Undang-Undang Cipta Kerja dinilai diskriminatif, karena tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi penyandang disabilitas. Karena itu Jaringan Penyandang Disabilitas akan mengajukan uji materi atas UU Cipta Kerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor dan Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sepekan setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terus menuai kritik, termasuk dari kalangan disabilitas. DPR dan pemerintah dinilai tidak memiliki sensitivitas terhadap penyandang disabilitas.
Komunitas Penyandang Disabilitas yang tergabung dalam Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja 2020 menuding Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sebagai langkah mundur dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. RUU Cipta kerja justru menghapus sejumlah aturan yang sudah ada sebelumnya, yang membuka akses bagi penyandang disabilitas.
Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja 2020 melalui pernyataan pers, Senin (12/10/2020) melontarkan kritik kepada DPR dan Pemerintah yang masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. Karena itu, selain menolak RUU tersebut mereka berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Paradigma cacat tersebut sangat bertentangan dengan gerakan selama ini untuk mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas,” ujar Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang bersama Nurul Saadah dari Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (Sapda) membacakan pernyataan sikap.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011, penggunakan kata cacat dalam dalam RUU Cipta Kerja menunjukkan DPR dan Pemerintah menunjukkan pemahaman dan keberpihakan DPR terhadap kelompok disabilitas sangat minim. “Bahkan UU Penyandang Disabilitas mereka sahkan sendiri ditinggalkan dan tidak masuk dalam pertimbangan RUU Cipta Kerja,” kata Fajri.
Padahal Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum RUU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan RUU ini”.
Selain itu, penggunaan istilah “cacat” juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Pada pernyataan sikap yang juga dihadiri Joni Yulianto, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Bahrul Fuad (Komnas Perempuan) serta sejumlah pemimpin organisasi disabilitas, Jaringan Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Usulan organisasi penyandang disabilitas pun tidak diakomodir. Padahal substansi RUU Cipta Kerja sangat relevan dan akan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.
Bukannya mengakomodir aspirasi penyandang disabilitas, RUU Cipta Kerja justru menghapus aturan yang yang terkait perlindungan negara terhadap hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam bangunan Gedung. Misalnya, menghapus Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga menambah daftar alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan mencantumkan alasan PHK bagi pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Alasan PHK tersebut dinilai diskriminatif, dapat merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif.
Aturan kuota pekerjaan hilang
Jaringan Penyandang Disabilitas juga mempertanyakan RUU Cipta Kerja telah menghilangkan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi perusahaan/instutusi pemerintah penyandang disabilitas dari keseluruhan pegawai. “Tentu saja ini sangat mengurangi kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses dunia kerja dan akan menjadikan penyandang disabilitas sulit dalam mengakses dunia kerja,” tegas Nurul.
Persyaratan sehat “jasmani rohani” dalam RUU Cipta Kerja dinilai sumir dan akan mendiskriminasi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan akses pekerjaan. Bahkan, RUU Cipta Kerja tidak mengatur mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap pekerja perempuan khususnya perempuan penyandang disabilitas.
Karena itulah, Presiden didesak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pembatalan RUU Cipta Kerja 2020 dalam waktu 14 hari. DPR diminta menjelaskan kepada publik mengapa mengabaikan kelompok penyandang disabilitas dalam pembahasan dan tidak dicantumkan UU Penyandang Disabilitas sebagai UU yang terkena dampak.
“Kami meminta semua dokumen terkait RUU Cipta Kerja terutama yang terkait substansi harus disebarkan dan aksesibel,” kata Fajri serta menyatakan Jaringan Penyandang Disabilitas berniat mengajukan uji materi RUU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Joni Yulianto menilai DPR dan Pemerintah melupakan bahwa di antara pihak yang terdampak RUU Cipta Kerja ada difabel, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Karena itulah, penting pemerintah dan DPR menanggapi berbagai kritik atas RUU tersebut.
Pemerintah hormati sikap kritis
Menanggapi pernyataan sikap tersebut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, kelompok penyandang disabilitas mendapatkan perhatian dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Dalam pembangunan gedung, misalnya, kelompok tersebut juga diatur dan diberi pengaturan khusus. Demikian halnya dalam pemberian jaminan bagi tenaga kerja kelompok disabilitas.
"Tidak ada kluster khusus terkait dengan penyandang disabilitas, tetapi dalam rapat panja selalu diingatkan terkait masalah ini (pelayanan bagi penyandang diasbilitas)," katanya.
Sunarman, anggota staf ahli di Kedeputian V Bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan pihaknya sangat menghormati sikap kritis dari jaringan Penyandang Disabilitas. Pemerintah, dalam hal ini Kedeputian V KSP sangat terbuka dengan kritik, dan akan melakukan kajian terhadap substansi aspirasi tersebut.
“Saya menganggap narasi kritis kawan-kawan jaringan advokasi hak difabel terhadap RUU Cipta Kerja itu valid. Karena memang begitulah bunyi di RUU Cipta Kerja. Terkait tuntutan atau rekomendasi kawan-kawan difabel tersebut, kita juga akan dalami, kira-kira tuntutan atau aspirasi yang mana yang bisa pemerintah akomodasi,” kata Sunarman yang juga menghormati langkah konstitusional jaringan disabilitas untuk menempuh uji materi ke MK.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat berpendapat sejak awal RUU Cipta Kerja tidak memasukan UU Penyandang Disabilitas, namun tidak berarti tenaga kerja disabilitas tidak menjadi perhatian. Hal itu justru menguntungkan disabilitas, karena persoalan disabilitas tetap diatur dalam UU Penyandang Disabilitas yang cakupannya lebih luas dan komprehensif.
“Kalau soal istilah masih menggunakan kata cacat ini memang perlu dikoreksi krn UU No. 8 Tahun 2016 jels menyebut istilah disabilitas bukan cacat,” kata Harry.