Indonesia Memasuki Fase Bangsa yang Menua
Tahun 2020 Indonesia sudah memasuki fase penduduk menua. Keberadaan warga lanjut usia ini perlu diperhatikan agar tetap berperan dalam pembangunan.
Di tengah terjadinya pandemi Covid-19, Indonesia tidak hanya bersiap menyongsong puncak bonus demografi, tetapi juga memasuki fase penduduk yang menua. Ledakan populasi penduduk lanjut usia itu akan menjadi bonus demografi kedua jika lansianya sehat, mandiri, dan berkualitas.
Populasi yang menua itu merupakan konsekuensi dari perubahan struktur penduduk yang ditandai oleh jumlah penduduk lansia berumur lebih dari 60 tahun yang mencapai lebih dari 10 persen dari total penduduk. Lonjakan lansia ini dipicu oleh menurunnya jumlah kelahiran dan kematian hingga meningkatkan usia harapan hidup masyarakat.
”Peningkatan jumlah lansia itu terjadi di seluruh dunia, tetapi kecepatannya bervariasi di setiap negara,” kata Spesialis Program Kependudukan dan Pembangunan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia Richard J Makalew dalam webinar menyambut Hari Lanjut Usia Internasional, Kamis (8/10/2020).
Baca juga : Menjaga Martabat Warga Lanjut Usia
Dunia saat ini dihuni oleh 7,8 miliar orang. Data UNFPA menyebut, dari jumlah tersebut, 9,3 persen adalah penduduk berumur lebih dari 65 tahun. Usia harapan hidup rata-rata manusia saat lahir sekarang mencapai 73 tahun, dengan perempuan memiliki umur lebih panjang dari laki-laki. Besarnya jumlah lansia dan tantangan pembangunan yang dihadapi itu membuat PBB sejak 14 Desember 1990 menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Lanjut Usia Internasional.
Kecepatan penambahan jumlah lansia di setiap negara itu bergantung pada kecepatan penurunan fertilitas, perbaikan layanan kesehatan, hingga dukungan sosial ekonomi setiap negara. Makin tinggi kondisi sosial ekonomi suatu negara, pertambahan lansianya relatif lebih cepat.
Pada 1950-an, jumlah lansia di Amerika Serikat sudah mencapai lebih dari 10 persen, sedangkan Jepang masih di bawahnya. Namun, pada 1990, proporsi lansia Jepang menyalip AS hingga menempatkan Jepang sebagai negara dengan proporsi penduduk lansia berumur lebih dari 65 tahun terbanyak di dunia.
World Population Ageing 2019 menyebut ada 28 persen lansia di Jepang, jauh meninggalkan negara-negara Eropa di kisaran 20 persen. Sementara AS pada tahun yang sama punya 16,2 persen lansia. Kebijakan migrasi AS yang lebih terbuka membuat negara itu kebanjiran banyak penduduk usia produktif dari sejumlah negara, sedangkan Jepang umumnya hanya menerima kelompok pekerja.
Indonesia menurut Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019 memiliki 25,64 juta lansia berumur lebih dari 60 tahun atau 9,6 persen dari total penduduk. Selama hampir lima dekade, 1971-2019, jumlah lansia Indonesia naik dua kali lipat. ”Indonesia diprediksi akan masuk struktur penduduk tua pada 2021,” tambah Richard.
Namun, jika mengacu pada Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 269,6 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 28,7 juta jiwa atau 10,65 persen adalah penduduk berumur lebih dari 60 tahun yang berarti tahun ini Indonesia sudah memasuki fase penduduk menua.
Di proyeksi yang sama, rasio ketergantungan terendah yang jadi tanda puncak bonus demografi akan berlangsung pada 2021-2022 dengan rasio dependensi sebesar 45,4. Namun, perhitungan sejumlah ahli lain menyebut puncak bonus demografi Indonesia baru terjadi pada 2028-2031. Hasil Sensus Penduduk 2020 yang sedang berlangsung akan memberikan prediksi lebih akurat kapan puncak bonus demografi maupun populasi menua Indonesia datang.
Investasi lansia
Di luar prediksi jumlah lansia sekarang, hal yang pasti sebagian besar lansia tersebut tinggal di perkotaan, lebih banyak perempuan, dan didominasi oleh kelompok lansia muda berumur 60-69 tahun. Meski demikian, lima provinsi sudah masuk penduduk tua, yaitu DI Yogyakarta dengan jumlah lansia 14,5 persen, Jawa Tengah (13,36 persen), Jawa Timur (12,96 persen), Bali (11,30 persen), dan Sulawesi Utara (11,15 persen).
Besarnya jumlah lansia di sejumlah daerah itu menuntut kebijakan kependudukan yang berbeda. Investasi untuk penduduk lansia perlu ditingkatkan, tidak bisa lagi hanya bertumpu pada pembangunan penduduk usia muda umur 0-14 tahun. Kelalaian meningkatkan investasi untuk lansia bisa berdampak buruk bukan hanya bagi lansia, melainkan juga kesejahteraan seluruh masyarakat dan ekonomi bangsa.
”Mengelola lansia agar menjadi tangguh, sehat, dan poduktif lebih rumit dibandingkan dengan mengawal pertumbuhan anak baduta (bawah dua tahun),” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Faktor yang mendorong pertumbuhan anak di bawah dua tahun relatif seragam, sebaliknya variabel yang memengaruhi penuaan seseorang sangat beragam.
