Pengangkatan Penjabat Bupati Butur Cederai Rasa Keadilan
Kekerasan seksual terus mengancam perempuan dan anak di Tanah Air. Meskipun demikian, proses hukum dari sejumlah kasus kekerasan seksual mengalami hambatan sehingga korban tidak mendapat keadilan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR/SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pemerintah didesak untuk mewujudkan komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Pengangkatan Ramadio, Wakil Bupati Buton Utara, sebagai Pejabat Sementara Bupati Buton Utara, Sulawesi Tenggara, di saat yang bersangkutan dalam proses hukum sebagai terdakwa kasus dugaan kekerasan seksual dinilai mencederai rasa keadilan korban dan melanggengkan impunitas pelaku kekerasan seksual.
Posisi terdakwa sebagai pejabat sementara (pjs) atau penjabat bupati yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dinilai berpotensi menghambat dan mengintervensi proses hukum terhadap dirinya. Itu menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintah dan dikhawatirkan menjadi contoh buruk bagi yang lain dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
”Kasus ini sangat melukai rasa keadilan korban dan masyarakat karena seseorang yang menjadi terdakwa malah diangkat sebagai pelaksana tugas bupati. Seharusnya Menteri Dalam Negeri peka dan dapat menerjemahkan kebijakan Presiden dalam menghapus kekerasan seksual di Indonesia, bukan malah memberi ruang dan kewenangan lebih kepada pelaku kekerasan seksual,” ujar Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu Ina, lembaga yang mendampingi korban, Selasa (29/9/2020).
Yustina bersama Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Selasa siang, dalam keterangan pers secara daring menyatakan, Ramadio, pada akhir 2019, ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak berumur 14 tahun di Buton Utara, Sulawesi Tenggara.
Dia dikenai Pasal 76 F jo Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 76 I jo Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus tersebut, TB (muncikari) telah disidang dan dituntut 9 tahun penjara. Kasusnya saat ini masih di tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Pekan lalu, Jumat (25/9/2020), Ramadio diangkat sebagai Penjabat Bupati Buton Utara. Sebelumnya, berkas perkara Ramadio dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Raha. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sultra Herman Darmawan membenarkan, berkas perkara tersebut, Senin (21/9/2020), dilimpahkan dari kejaksaan ke Pengadilan Negeri Raha.
”Menurut informasi sidang pertamanya sudah ditetapkan Kamis pekan ini,” ujarnya.
Proses hukum kasus tersebut dinilai Yustina berjalan lambat. Di satu sisi, kondisi korban mengalami dampak sosial dan psikologis dari kejadian ini. Bahkan, korban pernah diarahkan tokoh adat di lingkungan korban untuk dinikahkan.
Korban juga harus menjalani beragam pemeriksaan karena kasus ini ditarik dari Polres Muna, ke Polda Sultra. Saat ini juga masuk dalam program perlindungan saksi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
”Kami mendesak agar terdakwa segera ditahan dan pengangkatan tersangka sebagai penjabat bupati dibatalkan karena ini berpotensi memiliki kuasa lebih dalam penanganan kasus,” tuturnya.
Menghambat keadilan
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah dan Bahrul Fuad, atas nama Komnas Perempuan menyesalkan pengangkatan Ramadio menjadi Pjs Bupati Buton Utara, padahal yang bersangkutan terkait tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak perempuan berusia 14 tahun. Selain menjadi hambatan korban kekerasan seksual untuk mendapat keadilan, pengangkatan Ramadio menjadi penjabat bupati menambah kekuasaan yang dimiliki dan berpotensi makin berlarutnya pemenuhan keadilan bagi korban.
Karena itu, kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik seperti itu patut menjadi perhatian bersama. Sebab, ada relasi kuasa yang lebih di dalamnya dan tersangka memiliki kewenangan yang bisa disalahgunakan.
Dengan jabatan publik, tersangka bisa memakai kekuasaan dan jejaring untuk menunda pemenuhan keadilan bagi korban. ”Bagaimana mungkin seorang tersangka perantaranya dipidana, tetapi pelaku yang mengeksploitasi anak belum ditahan? Kasus ini kental dengan unsur perdagangan anak,” ucapnya.
Oleh karena itu, pemerintah pusat harus melihat dan memberi atensi khusus terkait hal ini. Kementerian Dalam Negeri harus mengevaluasi pengangkatan tersangka sebagai penjabat bupati. Menteri Dalam Negeri diharapkan memberi perhatian serius terhadap dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan kepala daerah, sebagai bagian penerapan konstitusi, UU Perlindungan Anak dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014.
Dilaporkan ayah korban
Kasus kekerasan seksual dengan tersangka Ramadio dilaporkan ayah korban akhir September 2019. Ayah korban mendapat laporan bahwa anak gadis satu-satunya, yang menetap di kampung mereka di Kabupaten Buton Utara (Butur), dilecehkan seorang pejabat. Orangtua korban tinggal di Kota Baubau.
Menurut ayah korban, kekerasan seksual yang menimpa putrinya yang baru duduk di sekolah menengah pertama terjadi pada Juni atau Ramadhan lalu. Korban diajak TB.
Saat dihubungi secara terpisah, Wakil Bupati Ramadio tidak menjawab pesan yang dikirimkan, juga tidak menjawab telepon. Sekretaris Daerah Sultra Nur Endang Abbas menjabarkan, pengangkatan Wakil Bupati Ramadio sebagai Pjs Bupati Buton Utara sesuai amanat UU Pemda. Secara otomatis, wakil bupati akan menjabat sebagai bupati jika kepala daerah mengikuti rangkaian pilkada.
”Di situ dijelaskan status wakil bupati bukan seorang terdakwa atau tidak ditahan. Sekarang posisinya masih tersangka dan tidak ditahan,” terang Endang. Ia juga menambahkan, pihaknya akan menindaklanjuti jika status tersangka berubah menjadi terdakwa. Nomor registrasi terdakwa akan dikirimkan ke Kemendagri untuk ditindaklanjuti dan mencari pejabat pengganti.