Hentikan Mimpi Buruk Para Korban
Upaya menghentikan kekerasan seksual masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia. Hingga kini belum ada undang-undang yang mengatur berbagai jenis kekerasan seksual. Komitmen DPR bagi korban ditunggu sekarang.
Kekerasan seksual terus mendera perempuan dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) dan menjadi mimpi buruk sepanjang hayat para korban. Pandemi Covid-19 pun tak membuat kejahatan seksual berhenti, sebaliknya semakin memperpanjang daftar korban.
Padahal kekerasan seksual merusak, menghancurkan kehidupan korban, dan menyisahkan trauma yang panjang yang tak akan hilang ingatan selama hidupnya. Kekerasan seksual yang menimbulkan kerusakan yang sangat luas dalam hidup korban, yang banyak terlihat, membuat korban tidak berdaya, bahkan tidak banyak yang bersuara.
“Kekerasan seksual bisa mencap korban sejak detik terjadinya hingga detik terakhir hidupnya. Mungkin karena menyerang hal paling pribadi dengan cara pribadi, menyerang bagian yang tidak kita bagi secara sama kepada semua orang, menyerang dengan esensi paling mendasar dari kemanusiaan diri kita, lapisan terdalam kita,” ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, pada Pembukaan “Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” Jumat (2/10/2020) secara daring.
Kekerasan seksual sulit terhapus dalam ingatan korban, karena menyentuh wilayah keintiman privasi dari manusia. Karena itulah, seharusnya negara hadir memberikan perhatian yang lebih besar, untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan tersebut, agar tidak terus berjatuhan.
Baca juga Ribuan Akademisi Dukung DPR Tuntaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Mimpi buruk para korban kekerasan seksual di Tanah Air, akan terus terjadi, sepanjang tidak ada undang-undang yang mengatur secara khusus pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual. Maka, hadirnya Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa lagi ditunda-tunda, karena ancaman kekerasan seksual terus terjadi di segala lini kehidupan.
Harapan ini seharusnya dipahami oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan wakil rakyat - yang juga konstituen dari para korban kekerasan seksual. Sidang Paripurna DPR pada awal Oktober 2020 ini menjadi momentum bagi DPR, untuk memastikan RUU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 mendatang.
Mengapa sidang paripurna DPR pda Oktober mendatang menjadi krusial ? Karena jika akhir tahun ini DPR tidak menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021, dikhawatirkan perjalanan RUU tersebut akan semakin jauh. Itu berarti, daftar korban kekerasan seksual akan bertambah panjang.
"Jika tidak dibahas di 2021, tidak ada jaminan apakah RUU ini akan terus dibahas sampai akhir periode DPR. Karena kita tahu dalam proses politik dua tahun pertama adalah waktu DPR bekerja, dan tahun selanjutnya DPR akan sibuk melakukan kampanye untuk menjadi DPR kembali," ujar Veni Siregar, mewakili Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, saat konferensi pers, Kamis (1/10/2020) secara daring.
Pada acara itu, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyerukan kepada DPR tidak mengkhianati kepercayaan publik, dan membuktikan komitmen wakil rakyat dalam melindungi para korban kekerasan seksual.
Baca juga Kekerasan Seksual Sudah Darurat, DPR Tunggu Apa Lagi?
Seharusnya tidak ada lagi keraguan dari para anggota Dewan, dalam membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena, sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam RUU tersebut, itu bukan hanya mitos, tetapi benar-benar nyata dan terjadi.
Bahkan, Fathurozi dari Forum Pengada Layanan (FPL) untuk perempuan korban kekerasan membuktikan dari data kasus yang didokumentasikan FPL, sepanjang 2017-2020 (hingga 30 September 2020) ada 5.176 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.867 adalah kasus kekerasan seksual, dan sembilan jenis kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada dalam data kasus tersebut.
Jika tidak dibahas di 2021, tidak ada jaminan apakah RUU ini akan terus dibahas sampai akhir periode DPR.
Adapun sembilan jenis kekerasan seksual yang masuk sebagai kategori tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Situasi kekerasan seksual di Tanah Air yang memburuk seharusnya menggugah para DPR dan pemerintah. Maka, Wahidah Suaib dari PP Fatayat Nahdlatul Ulama berharap Presiden Joko Widodo juga mendorong lahir UU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai warisannya di periode kedua pemerintahannya. Dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya menjadi kuat, karena DPR dipimpin oleh seorang perempuan, yang merupakan perempuan pertama ketua DPR.
