RUU Cipta Kerja Belum Menjawab Persoalan Perempuan
Perempuan pekerja menghadapi situasi khusus terkait kesehatan reproduksi. Karena itu, kehadiran RUU Cipta Kerja yang memiliki perspektif jender menjadi harapan para perempuan pekerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor dan Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan Presiden dinilai belum menjawab atas berbagai persoalan perempuan pekerja. Selama ini, sebagian perempuan pekerja menghadapi situasi kerja tidak layak dan tanpa pengakuan.
Sebaliknya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah dinantikan bertahun-tahun tak kunjung mendapat perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Oleh karena itu, sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (Gerak Perempuan) dalam Aksi Selasaan ke-15, Selasa (13/10/2020), mempertanyakan RUU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan, pekan lalu. Presiden Joko Widodo diminta meninjau kembali RUU Cipta Kerja.
”Persoalan sistem kontrak yang membuat perempuan pekerja rentan mengalami pemutusan hubungan kerja ketika hamil, pengakuan pekerja rumahan dan PRT, serta persoalan cuti melahirkan yang seharusnya menjadi lebih kuat perlindungan hukumnya menjadi 14 minggu, dilemahkan lewat RUU Cipta Kerja,” ujar Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika.
Gerak Perempuan juga menuntut DPR menghentikan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga yang dinilai diskriminatif serta memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pada Prolegnas 2021.
Persoalan sistem kontrak membuat perempuan pekerja rentan mengalami pemutusan hubungan kerja ketika hamil.
Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), menegaskan, RUU Cipta Kerja penting dikritisi karena menyangkut banyak kelompok perempuan. Bukan hanya perempuan pekerja, melainkan juga perempuan petani, nelayan, dan pekerja sektor perkebunan. UU Cipta Kerja seharusnya memiliki perspektif adil, setara, dan inklusi.
”Tapi, RUU Cipta Kerja justru menurunkan pengaturan yang sudah cukup baik untuk mendorong perusahaan atau pemberi kerja guna memastikan kerja layak dan perlindungan pekerja,” papar Mike. Pihak KPI berharap proses RUU Cipta Kerja tidak diteruskan sampai isinya tak bermasalah dan mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil, sesuai dengan tata cara pembuatan UU.
”Kalau bicara draf UU Cipta Kerja ini sangat banyak, kita bingung, kita akan menggunakan naskah yang mana untuk membaca,” kata Mike yang menilai dari pasal-pasal di RUU Cipta Kerja, pihaknya tidak menemukan frasa yang memperkuat aturan di UU Ketenagakerjaan yang belum melindungi perempuan.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, tidak benar jika hak cuti haid dan cuti melahirkan ditiadakan di dalam RUU Cipta Kerja.
”Sebaiknya ditunjukkan dulu norma aturannya yang mana yang dijadikan soal. Sebab, dalam draf UU Cipta Kerja yang dikirimkan kepada Presiden tidak ada penghapusan hak-hak cuti melahirkan dan cuti haid bagi pekerja perempuan. Teman-teman ini juga jangan terjebak pada berita bohong atau informasi yang belum pasti. Sebaiknya dicek dulu di RUU-nya mengenai ketentuan itu,” katanya.
Kesehatan reproduksi
Dian Septi Trisnanti dari Federasi Buruh Lintas Pabrik menegaskan, dalam RUU Cipta Kerja mengatur soal upah berdasarkan satuan hasil, yang perhitungan upahnya menurut waktu kerja. Padahal, perempuan mengalami situasi khusus saat menstruasi atau hamil. Ketika berkali-kali ke toilet lalu target kerja tak tercapai, upahnya dipotong. Itu tak memperhatikan kesehatan reproduksi perempuan.
Bahkan, ketika perempuan sedang menstruasi, ada perusahaan yang meminta surat dokter, padahal tidak semua dokter memberikan surat karena menstruasi dianggap bukan sakit. ”Seharusnya celah pelanggaran ini dalam RUU Cipta Kerja diperkuat supaya tidak ada lagi pelanggaran,” kata Dian.
Kritik terhadap RUU Cipta Kerja disuarakan oleh aktivis perempuan lain, seperti Riska Carolina (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), Anindya Vivi R (Perkumpulan Jakarta Feminist), Apriyanti Marwah (KOPRI Jawa Barat), dan Nely (Sekolah Pembebasan Perempuan Antiseksisme Samarinda), serta aktivis lain dalam orasi Aksi Selasaan Gerak Perempuan.