Kehadiran Google dan Facebook telah mengubah lanskap media. Mereka menguasai distribusi konten yang diproduksi industri media, sekaligus menarik pengiklan. Ekosistem media menjadi tidak seimbang.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
REUTERS
Foto kombinasi logo Twitter, Facebook, dan Google.
Teknologi mengubah cara berita diproduksi, disampaikan, dan dikonsumsi telah mengubah jumlah pembaca dan cara orang mengakses berita. Teknologi juga mengubah model bisnis industri media yang selama ini bersandar terutama pada pendapatan iklan.
Kehadiran platform media global seperti Google dan Facebook pada akhir 1990-an dan awal 2000-an “menyedot” pendapatan iklan yang selama ini mengalir ke industri media. Industri media di Amerika Serikat misalnya, hingga 2019 telah kehilangan lebih dari 70 persen pendapatan iklannya sejak 2006.
Pada 23 Juni 2020 eMarketer melansir pendapatan iklan Google di AS pada 2019 mencapai 41,8 miliar dollar AS dan Facebook mencapai 29,95 miliar dollar AS, atau sekitar 30 persen pendapatan iklan digital di AS. Di Australia, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) memperkirakan Google mengumpulkan 47 persen iklan digital dan Facebook mengumpulkan 21 persen.
Laporan Reuters Institute 2019 menyebutkan, sekitar 66 persen masyarakat di 40 negara yang disurvei mengakses berita melalui telepon pintar.
Industri media cetak paling terdampak karena perubahan cara orang mengakses berita juga menurunkan jumlah pembaca. Laporan Reuters Institute 2019 menyebutkan, sekitar 66 persen masyarakat di 40 negara yang disurvei mengakses berita melalui telepon pintar.
KOMPAS/Didit Putra Erlangga Rahardjo
Berita pemilihan presiden AS 2016 dalam tampilan di media sosial di telepon pintar, Rabu (16/3/2016). Facebook dan Google mengincar media daring untuk menghadirkan konten lebih cepat kepada pengguna perangkat bergerak dan meyakini kuncinya terletak pada kecepatan sebuah konten untuk dimuat dengan segera di layar.
Untuk bertahan, sejumlah industri media cetak mengembangkan media daring (dalam jaringan), beberapa bahkan beralih menjadi media daring. Banyak media daring yang beralih ke model berbayar (paywall), total ada 300 situs berita berlangganan di seluruh dunia.
Namun, lanskap media yang berubah membuat model-model bisnis tersebut belum mampu menyeimbangkan ekosistem media yang pincang. Peningkatan pembaca media daring tidak berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan.
Pasalnya, industri media tak lagi menguasai hulu hingga hilir bisnis media. Meskipun produksi konten ada di industri media, kata Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut, tetapi 80-85 persen distribusinya dikuasai platform media global.
Sejumlah negara berusaha “mengendalikan” kekuatan pasar platform media global ini dengan membuat aturan agar platform digital global membayar konten yang distribusikan. Koalisi pemerintah di Jerman, misalnya, setuju mendukung undang-undang baru untuk ini, dan pemerintah Australia juga telah merilis rancangan undang-undang untuk mengatur hal ini.
Di Indonesia, Dewan Pers bersama konstituen pers nasional membentuk tim media sustainability untuk mencari titik keseimbangan antara industri media dengan platform media global. Namun ketika upaya itu mulai dilakukan, datang pandemi Covid-19.
“Kami harus mengubah tema,” kata Wenseslaus dalam diskusi daring Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Voice Of America (VOA), Kamis (15/10/2020).
Saling membutuhkan
Masyarakat membutuhkan informasi yang kredibel dan berkualitas, terutama di masa pandemi ini, tetapi daya hidup industri media semakin lemah. Survei AMSI terhadap 319 anggotanya pada Juni lalu menunjukkan, daya hidup media daring rata-rata hanya sampai November-Desember. Demikian juga media cetak, sebagaimana dikatakan Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers Januar Primadi Ruswita beberapa waktu lalu, banyak yang bertahan dengan uang tabungan.
Karena itu, upaya memperkuat daya hidup industri media harus menjadi prioritas utama, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip jurnalisme. Salah satunya melalui kerja sama industri media dan platform digital global meski ini bukan cara ideal untuk menyeimbangkan ekosistem media.
Bagaimanapun, platform digital global berkepentingan bisnis industri media tetap sehat. Platform digital global membutuhkan konten yang diproduksi industri media. Mereka juga mengumpulkan sejumlah besar data tentang para pembaca yang membantu mereka menargetkan iklan. Sementara, industri media mempunyai kepentingan mendistribusikan konten melalui platform media global untuk menarik pembaca mengunjungi situs web mereka.
REUTERS DIGITAL INSTITUTE
Presentase kanal berita yang digunakan oleh masyarakat di berbagai negara. Ada peningkatan pada televisi dan media sosial namun penurunan di media cetak.
Karena itu, pengelola media daring melalui AMSI menjalin kerja sama dengan Google untuk membantu media daring di daerah yang mengalami krisis akibat pandemi ini. “Ada sekitar 80 media yang mendapatkan bantuan di tahap pertama. Kami juga mempunyai program dengan Google News Initiative hingga tahun depan, tujuannya untuk menjaga kualitas konten,” kata Wenseslaus.
Kerja sama serupa juga dilakukan AJI Indonesia sejak sebelum pandemi, yaitu berupa pendanaan pelatihan untuk wartawan. “Mengapa tidak jika ini untuk peningkatan kualitas jurnalisme,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan beberapa waktu lalu.
Mencari sebanyak mungkin pola kerja sama, termasuk dengan perusahaan pengiklan melalui mengkampanyekan konten yang sehat dan berkualitas, diharapkan akan membantu menyeimbangkan ekosistem media. Namun lebih dari itu, menurut CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib, perlu ada regulasi untuk menciptakan keuntungan bisnis yang adil antara media konvensional dengan platform media global.
Sebagai pilar keempat demokrasi, daya hidup industri media harus dijaga agar dapat memproduksi konten yang kredibel dan berkualitas. Ekosistem yang seimbang akan mendukung daya hidup industri media.