Antisipasi Risiko Pembelajaran Jarak Jauh Metode Daring
Risiko negatif pandemi terhadap kualitas pembelajaran mahasiswa bisa diantisipasi. Kebijakan pendidikan tinggi perlu diarahkan untuk mencegah turunnya kualitas pembelajaran.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran jarak jauh berkepanjangan karena pandemi Covid-19 diperkirakan berisiko terhadap lulusan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi berkelanjutan untuk menekan potensi dampak negatif.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda saat menghadiri diskusi Menyelamatkan Kualitas Sarjana di Masa Pandemi, Rabu (7/10/2020), di Jakarta, menyebutkan, sekitar 500 dari 1.500 instansi pendidikan tinggi terancam kesulitan keuangan selama pandemi Covid-19. Pandemi menyebabkan kampus susah menggelar kuliah.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, mengutip data Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar perguruan tinggi secara nasional mencapai 25,26 persen pada 2015, lalu naik menjadi 27,98 persen tahun 2016, dan menjadi 29,93 persen pada 2017. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi nasional naik menjadi 30,19 persen pada 2018 dan kembali naik menjadi 30,28 persen tahun 2019. Dia menilai pencapaian angka partisipasi kasar tersebut masih rendah.
Keberadaan sekitar 500 kampus sebelum pandemi belum mampu mendongkrak angka partisipasi kasar perguruan tinggi. Apalagi, kini mereka didera kesulitan keuangan.
”Keberadaan sekitar 500 kampus sebelum pandemi belum mampu mendongkrak angka partisipasi kasar perguruan tinggi. Apalagi, kini mereka didera kesulitan keuangan,” ujar Syaiful.
Rektor Universitas Muhammadiyah Kudus Rusnoto mengungkapkan, hingga kini belum ada mahasiswanya putus kuliah. Meski demikian, ketika awal pandemi Covid-19, dia menerima sejumlah mahasiswa yang berniat mundur. Penyebabnya adalah orangtua mereka kesulitan pendapatan.
Pimpinan perguruan tinggi akhirnya memutuskan mengubah mekanisme pembayaran uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Misalnya, mahasiswa boleh membayar SPP bulanan atau di akhir semester.
Rusnoto mengakui, tantangan masa depan dihadapi calon sarjana semakin kompleks. Sebagai contoh, pola bekerja dituntut lebih kreatif, lapangan kerja semakin sedikit, dan punya kemampuan di bidang teknologi. Saat ini, karena pandemi Covid-19, mahasiswa yang mengambil pendidikan profesi kesehatan cemas saat praktik di klinik ataupun rumah sakit.
”Lulusan sarjana kesehatan bisa bekerja tak sesuai bidang ilmu yang dia pelajari saat kuliah. Hal ini bahkan sudah terjadi,” katanya.
Rektor Universitas Negeri Jakarta Komarudin menceritakan, ada sebuah riset yang menyebut tingkat keberhasilan kuliah daring hanya 30 persen. Dirinya merasa riset itu perlu dikaji lebih jauh.
Selama pandemi Covid-19, pembelajaran materi teori mudah dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ) metode daring. Sementara pembelajaran yang membutuhkan praktik tetap dilakukan luring.
Mahasiswa dari daerah kerap kali mengalami masalah jaringan internet. Maka, kampus memperbolehkan mereka tetap tinggal di asrama.
Komarudin menyadari ada sejumlah mahasiswa yang lulus tahun 2020 mengalami kecemasan setelah wisuda. Salah satu pemicu cemas adalah ketersediaan lapangan kerja.
Mengutip proyeksi Forum Ekonomi Dunia (WEF), Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Badri Munir Sukoco menyebutkan beberapa kompetensi lulusan perguruan tinggi yang dicari dunia kerja, misalnya kreativitas, mengelola emosi, dan memecahkan masalah.
”Kapabilitas kepemimpinan seperti itu kemungkinan susah dilatih ketika mahasiswa masih mengikuti PJJ metode daring,” ujarnya.
Efektivitas
Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Ahmad Baedowi memandang, masa pandemi Covid-19 sebagai momentum untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan di pendidikan tinggi nasional. Salah satunya adalah menyisir efektivitas 27.000 program studi. Dia meyakini di antara program studi sebanyak itu terdapat tumpang tindih sehingga jadi beban kurikulum.
Apabila pendidikan tinggi dimasukkan sebagai pendukung ekonomi, dia berpendapat perlunya mencari solusi perbaikan, seperti rekonstruksi kurikulum dan penyampaian pembelajaran.
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Aris Junaidi menyebutkan, enam kebijakan pemerintah untuk mendukung efektivitas PJJ, di antaranya menguatkan sistem pembelajaran daring Indonesia (SPADA) dan mendorong mahasiswa bisa mengakses sistem manajemen pembelajaran atau kursus daring (massive online open course/MOOC) dari kampus asing.
Sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, penyelenggaraan pendidikan tinggi harus mengutamakan mutu. Lulusannya harus mengembangkan potensi.
”Apabila ada penyelenggara pendidikan tinggi tidak sesuai standar, capaian pembelajaran mahasiswa susah terpenuhi. Kami sekarang membangun jejaring kerja sama luas agar mahasiswa punya akses mengembangkan dirinya,” kata Aris.