Perempuan Borneo Bersuara, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terus mengancam perempuan-perempuan di sejumlah daerah, bahkan di wilayah adat perempuan mengalami berbagai kekerasan seksual. Hadirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan menjadi harapan bagi korban.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang dijadwalkan berlangsung tanggal 9 Oktober mendatang, suara dan tuntutan agar Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus disuarakan. Tidak hanya di Jakarta, di daerah-daerah komunitas dan organisasi perempuan dan anak juga mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Jaringan Perempuan Borneo, yang berasal dari daerah wilayah Kalimantan, Jumat (2/10/2020) pagi, menyuarakan urgensi pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk menghentikan berbagai praktik kekerasan seksual yang terus terjadi di daerah.
Bersama Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Wahidah Suaib (PP Fatayat Nahdlatul Ulama) dan Asfinawati (Ketua Umum Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan Devi Anggraini, Ketua Persekutuan Perempuan Adat (Perempuan AMAN), beberapa aktivis perempuan di Jaringan Perempuan Borneo tampil berbicara.
Pada konferensi pers yang dipandu Ary Kibo dari Puan Mahakam (Kalimantan Timur), selain Ditta Wisnu (Jaringan Perempuan Borneo dan Pasah Kahanjak, Kalimantan Tengah) hadir berbicara Tuti Suprihatin (Ketua YLBH PIK Pontianak (Kalimantan Barat), Kasmawati (Ketua YLBH PIK Kalimantan Timur), dan Enik Maslahah (Jaringan Perempuan Peduli Gambut (Kalimantan Selatan).
Jaringan Perempuan Borneo dalam siaran pers berjudul ”Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Lindungi Generasi Penerus dan Korban RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” mendesak para wakil rakyat untuk segera menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Pada acara tersebut, para aktivis perlindungan perempuan dan anak di Kalimantan menegaskan bahwa mereka bersama dalam gerakan mendorong lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pada masa pandemi ini, kasus kekerasan seksual meningkat daripada tahun sebelumnya. Kasus tersebut terutama kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang dilaporkan ke lembaga penyedia layanan/pendamping di Kalimantan.
Hingga saat ini, para korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu karena berbagai kendala dalam sistem hukum, baik substansi, struktur, dan budaya hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan dari pengalaman korban kekerasan seksual.
Sementara pemenuhan hak dan mulai dari pencegahan, penanganan hingga layanan dukungan lainnya masih belum optimal melindungi perempuan dan kelompok yang rentan menjadi korban karena belum memiliki payung hukum yang memadai.
”Sampai saat ini, berbagai masalah kami hadapi di lapangan mulai dari koordinasi antar lembaga, (serta) ketiadaan rumah dan layanan pengaduan di Kaltim. Layanan pemerintah tidak aktif, karena masa pandemi tidak berfungsi. Yang ada untuk layanan korban, rumah aman disediakan oleh pribadi. Ini menjadi masalah, terutama dari sisi keamanan. Apalagi kalau pelaku orang yang berpengaruh,” kata Kasmawati memaparkan situasi penanganan korban kekerasan seksual di Kaltim.
Berbagai kendala dan pendampingan korban juga disampaikan oleh Eni Maslahah dan Ditta terkait situasi penanganan korban kekerasan yang menghadapi tantangan di lapangan, termasuk mengakses berbagai layanan untuk pemulihan korban.
Bahkan, Devi mewakili perempuan adat menyampaikan bagaimana kekerasan seksual yang dialami perempuan-perempuan adat terus tersembunyi, karena sulitnya situasi perempuan dalam adat. Relasi kuasa yang sangat kuat di lingkungan adat membuat praktik kekerasan seksual sulit terungkap.
Oleh karena itu, Ditta menegaskan Jaringan Perempuan Borneo menyatakan sangat prihatin dengan kondisi penanganan para korban kekerasan seksual di daerah, dan mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini masuk ke Prolegnas Prioritas 2021.
Demikian juga Wahidah Suaib mendorong semua bergerak mendorong DPR agar Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual benar-benar terwujud. Bahkan, jika perlu mengundang para anggota DPR dari dapil Kalimantan untuk berdialog sehingga dukungan atas RUU tersebut semakin kuat.