Seniman Bali kembali mengisi program pentas seni budaya secara daring yang difasilitasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui akun Budayasaya. Tari Kenapa Legong dipentaskan secara daring, Rabu (30/9/2020) malam.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Seniman Bali kembali mengisi program pementasan seni budaya dalam jaringan yang difasilitasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui akun Budayasaya. Seniwati Ida Ayu Wayan Aryasatiani menampilkan garapannya berupa tari Kenapa Legong, Rabu (30/9/2020) malam.
Program pementasan secara daring melalui akun Budayasaya merupakan bentuk dukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud terhadap pekerja seni dan pegiat budaya di Indonesia agar mereka tetap produktif dalam menghadapi dampak pandemi penyakit akibat virus korona baru (SARS-CoV-2). Pemerintah menghadirkan kegiatan kebudayaan Nusantara secara daring melalui akun Budayasaya di Youtube.
”Kami menyambut dengan semangat inisiatif pemberian ruang bagi seniman untuk menampilkan pertunjukan seni budaya secara online,” kata Ida Ayu Wayan Arya Satyani, seniman sekaligus akademisi yang lebih akrab disapa Dayu Ani, di Antida Sound Garden, studio rekaman di Kota Denpasar, Rabu malam.
Pemilik Antida Sound Garden sekaligus pendiri Antida Music Production, Anak Agung Anom Wijaya Darsana, mengatakan, program pentas daring Budayasaya dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud merupakan panggung bagi seniman mengekspresikan dan menampilkan karya mereka. Anom Darsana juga mengapresiasi dukungan pemerintah terhadap para seniman, pekerja seni, dan pegiat industri kreatif di masa sulit akibat pandemi Covid-19.
Sebelum memfasilitasi pementasan tari Kenapa Legong garapan Dayu Ani secara daring pada Rabu malam, Antida Music Production menampilkan pementasan kolaborasi Komunitas Genggong 8 dan Rhythm Rebels secara daring pada Minggu (30/8/2020).
Tari Kenapa Legong garapan Dayu Ani diperagakan tujuh penari lelaki. Tari kontemporer itu menampilkan gerakan tari yang luwes yang terinspirasi tari klasik Legong. Tari Legong disebut bersumber dari tari ritus Sanghyang. Dayu Ani menyebutkan, tari Legong diperkirakan berkembang sejak abad ke-15 Masehi dan mendapat pengaruh seni Gambuh, yakni seni pentas klasik yang berlatar kisah Panji.
”Saya tertarik pada Legong karena merupakan tari klasik yang lentur menembus zaman tanpa harus kehilangan rohnya,” kata Dayu Ani di Antida Sound Garden, Rabu malam. Tari Legong klasik lestari dan juga mampu berkembang dalam ragam tari baru lainnya, misalnya, menjadi inspirasi tari Terunajaya ketika munculnya pengaruh gamelan gong kebyar di Bali awal abad ke-20.
Saya tertarik pada Legong karena merupakan tari klasik yang lentur menembus zaman tanpa harus kehilangan rohnya.
Dayu Ani juga menampilkan tari Condong, yang merupakan bagian dari tari Legong klasik, sebagai pembanding. Tari Condong, yang dibawakan penari muda sarat prestasi Ni Nyoman Wahyu Darmaningrum (13), ditampilkan sebelum pementasan tari Kenapa Legong. Gerak tarian yang ditampilkan penari Condong terlihat lebih terikat pakem tari klasik, misalnya, agem atau sikap berdiri dan ngeed atau posisi tubuh yang condong.
Dayu Ani juga menerangkan alasannya memilih laki-laki untuk menarikan tari Kenapa Legong, yakni untuk menunjukkan bahwa menari tidak bias jender. Dayu Ani menyebutkan sejumlah penari maestro Bali adalah kaum lelaki, di antaranya maestro tari Kebyar, Duduk I Ketut Marya atau I Mario. ”Menari adalah tentang jiwa. Dalam diri manusia ada sisi feminim dan juga sisi maskulin,” kata Dayu Ani.
Dalam menggarap tari Kenapa Legong, Dayu Ani juga menghadirkan teknik seni Gambuh dengan menampilkan seni sastra. Dayu Ani mengeksplorasi teks berjudul Gaguritan I Japatwan dengan mengisahkan perjalanan Japatwan dan Gagak Turas menyusul Dyah Ratnaningrat ke Siwa Loka.
Sebagai penutup pertunjukan tari itu, Dayu Ani menghadirkan pembacaan teks Kidung Hikayat Nabi atau dikenal pula sebagai Kidung Pangraksa Jiwa. Kidung Pangraksa Jiwa itu umumnya dilantunkan ketika ritual perawatan lepasnya tali pusar, atau kepus puser, di wilayah Kabupaten Karangasem, Bali, dengan harapan yang terkandung adalah memohonkan keselamatan, perlindungan, tolak bala, dan doa kepada alam semesta. Kidung Pangraksa Jiwa juga diyakini dapat menguatkan jiwa dan sekaligus toleransi yang ditanamkan sejak usia dini.