Kendati hadir dalam kehidupan keluarga, hingga kini pengakuan atas pekerja rumah tangga masih jauh. Perjuangan untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan PRT hingga kini terus mengalami tantangan di DPR.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terus menuai kritik. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah seharusnya memberikan perhatian dan pengakuan terhadap pekerja informal, seperti para pekerja rumah tangga, yang hingga kini belum menikmati kerja layak. Setelah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, DPR diharapkan segera menetapkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Ketiadaan payung hukum membuat posisi pekerja rumah tangga dalam ketidakpastian. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 ini, banyak yang kehilangan pekerjaan dan tidak dapat mengakses jaring pengaman sosial. Usulan adanya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah belasan tahun didesakkan selalu dikesampingkan dan tak pernah diprioritaskan untuk dibahas.
Mereka masih harus berhadapan dengan sindikat perdagangan manusia, negara-negara yang tak aman bagi pekerja migran, kebijakan yang diskriminatif dan kekerasan berbasis jender. (Wahyu Susilo)
Tak hanya PRT di dalam negeri, para pekerja migran Indonesia (PMI) pun yang mayoritas perempuan, situasinya juga masih jauh dari kondisi kerja layak. ”Mereka masih harus berhadapan dengan sindikat perdagangan manusia, negara-negara yang tak aman bagi pekerja migran, kebijakan yang diskriminatif dan kekerasan berbasis jender,” ujar Direktur Migrant Care Wahyu Susilo, dalam keterangan pers bertepatan Hari Kerja Layak Pekerja Sedunia, Kamis (8/10/2020).
Wahyu menegaskan, hingga kini Undang-Undang No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI juga belum diimplementasikan secara konkret hingga ke daerah. Sementara ada banyak agenda perwujudan kerja layak bagi pekerja yang menjadi tanggung jawab konstitusi negara RI dan juga bagian dari komitmen global perwujudan tujuan dan target dalam Goal 8 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang inklusif tanpa perwujudan kerja layak bagi pekerja.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengungkapkan kekecewaannya karena hingga Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10/2020), DPR belum juga menyetujui RUU Perlindungan PRT (PPRT) sebagai RUU inisiatif DPR. Karena itulah, Lita mengetuk hati para anggota DPR, terutama Fraksi PDI-P untuk mendukung perjuangan PRT.
”Kami JALA PRT mendesak Fraksi PDI-P harus mendukung RUU PPRT karena Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pada Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2015 berjanji mendukung UU PPRT dan F-PDIP adalah salah satu pengusung RUU PPRT. Para PRT adalah Sarinah, yang mengajari Bung Karno untuk mencintai wong cilik. PRT adalah kaum Marhaen dan wong cilik, alasan PNI dan PDI-P didirikan,” ujar Lita.
Hingga kini, Jala PRT bersama organisasi dan aktivis perempuan terus mendesak DPR segera mengusulkan RUU PPPT sebagai RUU inisiatif DPR. Di media sosial mereka menyebarkan tagar #bahasdansahkanRUUPPRT #WujudkanUUPPRT #BarisanSerbet.
Kedepankan sisi kemanusiaan
Sehari sebelumnya, sejumlah pemuka agama dan masyarakat sipil menyampaikan deklarasi mendukung pembahasan dan pengesahan RUU PPPT. Para pemuka agama dalam deklarasi yang dibacakan Js Liem Liliany Lontoh, tokoh agama Khonghucu, menyatakan, proses politik di DPR terkait RUU PPRT ini seharusnya mengedepankan sisi kemanusiaan daripada ego partai atau fraksi, apalagi jika hanya soal berebut panggung.
Sebab, jika dilihat dari draf isi RUU PPRT justru memperlihatkan dan bersandar pada nilai-nilai luhur bangsa dan mencerminkan semangat nilai-nilai religiositas yang diajarkan semua agama. Draft RUU PPRT juga menunjukkan jalan tengah, dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkait, khususnya dengan memberikan hak dan kewajiban bagi pekerja rumah tangga dan pemberi kerja atau majikan.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Veriyanto Sitohang, menegaskan, pengesahan RUU PPRT menjadi UU merupakan bentuk perlindungan negara terhadap PRT dari tindakan diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan.
Pada Senin (5/10/2020) lalu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya menyatakan, pembahasan RUU PPRT belum ada kemajuan karena belum diagendakan pimpinan DPR untuk diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR. ”Masih dirapatkan pimpinan,” katanya.