Pasal 65 Masih Menyisakan Polemik di Dunia Pendidikan
Dalam hal pendidikan, substansi final Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja masih menyisakan pasal 65. Hal ini menimbulkan polemik.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan pasal 65 dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memicu polemik di kalangan pegiat pendidikan. Pemerintah menyerukan bahwa ketentuan itu hanya berlaku untuk kawasan ekonomi khusus.
Pasal 65 ayat (1) Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berbunyi pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dalam UU ini. Kemudian, pasal 65 ayat (2) RUU Cipta Kerja berbunyi ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Mengacu kepada penjelasan pasal 65 ayat (1) RUU Cipta Kerja, kata "dapat" dalam ketentuan pada dasarnya kewajiban memenuhi perizinan berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan, kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK) yang diatur tersendiri. UU ini menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha.
Dengan demikian, perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan pendidikan untuk kegiatan operasional tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses perizinan berusaha untuk kegiatan yang bersifat laba. Ketentuan izin untuk satuan pendidikan tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang pendidikan, yakni UU No 20/2003, UU No 12/2012, UU No 14/2005, UU No 20/2013, dan UU No 18/2019.
Ketentuan pasal 65 ayat (1) RUU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pengelola satuan pendidikan secara sukarela untuk dapat menggunakan proses sistem perizinan berusaha, antara lain kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan gedung.
Juru Bicara Tim Kajian Akademis RUU Cipta Kerja Federasi Serikat Guru Indonesia (FGII) Halimson Redis saat dihubungi, Rabu (14/10/2020), di Jakarta, mengatakan, pihaknya memilih bersikap semakin waspada. Sejauh ini, upaya melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetap terbuka.
Dengan masih masuknya pasal 65 beserta penjelasannya di RUU Cipta Kerja, FGII memilih tetap akan bersikap kritis. Apalagi, masih ada substansi tentang pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Kalau diatur dalam PP, ada potensi ganti pemerintah akan berganti PP.(Halimson Redis)
"Kalau diatur dalam PP, ada potensi ganti pemerintah akan berganti PP. Hingga sekarang, PP belum jelas. Sementara berbicara pendidikan semestinya berbicara jangka panjang," ujar dia.
Halimson mengatakan, siapapun anak Indonesia bisa memperoleh layanan pendidikan setara. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.
Hingga sekarang masih ada sekolah swasta yang berada di pinggiran dengan fasilitas minim dan kesejahteraan guru yang terabaikan. Ditambah lagi, sampai saat ini, kebijakan untuk mendorong uji kompetensi ataupun keberpihakan kesejahteraan guru masih terkotak-kotak.
Sebagai gambaran, sejumlah guru honorer di pelosok Indonesia dengan upah bulanan dibawah standar upah minimum. Pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), mereka harus mengunjungi siswa di rumah.
Berangkat dari kondisi tersebut, lanjut dia, penjelasan pasal 65 ayat (1) RUU Cipta Kerja diperkirakan bisa menambah "jurang" perlakuan. Guru juga akan terdampak.
"Jika mengikuti penjelasan pasal 65 ayat (1) RUU Cipta Kerja, guru yang mau mengajar di KEK harus khusus. Ada perlakuan yang dibedakan. Padahal selama ini, guru Indonesia sudah mengalami pengkotak-kotakan perlakuan kebijakan yang berefek kepada kesejahteraan mereka," kata dia.
Sejak RUU Cipta Kerja dicetuskan pemerintah, FGII terus-menerus mengkaji draft RUU terkait pendidikan. FGII pun beberapa kali beraudiensi ke DPR RI untuk memberikan masukan.
"Hanya saja, masih ada pasal 65 ketika pengesahan RUU Cipta Kerja, kami tidak tahu siapa yang mengusulkan dan bagaimana kronologinya," kata dia.
Satriwan Salim, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru, memandang, adanya penyebutan soal pendidikan formal di KEK pada penjelasan pasal 65 ayat (1) RUU Cipta Kerja patut disoroti. Penyebutan itu berpotensi bisa memicu tafsir perbedaan perlakuan layanan pendidikan.
Pengelolaan bersifat nirlaba
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam saat dikonfirmasi Kamis (15/10/2020), di Jakarta, menjelaskan, adanya pengaturan izin pendidikan di KEK justru diatur karena sifatnya usaha khusus. Selain itu, pengelolaannya nirlaba.
Kalau tidak diatur, kata dia, maka penyelenggaraan pendidikan akan diperlakukan seperti bentuk usaha yang lain di KEK yang prinsip dasarnya komersial. "Aturan di bawah UU tidak bisa mengatur hal yang diatur di UU," kata dia.