Pemuka Agama Dorong DPR Wujudkan UU Perlindungan PRT
Perjuangan pekerja rumah tangga untuk mendapatkan pengakuan atas pekerjaannya terus mengalami tantangan. Hingga kini, nasib RUU Perlindungan PRT masih terhambat, RUU ini tak kunjung diusulkan dalam rapat paripurna DPR.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja rumah tangga bukan hanya sekadar hadir membantu keluarga dalam urusan domestik, termasuk pengasuhan, tetapi juga bekerja untuk memastikan keluarga bisa bekerja di ruang-ruang publik. Pekerjaan yang dilakukan pekerja rumah tangga bukan hanya untuk dirinya semata, sebagian besar dari mereka merupakan tulang punggung keluarga.
Oleh karena itu, sudah saatnya negara hadir memberikan pengakuan kepada pekerja rumah tangga dengan melanjutkan proses legislasi Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah 16 tahun berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Para wakil rakyat didesak segera menetapkan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR pada akhir masa sidang DPR tahun 2020, dan segera melanjutkan pembahasan dan pengesahan sebagai UU.
Harapan ini disampaikan dalam Diskusi dan Deklarasi Tokoh Agama dan Masyarakat terhadap RUU PPRT, Rabu (7/10/2020), yang digelar Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara daring. Diskusi yang dipandu komisioner Komnas Perempuan, Veriyanto Sitohang, itu dibuka oleh Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani dan Romo Johannes Hariyanto SJ (Sekretaris Umum Yayasan ICRP), dilanjutkan mendengarkan pandangan dari sejumlah tokoh agama dan diakhiri pembacaan deklarasi.
Untuk menciptakan perlindungan bagi kelompok rentan, dalam hal ini pekerja rumah tangga, dibutuhkan sebuah undang-undang untuk mengaturnya.
”Untuk menciptakan perlindungan bagi kelompok rentan, dalam hal ini pekerja rumah tangga, dibutuhkan sebuah undang-undang untuk mengaturnya. Hal ini juga sebagai bagian dari nilai-nilai luhur bangsa yang beragama, yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan yang setara bagi sesama manusia ciptaan Allah,” ujar Js Liem Liliany Lontoh, tokoh agama Khonghucu, saat membacakan Deklarasi Tokoh Agama untuk mendorong RUU PPRT.
Liliany bersama para tokoh agama, yang diwakili KH Husein Muhammad (Islam), Endang Retno Lastani (Penghayat Kepercayaan), Pendeta Romo Asun (Buddha), Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Katolik), Pendeta Emmy Sahertian (Kristen), dan Nyoman Udayan Sangging (Hindu), dalam deklarasi itu meminta DPR untuk peduli dengan nasib dan martabat PRT dengan segera mewujudkan UU PPRT.
Bagi para tokoh agama, upaya melakukan perlindungan terhadap PRT melalui
perjuangan agar RUU PPRT segera disahkan adalah upaya mulia yang harus didukung oleh setiap komponen bangsa. Apalagi RUU itu kini memasuki fase yang krusial, apakah benar-benar akan menjadi inisiatif DPR, karena dalam prosesnya sampai sekarang belum ada kesepakatan bulat dari seluruh fraksi di DPR.
”Proses politik di DPR terkait RUU PPRT ini seharusnya mengedepankan sisi kemanusiaan daripada ego partai atau fraksi, apalagi jika hanya soal berebut panggung,” ujar Liliany.
Romo Johannes menyatakan, selama ini PRT tidak lazim dibicarakan tokoh agama, padahal masalah yang dihadapi para PRT terkait RUU PPRT sudah cukup lama dibicarakan, tetapi tidak pernah dianggap serius di DPR. Karena itu, Komnas Perempuan dan tokoh agama bersama-sama membangun kesadaran bahwa PRT itu ada dan mereka layak mendapat perhatian sebagaimana setiap pekerja di dalam masyarakat.
”Yang paling penting ialah membangun persepsi baru mengenai kehadiran PRT yang selama ini hadir, tetapi tidak pernah dianggap penting dalam proses bersama sebagai masyarakat,” kata Romo Johannes.
Andi Yentriyani dalam sambutannya menyatakan, kendati menjadi bagian dalam keluarga, bekerja bagi pemberi pekerja, hingga kini PRT tidak ada payung hukum, tidak masuk dalam UU Ketenagakerjaan, apalagi masuk dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru saja disahkan DPR pada Senin lalu, dan menuai banyak kritik. Padahal, penting sekali ada payung hukum untuk melindungi PRT dari berbagai eksploitasi.
”Komnas Perempuan menerima sejumlah kasus tentang kekerasan baik fisik, seksual, maupun eksploitasi ekonomi yang dialami PRT. Bahkan kalau kita lihat data Jaringan Advokasi Nasional PRT, rata-rata dalam tiga tahun lebih dari 350 kasus yang menimpa PRT,” kata Andi.
PRT bukan budak
Dalam diskusi KH Husein Muhammad, Pemimpin Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, menyatakan, para PRT harus diperlakukan dengan santun, tidak boleh direndahkan, dan sama sekali tidak boleh dianggap layaknya budak.
”PRT adalah manusia merdeka. Nabi SAW bahkan menganjurkan agar memanggil mereka layaknya anak atau anggota keluarganya sendiri atau teman. Lebih dari itu semua, hak-hak ekonomi PRT wajib dipenuhi pemberi kerja,” ujar Husein yang mendukung RUU PPRT disahkan menjadi UU, karena agama hadir untuk manusia dalam rangka kemanusiaan.
Romo Chrisanctus Paschalis menegaskan, semua agama sama-sama sepakat akan penghormatan kepada martabat manusia yang harus selalu diperjuangkan. ”Kami mendukung RUU PPRT dibahas lebih lanjut serta disempurnakan demi kemanusiaan dan nasib seluruh PRT yang ada di Indonesia tercinta ini dan akhirnya ditetapkan menjadi UU,” katanya.
Hal senada disampaikan Pendeta Emmy Sahertian dan tokoh agama dari Buddha, Hindu, dan Penghayat Kepercayaan. Pengesahan RUU PPRT menjadi UU merupakan bentuk keberpihakan semua pihak terhadap keadilan sosial.