Mengaji di ruang virtual dapat memperkaya pengalaman para santri di tengah pandemi Covid-19. Jejaring mereka akan semakin luas.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan mengaji menggunakan media dalam jaringan bukan lagi menjadi fenomena sementara akibat pandemi Covid-19. Tujuh bulan masa pembatasan sosial adalah waktu yang cukup untuk mulai membentuk kebiasaan baru.
Ulil Abshar Abdalla, pengampu Ngaji Ihya Ulumuddin, menyampaikan pandangan tersebut saat menghadiri Muktamar Pemikiran Santri Nusantara Ke-3 yang berlangsung secara daring, Selasa (13/10/2020). Sejumlah warga dan santri kini mulai terbiasa mengikuti pengajian di ruang virtual. Dia memperkirakan, kebiasaan seperti itu akan tetap dilakukan meski pandemi sudah usai suatu saat nanti. Orang kembali mengaji luring, tetapi tidak meninggalkan kegiatan memakai media daring.
”Keberkahannya (mengaji memakai media daring) berbeda sehingga saya menilai pemakaian daring nantinya bersifat melengkapi (pengajian) luring,” ujarnya.
Ulil menekankan, kegiatan mengaji menggunakan media daring tidak akan mengurangi peran pesantren di bidang pelayanan pendidikan. Pemakaian teknologi edukasi daring justru menambah kemungkinan-kemungkinan baru yang positif.
Pengajian daring memunculkan kemungkinan terjalinnya jejaring santri tingkat internasional sehingga timbul saling berbagi tradisi intelektual. (Ulil Abshar Abdalla)
Sebagai contoh, pengajian daring memunculkan kemungkinan terjalinnya jejaring santri tingkat internasional sehingga timbul saling berbagi tradisi intelektual. Kemungkinan positif lainnya yaitu publik menjadi kenal tradisi keilmuan ala pesantren.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadist, Badriyah Fayumi, mengatakan, dia tidak menolak praktik pembelajaran jarak jauh (PJJ) metode daring yang kini dilakukan sejumlah pondok pesantren. Hanya saja, PJJ metode daring tidak cocok diterapkan untuk anak dari jenjang pendidikan rendah. Bagi anak dari kelompok itu, gawai baru sebatas dipahami sebagai sarana hiburan.
Meski demikian, pada anak di jenjang pendidikan lebih tinggi, mereka umumnya lebih lancar mengikuti PJJ daring. Badriyah menceritakan, pondok pesantren yang dia asuh sempat menyelenggarakan aneka lomba menggunakan media sosial.
Dia menyadari, ilmu-ilmu keislaman tidak bisa dipisahkan satu sama lain, seperti belajar fikih tak bisa lepas dari hadis. Integrasi juga bisa dilakukan dengan ilmu pengetahuan ataupun realitas pengalaman hidup.
”Cara pandang santri perlu lebih luwes. Penyampaian ilmu-ilmu keislaman perlu diikuti dengan pengayaan wawasan,” kata Badriyah.
Metode daring dan luring
Hilmy Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, menerapkan pengajian melalui media daring dan luring. Pengelola pondok tidak memberlakukan perbedaan perlakuan.
”Belum semua santri balik ke pondok. Saat mengaji melalui media daring pun, kami memberikan tugas dan meringkas materi-materi pengajian. Ini sama dengan pengajian secara luring,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang diundangkan sejak 16 Oktober 2019. Selain semakin membuka peluang berkembang lebih maksimal, UU ini juga memberikan afirmasi pengakuan negara terhadap pesantren.
Menurut Hilmy, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2019, pemerintah menaruh perhatian mulai dari pemberian insentif untuk institusional sampai sumber daya manusia pesantren. Misalnya, pesantren dikelompokkan sesuai dengan jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat lalu negara mendukung pembentukan koperasi.
Pemerintah dapat pula memberikan insentif berupa beasiswa agar guru, santri, dan kiai pengelola pondok pesantren bisa melanjutkan studi. Hal itu akan menambah wawasan intelektual yang bermanfaat dalam penyampaian layanan pendidikan dan dakwah.