Pameran Daring Mendorong Cara Kerja Baru Kuratorial
Kehadiran teknologi digital memungkinkan penyelenggaraan pameran seni rupa dilakukan secara daring. Seniman dan kurator bisa bekerja sama dengan profesional multimedia sehingga pameran tetap menarik bagi pengunjung.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan pameran seni rupa menggunakan media dalam jaringan melahirkan cara kerja baru kuratorial. Ini karena presentasi dan apresiasi karya tidak lagi dibatasi sekat ruang dan waktu kunjungan.
Kurator Rizki A Zaelani mengatakan, kurator saat ini masih cenderung lebih berperan pada peristiwa pameran. Namun, berdasarkan pengalamannya di pameran daring seni rupa Manifesto VII ”Pandemi”, para kurator bekerja sejak perumusan persoalan pada tema yang diangkat di pameran.
Lantaran medium pameran berubah, ia dan kurator lainnya melakukan riset akan medium serta tema yang pas. Peserta pameran pun ikut disesuaikan, yakni seniman dan orang awam ikut berpartisipasi.
Kami dipaksa memikirkan seni rupa masa depan, siapa yang disebut seniman, dan cara kerja kuratorial yang berbeda dari biasanya. (Rizki A Zaelani)
”Kami dipaksa memikirkan seni rupa masa depan, siapa yang disebut seniman, dan cara kerja kuratorial yang berbeda dari biasanya,” ujar Rizki dalam sesi Bicara Rupa: Gagasan Kuratorial Manifesto VII ”Pandemi” Tentang Kemungkinan dan Ketidakmungkinan, Sabtu (10/10/2020), di Jakarta.
Praktisi multimedia dan pengelola Humanika Artspace, Andang Iskandar, mengatakan, penyajian pameran seni rupa menggunakan media daring mempertimbangkan sejumlah metrik pengukuran perilaku kunjungan. Penyajian baru ini mengundang kemunculan sejumlah profesi baru seperti ilmuwan data, website programmer, dan engine programmer.
Bersama kurator, beberapa profesional di bidang teknologi informasi tersebut mengembangkan penyajian karya seni yang sebisa mungkin interaktif dan nyata. Selain itu, mereka juga harus memikirkan upaya proteksi hak kekayaan intelektual dan etika digital.
”Pameran seni rupa menggunakan media daring menghasilkan data digital menarik, seperti asal pengunjung, durasi kunjungan, dan jenis karya yang paling banyak dikunjungi. Waktu kunjungan pun bisa ditelusuri," kata Andang.
Meski tercipta data digital menarik, dia belum berani menyimpulkan, apakah penyelenggaraan daring menggantikan atau melengkapi pameran luring.
Dosen Universitas Negeri Gorontalo, I Wayan Seriyoga Parta, berpendapat, keterbatasan teknis medium digital untuk pameran bisa diatasi. Akan tetapi, saat bersamaan, pengalaman ketubuhan—presentasi dan apresiasi karya seni rupa—akan tergantikan.
Menurut dia, masih ada jenis karya seni konvensional yang akan sukar dipamerkan menggunakan medium daring. Misalnya, fine art. Jenis karya seni rupa ini memiliki nilai material dan estetika yang tak bisa dilepaskan dari obyeknya.
Tiadanya sekat ruang dan waktu bisa disikapi secara positif. Seriyoga mengatakan, seniman bisa menghadirkan karya seni rupa yang dibuat beserta data narasi penciptaan.
”Pada pameran fisik, seniman cenderung susah berbagi narasi proses penciptaan karya. Jika narasi itu mau turut ditampilkan, ruang pameran menjadi terbatas. Lain ceritanya dengan pameran menggunakan media daring,” ujarnya.