Kasus Penayangan Film “Sejauh Kumelangkah” Jadi Pembelajaran Penting
Penayangan konten pada program Belajar dari Rumah di TVRI diharapkan tidak mengabaikan detail administrasi hak cipta dan hak terkait. Apalagi, ini adalah bagian dari pendidikan ke publik.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penayangan film Sejauh Kumelangkah di program Belajar dari Rumah TVRI menuai kontroversi. Penayangannya diduga mengabaikan perlindungan hak cipta.
Sebelumnya, sutradara film, Ucu Agustin memprotes Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) karena menayangkan tanpa izin film Sejauh Kumelangkah di program Belajar dari Rumah (BDR) TVRI. Ucu dikabarkan memberikan somasi kepada Kemendikbud, TVRI, dan Telkom Indonesia yang juga menayangkan film Sejauh Kumelangkah di platform UseeTV. Film Sejauh Kumelangkah diberi logo Kemendikbud dan TVRI, lalu dimodifikasi.
Pada Agustus 2018, film itu memenangkan If/Then Shorts Southeast Asia Pitch yang diselenggarakan oleh Tribeca Film Institute bekerja sama dengan Docs by The Sea yang dikelola In-Docs. Dari ajang ini, film Sejauh Kumelangkah mendapat kontrak dengan Aljazeera Internasional yang mengharuskan film tayang perdana di platform TV mereka dengan masa hold back enam bulan. Kontrak ini masih berlangsung ketika film Sejauh Kumelangkah diputar untuk program BDR di TVRI.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid dalam pernyataan resmi, Senin (5/10/2020), di Jakarta, mengatakan, program BDR ditayangkan di TVRI mulai 13 April 2020. Program ini berbentuk gotong royong pembelajaran yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Penayangan program BDR di TVRI bersifat nonkomersial. Kami tidak memperoleh keuntungan ekonomi.(Hilmar Farid)
"Penayangan program BDR di TVRI bersifat nonkomersial. Kami tidak memperoleh keuntungan ekonomi," ujar Hilmar.
Dia menerangkan, Kemendikbud melalui surat resmi tertanggal 14 April 2020 menyatakan tidak memperbolehkan tayangan non pembelajaran berupa program kebudayaan dan film- yang berstatus eksklusif di TVRI - ditayangkan ulang ataupun tayang secara live streaming oleh pihak ketiga. Hal itu karena menyangkut hak siar yang terbatas dan harus dilihat sebagai upaya melindungi hak cipta.
Pada 29 Juni 2020, In-Docs-perantara pemanfaatan film Sejauh Kumelangkah dengan Kemendikbud-menyatakan keberatan atas penayangan film itu di UseeTV. Pemilik hak cipta Ucu Agustini telah terikat kontrak hukum dengan Al Jazeera International untuk tidak menayangkan film Sejauh Kumelangkah dalam versi apapun. Namun, Hilmar menegaskan, informasi tentang pembatasan tayangan itu belum pernah disampaikan ke Kemendikbud.
Setelah mendengarkan masukan dari pihak In-Docs untuk menjembatani surat keberatan yang dilayangkan sebelumnya, maka pada 6 Juli 2020 Kemendikbud melayangkan surat permintaan maaf secara resmi. Kemendikbud juga membantu menurunkan film Sejauh Kumelangkah dari UseeTV. Lalu, dia mengklaim, pihak Kemendikbud hadir pada mediasi yang dilakukan bersama kuasa hukum Ucu Agustin pada 10-18 Agustus 2020.
"Kami tidak membantah bahwa ada kendala administrasi penayangan film itu. Kami beritikad baik dengan mengajukan permohonan maaf secara resmi dan mencoba mengklarifikasi permasalahan ini supaya lebih jelas," tegas Hilmar.
Menyayangkan
Program Director In-Docs Amelia Hapsari mengatakan, hampir semua sineas menyayangkan film Sejauh Kumelangkah ditayangkan tanpa izin pemilik hak cipta. Akan tetapi, sikap terhadap program BDR beragam. Ada sineas yang menganggap program BDR sebagai terobosan baik untuk memperkenalkan kekayaan sinema Indonesia kepada penonton.
Ada pula sineas yang menilai program BDR bukan terobosan karena pembuat film dibayar amat murah, TVRI dibeli jam tayangnya oleh Kemendikbud. Setelah itu, Kemendikbud tidak membantu menumbuhkan solusi baru, seperti distribusi yang mampu menyumbang keberlanjutan pembuat film.
Amelia memandang Indonesia sudah seharusnya Indonesia membangun sistem media publik yang berkualitas, menguntungkan rakyat, dan membangkitkan kreativitas para kreatornya. Dengan demikian, guru dan siswa diuntungkan sehingga tidak terjadi lagi ketimpangan informasi pendidikan.
"Kalau hanya mempertahankan BDR, maka hanya satu program bertahan. Namun, jika semua produksi sampai distribusi dibangun secara profesional, manfaatnya lebih masif," ujar dia.
Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Imam Brotoseno saat dikonfirmasi terpisah mengatakan, perjanjian TVRI dengan Kemendikbud hanya menerima konten BDR. Dengan kata lain, TVRI hanya bertindak sebagai pihak yang menayangkan.
"Kami tidak tahu. Kami tidak punya kewenangan apapun atas perjanjian antara Kemendikbud dengan vendor. Ada ratusan program Kemendikbud sehingga asumsinya adalah urusan deal menyangkut vendor dengan Kemendikbud, dan kami tidak ikutan," kata dia.
Imam lantas memberikan analogi agensi periklanan memasang iklan ke stasiun televisi. Stasiun televisi tidak tahu pemilik merek produk sudah bayar ke agensi.
Dengan analogi yang sama, dia menekankan bahwa LPP TVRI tidak mungkin menanyakan satu per satu status program. LPP TVRI hanya mengkaji konten program dari sisi kesesuaian dengan aturan dan pedoman Komisi Penyiaran Indonesia.
Hati - hati
Pengamat penyiaran Paulus Widiyanto menjelaskan, sesuai UU No 28/2014 tentang Hak Cipta dan PP No 16/2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait maka pencatatan hak cipta dan hak terkait dilakukan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap karya yang tercatat bisa dilacak. Hak cipta dan hak terkait merupakan hak eksklusif.
Berangkat dari kasus penayangan film Sejauh Kumelangkah di TVRIyang disebut tanpa izin, dia mengatakan, pencatatan hak cipta dan hak terkait bisa dicek. Lalu, kontrak dengan Aljazeera Internasional bisa dijelaskan durasi waktu dan cakupan wilayah. Ada keanehan bila sampai Kemendikbud tidak tahu kejelasan tersebut.
"Terlepas dari kasus itu, di Indonesia memang memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang disharmonis satu dengan lainnya. UU Hak Cipta pun telah mengatur detail, sedangkan UU Penyiaran tidak," kata dia.
Pendiri Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Masduki, memandang, kasus itu adalah bentuk keteledoran TVRI. Sebagai lini akhir distribusi karya, TVRI semestinya punya tim internal untuk mengontrol.
"Manajemen TVRI seharusnya mengejar kejelasan administratif untuk setiap konten akuisisi, termasuk meminta paparan kontrak. Ini adalah wujud kesadaran hak cipta serta tanggung jawab ke publik," ujar Masduki.