AJI Indonesia: 28 Jurnalis Alami Kekerasan Saat Meliput Unjuk Rasa RUU Cipta Kerja
Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia mencatat, terdapat 28 jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 7 dan 8 Oktober 2020.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia mencatat, terdapat 28 jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 7 dan 8 Oktober 2020. Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat keamanan tersebut terjadi di sejumlah daerah.
Berdasarkan data yang dihimpun AJI, kasus kekerasan tidak hanya menimpa 28 jurnalis, tetapi juga 6 orang yang merupakan pers mahasiswa. Kasus kekerasan terbanyak adalah perusakan atau perampasan data hasil liputan, disusul intimidasi oleh aparat, kekerasan fisik, dan penahanan atau penangkapan.
Sementara berdasarkan lokasinya, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta dengan delapan kasus, disusul enam kasus di Surabaya, lima kasus di Samarinda, serta masing-masing tiga kasus di Semarang dan Palu.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrin saat konferensi pers secara daring, Sabtu (10/10/2020), menyampaikan, pada kasus penahanan di Jakarta, enam jurnalis ditahan hampir selama 2 kali 24 jam. Enam jurnalis tersebut kemudian baru dibebaskan pada Jumat (9/10/2020) malam oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya.
”Hasil pengamatan dan verifikasi yang dilakukan AJI, sebagian jurnalis yang meliput aksi tersebut sudah menunjukkan id card (identitas diri sebagai wartawan) kepada polisi. Bahkan, ada juga jurnalis yang sudah mengenakan baju bertuliskan pers masih tetap ditangkap. Jadi tidak ada alasan bagi kepolisian mengatakan tidak mengetahui bahwa mereka adalah jurnalis,” ujarnya.
Enam kasus kekerasan yang dialami jurnalis tersebut telah dilaporkan, yakni tiga kasus di Semarang dan tiga kasus di Palu. Lima jurnalis di Samarinda juga akan melaporkan kembali kasus yang dialaminya. Perusahaan media tempat jurnalis bekerja juga diharapkan turut mendampingi pelaporan kasus yang dialami karyawannya.
Sementara bagi pihak kepolisian, AJI mendesak agar kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut dapat diusut dan diproses lebih lanjut. Anggota kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan terhadap jurnalis harus dijerat dengan pasal pidana di Undang-Undang Pers dengan ancaman pidana penjara dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
”Kami mendesak polisi agar tidak memproses kasus ini dengan pelanggaran etik seperti yang terjadi di Makassar tahun lalu. Kami berharap kasus ini diselesaikan secara tuntas dengan menggunakan pasal pidana di Undang-Undang Pers,” ungkapnya.
Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi saat meliput unjuk rasa RUU Cipta Kerja. Dalam catatan AJI Indonesia, pada April 2019-Mei 2020, ada 31 kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh anggota Polri. Dua momen kekerasan terjadi ketika wartawan meliput unjuk rasa besar pada Mei dan September tahun lalu. Pada medio 2006-September 2020, sebanyak 785 wartawan menjadi korban kekerasan.
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengaku ragu kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat keamanan dapat diselesaikan. Hal ini berkaca dari sejumlah kasus kekerasan yang dilaporkan sebelum-sebelumnya tetapi tidak kunjung diproses atau ditindaklanjuti.
”Ini sebenarnya menunjukkan kecenderungan umum kalau pelaku kekerasan yang dilakukan polisi itu hampir tidak ada yang masuk ke meja pengadilan. Jadi seperti mengesahkan polisi di atas hukum dan kebal hukum. Pergantian presiden ataupun kapolri juga tidak membuat kultur ini berubah,” katanya.
Selain itu, penyebab kekerasan juga menunjukkan adanya pola yang sama. Menurut Manan, aparat mengintimidasi hingga merampas data hasil liputan ketika jurnalis merekam mereka sedang melakukan kekerasan kepada pengunjuk rasa atau masyarakat sipil lainnya. ”Ini artinya polisi tidak mau kejahatannya diketahui oleh publik,” ungkapnya.
Dalam siaran pers, Sabtu (10/10), Dewan Pers menyatakan keprihatinan mendalam atas peristiwa kekerasan yang dialami para wartawan saat meliput demonstrasi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai kota pada hari Kamis, 8 Oktober 2010. "Kami memberikan dukungan moral kepada para wartawan yang menjadi korban kekerasan beserta keluarganya," kata Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh.
Terkait kekerasan terhadap wartawan tersebut, Dewan Pers menyatakan mengutuk dengan keras oknum aparat yang melakukan tindak kekerasan, intimidasi verbal dan perusakan alat kerja wartawan yang sedang melakukan kerja jurnalistik meliput demonstrasi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kami memandang perlu pihak Kepolisian memberikan penjelasan resmi atas kekerasan dan perusakan yang terjadi.
Dewan Pers juga meminta agar Kepolisian segera melepaskan para wartawan jika ada yang masih ditahan serta memperlakukan mereka dengan baik dan beradab. Mohammad Nuh juga mengingatkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, para wartawan dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999 menyatakan, "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum." Dalam konteks ini, semestinya Pihak Kepolisian bersikap hati-hati, proporsional dan tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Dewan Pers juga menghimbau kepada pihak media dan pihak keluarga wartawan agar segera memberitahukan ke Dewan Pers, asosiasi wartawan dan kepolisian jika ada wartawan peliput demonstrasi yang belum ditemukan keberadaannya hingga saat ini dan atau sedang membutuhkan perawatan medis intensif karena menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi.
Ia juga menghimbau kepada semua pihak agar hanya meletakkan insiden kekerasan terhadap wartawan dalam konteks penegakan prinsip-prinsip kemerdekaan pers berdasarkan UU Pers No 40 Tahun 1999.
Lebih lanjut, ia menghimbau kepada segenap pers nasional, khususnya para wartawan agar senantiasa mengedepankan keselamatan dan kesehatan pada situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, dengan senantiasa berdisiplin melaksanakan protokol kesehatan saat meliput peristiwa-peristiwa publik. Ditekankannya juga, perusahaan pers memiliki kewajiban untuk memastikan keselamatan dan kesehatan para wartawannya dalam konteks ini.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono berjanji akan mengusut kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian. Menurut dia, kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja disebabkan oleh situasi yang kacau dan tidak dapat diprediksi (Kompas.id, 10/10/2020)