Situasi dan kondisi pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari tujuh bulan memberikan tekanan tersendiri bagi anak-anak, terutama saat belajar dari rumah. Pendampingan terhadap anak penting dilakukan semua pihak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi dan kondisi yang terjadi di rumah, sekolah, ataupun lingkungan sangat memengaruhi tumbuh kembang anak. Berbagai tekanan yang dihadapi, terutama di masa pandemi Covid-19, juga berpotensi memengaruhi kesehatan mental anak-anak. Belajar dari rumah dengan segala keterbatasan juga membuat anak-anak sangat rentan mengalami gangguan psikososial.
Kondisi gangguan psikososial terhadap anak harus diantisipasi dan dicegah. Berbagai kajian dan survei, termasuk yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), menemukan, sebanyak 80 persen anak-anak menyatakan sudah mulai jenuh belajar di rumah karena tidak bisa bertemu dengan teman-teman, dan sejumlah faktor lain.
Beberapa temuan dari kejadian akhir-akhir ini, anak-anak ikut tertekan karena takut orangtuanya kehilangan pekerjaan. (Nahar)
”Beberapa temuan dari kejadian akhir-akhir ini, anak-anak ikut tertekan karena takut orangtuanya kehilangan pekerjaan. Ada juga anak yang menjadi tertekan karena situasi dan kondisi, salah satunya ketika melihat kejadian-kejadian dan kemudian dianggap mereka ikut ada di dalamnya,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar, Rabu (14/10/2020), saat membuka kegiatan Sosialisasi Upaya Perlindungan Anak dengan Gangguan Psikososial dan Peluncuruan Buku Penanganan Gangguan Psikososial pada Peserta Didik.
Oleh karena itu, anak-anak yang mengalami tekanan harus bisa dideteksi sejak dini oleh pihak-pihak yang bisa memberikan pendampingan, seperti tempat pendidikan, pekerja sosial, psikolog, dan pihak terkait lainnya.
”Kondisi pandemi dan tekanan baik pada diri anak maupun keluarga tentu harus sama-sama kita deteksi agar anak-anak bisa dipantau dan dipenuhi hak-haknya,” papar Nahar.
Gangguan depresi
Sebelum pandemi, kasus dan data-data terkait gangguan psikososial anak menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Menurut data hasil Global School-Based Health Survey (GSHS) dari WHO pada tahun 2015, sejumlah 5,2 persen siswa SMP dan SMA di Indonesia memiliki keinginan untuk bunuh diri, yang sangat erat kaitannya dengan kondisi emosional yang penuh tekanan dan depresif.
Nahar mencontohkan kasus anak yang bunuh diri di Lampung karena mau ikut belajar tapi tidak memiliki gawai. Meskipun masih harus dikaji lebih jauh lagi, kasus tersebut menimbulkan keprihatinan.
Terkait bunuh diri, menurut Nahar, survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 terhadap 941 pelajar di DKI Jakarta juga menemukan 30,39 persen pelajar tersebut memiliki kecenderungan depresi, 20,51 persen memiliki kecenderungan mengalami gangguan kepribadian, dan 18,6 persen memiliki kecenderungan untuk bunuh diri.
Selain itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) juga menemukan gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja dan usia sekolah SMP-SMA (15-24 tahun) dengan prevalensi 6,2 persen.
”Tentu jika tidak ada upaya bersama pencegahan bunuh diri, angka tersebut bisa tumbuh dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi, pada 2020 angka bunuh diri di Indonesia secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa,” ujar Nahar, yang mengajak semua pihak memberikan perhatian terhadap perlindungan anak, khususnya anak dengan gangguan.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga kependidikan (PPPPTK) Pendidikan Jasmani dan Bimbingan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yaswardi berharap, buku Penanganan Gangguan Psikososial pada Peserta Didik akan menjadi panduan untuk menangani anak-anak dengan dengan gangguan psikososial.
Buku tersebut diperlukan karena di masa pandemi Covid-19 buku ini sangat diperlukan dan cukup besar terjadi gangguan psikososial terutama ana-anak yang belajar dari rumah (BdR). Salah satu bentuk gangguan terhadap anak-anak adalah kekerasan dari orang dewasa dari keluarga terdekat baik orangtua maupun kakaknya.
”Karena apa? Aktivitas pembelajaran mungkin belum terlaksana baik, untuk kalangan tertentu orangtuanya mungkin punya ’keterbatasan’ terutama dalam bidang ekonomi dan kapasitas koneksi internet terutama untuk membeli kuota,” kata Yaswardi.