Pemberdayaan perempuan di akar rumput akan berdampak besar. Ketika kapasitasnya dikuatkan, selain berdaya, perempuan juga akan memiliki kekuatan dalam memengaruhi kebijakan di desa dan lingkungan, serta perubahan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ibu-ibu dari Kelompok Usaha Perempuan Bersama Bisa di Desa Gandang Barat, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memilih biji kopi liberika terbaik sebelum biji tersebut dipanggang, Senin (21/9/2020). Dalam sebulan, mereka biasanya menjual 10-15 kilogram kopi yang sudah dikemas.
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan berada di garis depan dalam menanggapi berbagai situasi dan berinovasi dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pihak yang menanggung beban risiko yang signifikan saat terjadi pandemi Covid-19. Karena itu, program penguatan kelompok perempuan di tingkat desa perlu ditingkatkan terus oleh pemerintah dan pemangku kebijakan karena manfaatnya sangat besar.
Penguatan kapasitas diri perempuan, terutama membangun kesadaran kritis para perempuan di desa-desa, akan berdampak luas bagi pembangunan bangsa Indonesia. Selain mendorong perubahan besar dalam diri perempuan itu sendiri, program tersebut juga berdampak bagi keluarga dan masyarakat. Bahkan, keterlibatan perempuan di desa mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang berperspektif jender, serta menempatkan perempuan di desa di posisi pemimpin di desa.
Demikian Hasil Kajian Aksi Kolektif Perempuan dan Undang-Undang Desa yang dilakukan Universitas Melbourne, Australia, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang didukung Program MAMPU (Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) yang disampaikan Tim Peneliti, pada webinar ”Berbagi Hasil Kajian Aksi Kolektif Perempuan dan Undang-Undang Desa”, Rabu (30/9/2020).
Acara yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama Program MAMPU ini menghadirkan Ketua Tim Peneliti Rachael Diprose (Universitas Melbourn) dan Amalinda Savirani, peneliti senior dari UGM.
Kajian yang menggunakan metode studi kasus untuk mempelajari bagaimana perempuan mendorong perubahan di desa dan kabupaten di seluruh Indonesia ini dilakukan di sembilan provinsi, 12 kabupaten, dan 14 desa di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB) selama tahun 2019. Kajian tersebut untuk mengetahui seberapa jauh, dan melalui mekanisme apa, aksi kolektif dilakukan perempuan untuk memengaruhi implementasi UU Desa.
”Penelitian ini membuktikan keterlibatan perempuan dalam implementasi undang-undang desa berhasil memperkenalkan berbagai inisiatif dan layanan yang menjangkau banyak orang di komunitas, termasuk yang paling rentan,” ujar Rachael.
Bahkan gerakan perempuan desa berhasil melahirkan sejumlah regulasi. Sejauh ini, hampir 350 peraturan desa (perdes) dan kebijakan di desa tempat Program MAMPU dilaksanakan. Misalnya, di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, ada Perdes tentang Antikekerasan Domestik dan di Lombok Tengah, NTB, ada Perdes tentang Perlindungan Pekerja Migran.
Kajian tersebut juga menemukan bahwa setiap lokasi penelitian memiliki keragaman sosial ekonomi (konteks mata pencarian), geografi, infrastruktur, sumber daya alam, dan demografi. Keragaman tersebut memengaruhi tipe aktivitas dan gerakan kolektif kelompok perempuan dalam mendorong kebijakan, program, dan perencanaan serta pemberian layanan di desa yang pro terhadap perempuan.
Berbagai variasi kondisi tersebut justru merupakan peluang dan tantangan untuk menciptakan keragaman kebijakan bagi perempuan dalam wewenang, kekuasaan, dan pengambilan keputusan di tingkat daerah di seluruh Indonesia.
