Pengelolaan Penduduk Tahun 2045, Perlindungan Lingkungan Jadi Tantangan
Indonesia memiliki 319 juta penduduk pada 2045. Pemenuhan kebutuhan semua penduduk, khususnya soal pangan dan papan tidaklah mudah. Lingkungan harus jadi perhatian serius jika ingin pembangunan berkelanjutan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Indonesia memiliki 319 juta penduduk pada 100 tahun kemerdekaannya pada 2045. Pemenuhan kebutuhan semua penduduk, khususnya soal pangan dan papan, tidaklah mudah. Lingkungan harus jadi perhatian serius jika ingin pembangunan berkelanjutan.
Bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah, khususnya banjir, longsor, atau kekeringan, menunjukkan berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ke depan, situasi itu akan makin sering terjadi jika tidak ada perbaikan serius terhadap tata kelola lingkungan kita.
”Alam sangat bergantung pada manusia, apakah bijaksana mengelolanya atau justru merusaknya,” kata Sekretaris Pusat Studi Lingkungan Institut Teknologi Bandung Asep Sofyan dalam webinar ”Bumi dan Manusia: Sejahtera jika Berencana Bersama” yang diseleggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Bukan hanya bagaimana memenuhi kebutuhan mereka, 319 juta penduduk Indonesia di tahun 2045 juga perlu diatur sebarannya agar tidak membebani wilayah tertentu. Pada masa itu, lebih separuh penduduk diperkirakan masih akan ada di Jawa hingga menjadikan Jawa nyaris menjadi pulau kota seperti Singapura saat ini. Situasi itu membuat tekanan di Jawa makin berat.
Menurut Asep, turunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan dipastikan akan menurunkan produktivitas, baik manusia maupun lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang rusak butuh waktu lama untuk bisa memperbaiki diri hingga mengurangi kesejahteraan manusia dan membuat pembangunan tidak berkelanjutan.
Lingkungan yang baik, seperti air, sanitasi, perubahan iklim, hingga ekosistem darat dan laut juga menjadi indikator dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Ini menjadikan paradigma pembangunan tidak bisa lagi menitik beratkan pada sektor ekonomi, tetapi ekonomi harus berjalan beriringan dengan kepentingan sosial dan lingkungan.
”Konsep pembangunan yang mengutamakan ekonomi seperti di tahun 1960-an sudah harus ditinggalkan. Kini, ekonomi, sosial, dan lingkungan harus seimbang,” katanya.
Sumber daya alam
Rektor Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sutarto Hadi mengatakan, Kalimantan punya potensi lahan besar yang belum tergarap, khususnya lahan basah yang luasnya lebih besar dibandingkan areal hutan yang kian susut. Potensi pertanian, perikanan, maupun keberadaan flora fauna khas di lahan basah perlu dioptimalkan.
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang ada, ketersediaan peta dasar skala besar menjadi penting. Hingga 2019, peta dasar skala 1:5.000 yang menjadi tanggung jawab Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk menyediakannya, baru tersedia untuk 1,9 persen wilayah yang ada.
”Penyediaan peda dasar skala 1:5.000 jadi prioritas nasional pada 2020-2024,” kata Kepala Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama BIG Suprajaka. Peta skala 1:5.000 artinya, 1 sentimeter di peta mewakili jarak 50 meter pada kondisi sesungguhnya.
Asep menambahkan, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang, pemerintah sebenarnya sudah memiliki panduan jelas, baik yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 maupun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
”Instrumennya sudah ada, tetapi belum dilaksanakan,” katanya. RPPLH itu seharusnya dimiliki setiap provinsi dan kabupaten/kota, namun belum semua daerah memilikinya karena juga tidak ada sanksinya. Padahal, RPPLH yang menjadi dasar pemanfaatan sumber daya alam di daerah tersebut termuat dalam RPJMN maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani mengakui aspek yang paling berat dalam pelesterian lingkungan dan pembangunan adalah soal regulasi. Aturan yang sudah ada saja sering dilanggar dan disalahgunakan.
”Pembangunan kita sudah tidak memperhatikan alam,” katanya. Akibatnya, banyak lahan yang seharusnya terlarang untuk dibangun atau dibudidayakan justru dimanfaatkan secara liar hingga memicu bencana yang terus berulang dan menimbulkan kerugian besar.