Sudah cukup bukti
Berbagai data dan fakta kasus kekerasan seksual yang terus terjadi hingga saat ini seharusnya sudah cukup membuka mata dan hati nurani DPR, untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mengapa kekerasan seksual harus segera dihentikan sekarang ? Sulistyowati Irianto, Guru Besar dan Pengajar Gender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menegaskan, karena kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang mengancam dan menghilangkan nyawa korban, mengakibatkan kecacatan seumur hidup, dan korban bisa kehilangan masa depan. Sebab itulah kekerasan seksual disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan bukan kejahatan terhadap etika atau kesusilaan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sangat penting disahkan, karena akan menjadi reformasi hukum untuk menghentikan kejahatan seksual. Secara filososfis, hukum, dan sosiologis, semuanya sudah terpenuhi dalam RUU tersebut. Lahirnya UU tersebut sudah ‘sangat’ dinantikan.
“Jadi kita harus menjawab pertanyaan korban yang menjadi hutang bagi kita semua. Mengapa kita tidak mengupayakannya. Secara sosiologis kita masih mau bukti apa lagi! Janganlah mempolitisasi semua upaya untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan,” tegas Sulistyowati.
Karenanya Sulistyowati mempertanyakan mengapa sampai saat ini kondisi kedaruratan kekerasan seksual saat ini tak kunjung dipahami penyusun UU. “Apakah wakil rakyat kita itu cukup mengerti atau cukup membuka telinga dan matanya, sebetulnya bangsa ini sedang membutuhkan rancangan undang-undang yang mana ? Jangan sampai ada RUU yang tidak kita butuhkan justru didahulukan,” tandasnya.
Soal data kekerasan seksual, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, medio September lalu mengungkapkan dari data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode 1 Januari 2020 sampai 18 September 2020 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa mencapai 4.166 kasus dengan 4.215 korban.
Dari jumlah tersebut kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 5.589 kasus dengan 6.201 korban. Adapun presentase terbesar korban terhadap anak adalah korban kekerasan seksual dengan jumlah 56,12 persen.
Berkaca dari situasi dan kondisi kekerasan seksual, seharus DPR berpacu dengan waktu menuntaskan pembahasan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU.
Taufik Basari, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem yang sebelumnya menjadi salah satu pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menegaskan Fraksi Nasdem telah mengajukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu dari lima RUU yang diprioritaskan masuk Prolegnas 2021. Bahkan, RUU tersebut menjadi usulan fraksi yang didukung oleh seluruh anggota Fraksi Partai Nasdem yang berjumlah 59 orang.
“Per Jumat tanggal Oktober 2020, sudah terkumpul 47 tanda tangan anggota Fraksi Nasdem. Sementara sisanya telah memberikan konfirmasi namun belum menandatangani karena sedang berada di dapil ataupun luar kota. Naskah akademik dan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan Fraksi Nasdem akan menggunakan dan mengadopsi hasil rumusan bersama antara jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan,” ujar Taufik yang juga Ketua Kelompok Fraksi Nasdem di Baleg.
Sebelumnya, Diah Pitaloka, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) yang juga anggota tim panja pada periode lalu memastikan perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan diperjuangkan masuk daftar Prolegnas Perioritas 2021, sehingga bisa disahkan menjadi UU.
Maka, sejumlah pertanyaan pun diarahkan kepada DPR, seberapa besar komitmen wakil rakyat dalam mengakhiri kekerasan seksual yang mengancam bukan hanya perempuan, tapi juga anak perempuan dan laki-laki. Kepastian proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sungguh dinantikan.
Korban tidak bisa lagi menunggu. Seperti kata, Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian “Mau sampai kapan Indonesia akan terus begini? Sampai kapan semua perempuan yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan seksual?”.
Semua jawabannya, ada di DPR, akankah DPR menunjukkan komitmen serius dalam memerangi kejahatan seksual? Hanya DPR yang bisa membuktikannya ke publik. Mari kita tunggu hasil sidang paripurna DPR. (Sonya Hellen Sinombor)