Penguatan perempuan di desa-desa sangat relevan dengan kondisi saat ini karena beberapa bantuan Covid-19 Indonesia disediakan oleh Dana Desa. ”Perempuan merupakan agen pembangunan yang tangguh dan lenting (resiliensi) demi memastikan pembangunan desa membawa manfaat bagi warga kebanyakan,” ujar Amalinda Savirani.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Ibu-ibu anggota Sekolah Perempuan di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB berkumpul dan berbicara tentang sekolah perempuan di sebuah berugak yang ada di tengah permukiman mereka di Dusun Segenter, Kamis (26/7/2018). Berugak merupakan tempat berkumpul masyarakat setempat sekaligus berfungsi sebagai tempat acara adat musyawarah persiapan perkawinan.
Kesenjangan jender
Subandi Sardjoko, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, dalam sambutannya berharap temuan kajian tersebut akan memberikan kontribusi pada perumusan kebijakan dan regulasi beserta implementasinya. Dengan demikian, langkah pemerintah akan lebih efektif untuk mempercepat penurunan kesenjangan jender di Indonesia.
”Berbicara mengenai kesenjangan jender, menurut Global Gender Gap Report, World Economic Forum 2020, Indeks Kesenjangan Gender Indonesia masih cukup tinggi, yaitu berada di urutan ke-85 dari 153 negara,” kata Subandi.
Meskipun UU Desa membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat desa untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan pembangunan di desa, tidak semua kelompok, khususnya perempuan, bisa memperoleh kesempatan itu. Ini disebabkan oleh faktor sosial budaya baik dari diri perempuan maupun dari keluarga dan lingkungan yang menghambat kepemimpinan perempuan. Hambatan-hambatan yang terjadi pada perempuan semakin kompleks karena perbedaan nilai sosial budaya di sejumlah wilayah.
Taufik Madjid, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), menegaskan, paradigma pembangunan desa sebagaimana tujuan UU Desa yang harus dipenuhi, antara lain, meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa, mengurangi kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ekonomi, serta menjadikan masyarakat desa sebagai subyek utama termasuk perempuan. ”Aspirasi perempuan menjadi penting dalam setiap pengambilan keputusan di desa,” katanya.
Adapun Kirsten Bishop, mewakili the Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), menyatakan, selama delapan tahun terakhir Pemerintah Australia telah mendukung Pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor pemberdayaan perempuan dan mengurangi ketimpangan jender melalui Program MAMPU.
Program ini diluncurkan pada tahun 2012 dan akan berakhir tahun 2020. Selama kurun waktu tersebut, program itu bermitra dengan 100 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan lokal, yang bekerja di isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan jender di lebih dari 1.000 desa di 27 provinsi.
”Telah banyak capaian dan pembelajaran dari program tersebut, termasuk inisiatif, kolaborasi, serta sinergi berbagai pihak, pemerintah, legislatif, dan organisasi masyarakat sipil dengan jaringan organisasi masyarakat lainnya,” ujar Kirsten.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Perempuan dan anak-anak dari Desa Ponu, Timor Tengah Utara, NTT, saat mendapat bantuan sosial, program keluarga harapan, April 2019.
Pada 2019, Program MAMPU melakukan kajian jender untuk melihat dimensi jender dalam implementasi UU Desa termasuk penggunaan dana desa. Selama ini terdapat kesenjangan jender dalam pembangunan di desa yang seringkali tidak melibatkan kepentingan perempuan.
Kajian ini berfokus pada pengaruh suara perempuan dalam pembuatan keputusan di desa yang memberikan manfaat bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal ini untuk mendorong perubahan di desa dengan mengetahui faktor pendorong, penghambat, dan strateginya.
Pada acara tersebut hadir juga sebagai penanggap, antara lain, Mia Amalia (Pelaksana Tugas Direktur Pembangunan Daerah, Kementerian PPN/Bappenas), Sri Wahyuni (Kemendes PDTT), Eko Prasetyanto Purnomo Putro (Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Desa, Kemendagri), Ririn Hayudiani (Wakil Direktur Program, LPSDM NTB), dan Yuni Kurniati (Sekretaris Bappeda Lombok Utara).