 1965 (G30S PKI),” kata dia.
Kondisi itu berlanjut pada Kurikulum 2004 yang dibatalkan karena mata pelajaran sejarah. Sebagai gantinya, muncul Kurikulum 2006 dengan mata pelajaran sejarah yang dikurangi secara drastis. Ketika posisi mata pelajaran sejarah mendapat tempat lagi dalam kurikulum 2013, tiga kali revisi kurikulum 2013 kembali mereduksi mata pelajaran sejarah.
“Kemudian polemik mata pelajaran sejarah pada September 2020 terjadi karena pemerintah telah kehilangan arah dalam mengembangkan mata pelajaran sejarah,” kata Abdul Syukur. Polemik tersebut muncul menyusul beredarnya draft sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
Menurut Abdul Syukur, ada tiga masalah yang dihadapi pemerintah saat ini terkait mata pelajaran sejarah. Pertama, kedudukan mata pelajaran sejarah dalam kurikulum, kedua, konten mata pelajaran sejarah, dan ketiga narasi konten mata pelajaran sejarah. Ini yang harus dijawab dengan menyusun panduan untuk menyusun konten mata pelajaran sejarah.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud, Maman Fathurrohman, mengatakan belum bisa memberikan tanggapan terkait hal tersebut. Namun yang jelas, Kemendikbud belum berencana mengganti Kurikulum 2013.
“Kurikulum 2013 akan tetap berlaku sebagai salah satu pilihan implementasi. Konteks penyederhanaan (kurikulum) adalah sebagai bagian dari program sekolah penggerak di tahun 2021,” kata dia.
Meyakinkan pemerintah
Menurut Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNM, M Rasyid Ridha, pemerintah perlu diyakinkan mengenai pentingnya pelajaran sejarah. “Kita harus kerja sama untuk memberi pemahaman ke pemerintah bahwa sejarah sangat penting. Dalam membangun bangsa kita tidak hanya lihat pada fisiknya tetapi juga jiwanya, karakternya. Untuk itu sejarah harus hadir,” kata dia.
Mata pelajaran sejarah, kata Rasyid, harus didudukkan sebagai indikator untuk melahirkan keterampilan anak Indonesia. Tantangannya, mendudukkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Secara terpisah, sejarawan Prof Taufik Abdullah mengusulkan, perlu ada pertemuan para sejarawan untuk membahas masalah ini. Ini termasuk untuk mengkaji metode pembelajaran sejarah di sekolah selama ini. “Sejarah bukan hafalan, tetapi pemahaman. Belajar sejarah itu melihat pengalaman, dialog dengan masa lalu untuk masa depan, bukan tanggal-tanggal peristiwanya yang penting,” kata dia.