Fasilitasi Anak-anak Tak Mampu, Sekolah Virtual Dirintis di Jateng
Dua sekolah virtual rintisan dibuka di dua sekolah yang mengampu, yakni SMAN 3 Brebes dan SMAN 1 Kemusu, Boyolali, serta masing-masing terdapat 36 siswa. Di tahap awal ini, diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Tengah meluncurkan sekolah virtual rintisan tingkat menengah atas yang diperuntukkan bagi anak-anak tak sekolah karena terkendala biaya. Sekolah virtual itu diselenggarakan untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, mengingat saat ini ada sekitar 45.000 anak tak sekolah di Jateng.
”Kami akan dampingi dan bantu. Selama ini anak-anak yang tak masuk SMA/SMK karena tak punya uang,” kata Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat meresmikan dua sekolah virtual rintisan di SMAN 3 Brebes dan SMAN 1 Kemusu, Boyolali, Selasa (13/10/2020). Sekolah virtual di dua tempat tersebut masing-masing memiliki 36 siswa.
Ganjar menuturkan, konsep virtual dicoba agar aksesibilitas pendidikan lebih baik. ”Dengan diampu oleh dua sekolah ini, nanti para siswa ini bisa belajar dari rumah,” katanya.
Ganjar mengatakan, rintisan sekolah virtual tersebut akan dipantau perkembangannya. Apabila berjalan lancar, akan terus didorong, termasuk melibatkan perguruan tinggi.
”Ada beberapa masalah yang kami coba bereskan, seperti sarana prasarana,” kara Ganjar. Kerja sama dengan perguruan tinggi juga nantinya dilakukan. Diharapkan, ada mahasiswa-mahasiswa yang bisa mendampingi sekolah ini. ”Kalau pendidikan bagus, saya yakin mereka (peserta didik) akan mengubah nasibnya,” ujar Ganjar.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Padmaningrum, siswa di sekolah virtual rintisan merupakan mereka yang berkategori tak mampu. Meskipun mereka bersekolah virtual, statusnya sama dengan siswa biasa, termasuk dalam mengikuti ujian dan mendapat ijazah.
Siswa di sekolah virtual rintisan merupakan mereka yang berkategori tak mampu. (Padmaningrum)
”Apa yang dipelajari sama seperti siswa di sekolah negeri biasa, hanya belajarnya daring. Juga bisa dilakukan kapan saja karena sebagian dari mereka ada yang bekerja juga,” kata Padmaningrum.
Adapun pengadaan telepon genggam bagi siswa dibantu oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA dan SMK. Namun, sifatnya bukan diberikan seterusnya, melainkan sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.
Dukung IPM
Dengan pembukaan akses belajar tersebut, diharapkan angka partisipasi sekolah di Jateng meningkat. Angka partisipasi sekolah mendukung peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Saat ini, kata Padmaningrum, total ada sekitar 45.000 anak tak mendaftar sekolah atau putus sekolah di Jateng.
Selama ini, mereka yang tak melanjutkan sekolah karena khawatir akan mengeluarkan banyak biaya, baik biaya sekolah itu sendiri maupun biaya perjalanannya. ”Ke depan, (sekolah virtual) diharapkan juga diterapkan di daerah-daerah miskin dan sekolah yang sulit dijangkau. Sebab, banyak juga anak-anak yang harus berjalan 15-30 km untuk sekolah. Enggak ada uang, enggak sekolah,” ujar Padmaningrum.
Menurut data Badan Pusat Statistik Jateng, pada 2019, angka partisipasi kasar (APK) SMA/MA di Jateng mencapai 86,76 persen. Sementara angka partisipasi murni (APM) SMA/MA 59,35 persen.
Di Boyolali, pada 2019, APK SMA/MA mencapai 81,37 persen, sementara APM SMA/MA ialah 55,83 persen. Adapun di Brebes, APK SMA/MA 68,96 persen dan APM SMA/MA 49,52 persen. Kedua daerah tersebut berada di bawah angka rata-rata APK/APM Jateng.
Rektor Universitas Ivet Semarang yang juga Ketua Dewan Pendidikan Jateng Rustono mengatakan, anak-anak harus tetap mendapat pendidikan. Gagasan sekolah virtual ini diharapkan mengurangi jumlah anak yang tidak bersekolah di Jateng.
”Daerah-daerah yang mendapat kesempatan ini memang yang benar-benar membutuhkan, seperti Brebes, yang selama ini cukup tertinggal. Dengan demikian, diharapkan anak-anak bisa melanjutkan studi, bahkan nantinya hingga perguruan tinggi,” kata Rustono.