Baca juga : Warga Lansia Makin Tersisih
Proses apoptosis atau penuaan sel sangat dipengaruhi oleh gizi, gaya hidup, hingga tingkat stres sejak masih muda. Proses penuaan itu sudah berlangsung sejak umur 32 tahun yang di antaranya ditandai oleh menurunnya kepadatan tulang hingga memicu osteoporosis dan kompresi atau tubuh memendek. Selain itu, dinding pembuluh darah mulai menebal hingga mempersempit pembuluh darah dan memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif.
Karena itu, keberhasilan dalam perawatan lansia akan sangat ditentukan oleh kondisi kesehatannya. Kegagalan dalam menjaga kesehatan lansia akan berdampak besar bagi kesehatan mental dan kesejahteraan bangsa serta menjadikan mereka sebagai beban bagi ekonomi negara.
Pemetaan lansia yang dilakukan BKKBN menunjukkan 41,46 persen lansia Indonesia memiliki kondisi kesehatan dan ekonomi baik. Selain itu, ada 14,71 persen lansia dengan kesehatan tidak baik tetapi ekonomi baik, 32,35 persen lansia dengan kesehatan baik tetapi ekonomi tidak baik, dan 11,49 lansia dengan kesehatan tidak baik dan ekonomi tidak baik pula.
Dengan demikian, ada sekitar 25 persen lansia dengan kondisi kesehatan tidak baik. (Hasto Wardoyo)
”Dengan demikian, ada sekitar 25 persen lansia dengan kondisi kesehatan tidak baik,” kata Hasto.
Lansia yang kesehatan dan ekonominya baik dianggap sebagai lansia terbaik karena bisa mandiri dan produktif. Mereka juga diharapkan bisa berinvestasi atau membuka lapangan kerja hingga benar-benar bisa menjadi bonus demografi kedua. Sementara untuk lansia yang tidak sehat dan tidak mampu secara ekonomi, negara harus hadir untuk mereka.
Lansia Indonesia saat ini, lanjut Hasto, cenderung ada di kelompok ekonomi menengah bawah dan berpendidikan rendah, bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Karena itu, ”Program lansia harus konkret agar mudah diterjemahkan di lapangan karena mereka umumnya kurang memahami teknologi,” tambahnya.
Pemberdayaan
Ketua Umum Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Haryono Suyono mengatakan, lansia tidak ingin hidup terlalu dikasihani karena sejatinya mereka masih bisa berbagi. Sebagian besar lansia Indonesia nyatanya masih bekerja, tak menunggu kiriman anak cucu atau bantuan dari negara. ”Jangan kasihani lansia, tetapi berdayakan mereka,” katanya.
Lansia masih bisa diberdayakan untuk membantu masyarakat dan pemerintah membangun sumber daya manusia berkualitas, khususnya dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Lansia yang sehat dan berumur panjang akan meningkatkan usia harapan hidup masyarakat.
Kelompok penduduk lansia bisa diberdayakan untuk membantu menekan kematian pada usia muda, seperti kematian ibu hamil dan melahirkan maupun kematian muda akibat penyakit degeneratif. Lansia juga bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan dengan memastikan seluruh generasi muda pada usia sekolah ada di sekolah mereka.
Baca juga : Lansia Bukan Obyek, tetapi Aset Bangsa
Selain itu, lansia juga bisa mendorong adanya jaminan pekerjaan yang membuat penduduk usia kerja bisa bekerja secara produktif dan berkualitas. Karena itu, program pemberdayaan lansia harus mulai disiapkan. Berbagai program pemberdayaan lansia yang dimiliki PWRI bisa dijadikan rujukan untuk mengelola lansia yang lebih besar.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani menambahkan, untuk menciptakan lansia tangguh tidak bisa dilakukan secara mendadak. Karena itu, menciptakan lansia tangguh harus dilakukan dalam konteks pembangunan keluarga sesuai siklus hidup manusia, artinya sejak mereka dalam kandungan hingga sesuai perkembangan mereka.
Keluarga juga berperan besar dalam pengasuhan lansia. Bukan hanya fisik yang berubah, emosional dan kognitif lansia juga berubah. Kondisi itu menuntut keluarga untuk lebih memahami secara bijak perawatan lansia hingga lansia tidak merasa diabaikan atau tak dibutuhkan lagi. ”Jangan sekali-kali menganggap lansia sebagai beban keluarga karena nyatanya lansia juga masih bisa berperan dalam keluarga,” katanya.
Kebijakan pembangunan lansia juga tidak bisa dilakukan oleh BKKBN saja. Dukungan semua kementerian dan lembaga diperlukan karena urusan lansia tidak hanya melulu terkait kesehatan atau pemberdayaan, tetapi juga sistem transportasi, tata gedung, fasilitas publik, hingga penyediaan tenaga kesehatan yang lebih memahami lansia.
Sistem dan tata kota yang mendukung akan membuat lansia tetap bisa beraktivitas mandiri tanpa terlalu membutuhkan bantuan penduduk yang lebih muda. Dengan demikian, penduduk lebih muda pun bisa lebih fokus meningkatkan produktivitasnya dan mempersiapkan diri mereka juga agar menjadi lansia yang lebih tangguh, sehat, dan produktif.